Lakkang, Menantang Jaman
Saya tidak sadar kalau di tepi kota Makassar ternyata masih ada eksotisme dan kesederhanaan yang begitu memikat.
“Bajikna antu asea, abbiringmi ni tebbak di?” Tanya saya dengan sopan kepada beberapa orang ibu-ibu berusia lanjut yang berkumpul di dangau tepi sawah. Ucapan bahasa Makassar itu kira-kira berbunyi: wah padinya bagus sekali, sepertinya sudah siap untuk dipanen.
Dan kalimat itu sukses membuka percakapan saya dengan beberapa orang warga Lakkang di suatu siang yang mendung.
Lakkang, nama itu sudah sering saya dengar. Letaknya sudah sering saya lihat di google maps, tapi belum sekalipun saya menginjakkan kaki di sana. Kalau melihat peta, Lakkang memang tidak jauh dari Universitas Hasanuddin. Masih berada di tepi sungai Tallo yang membentang dari timur kota Makassar dan bermuara di selat Sulawesi.
Lakkang berada dalam kelurahan Lakkang, kecamatan Tallo. Luasnya sekitar 168 Ha, dengan posisi yang benar-benar terisolir. Letaknya seperti memunggungi kota Makassar dan menghadap ke arah sungai. Lakkang dihuni sekitar 1.100 orang, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani tambak dan nelayan. Sebagian kecil juga menghidupi diri dari sawah yang tidak seberapa luas di dalam wilayah Lakkang.
Untuk menuju Lakkang kita bisa menggunakan transportasi air sederhana dari dermaga Kera-Kera di bagian belakang Universitas Hasanuddin. Dua perahu kecil dihubungkan dengan papan dan ditutup dengan rangka besi mirip tenda perkawinan. Baliho bekas dialihfungsikan sebagai atap. Perahu ini cukup besar, bisa memuat sampai 50 orang katanya. Sekali menyeberang kita cukup menyodorkan Rp. 2.000,- untuk perjalanan sekitar 20 menit.
Kami menginjakkan kaki di dermaga Lakkang sekitar pukul 15:00 WITA. Dermaga Lakkang terlihat bersih dan rapi. Sebuah provider selular besar nampaknya melakukan banyak perubahan di desa ini. Di sebelah dermaga ada warung sederhana dengan gazebo yang cukup luas untuk menampung pendatang. Belakangan ini Lakkang memang sedang ditata sebagai salah satu tujuan wisata. Ada kolam pemancingan tidak jauh dari dermaga, bahkan katanya dulu ada guest house yang disewakan untuk umum tapi sudah tutup karena kurangnya pendatang.
Di desa Lakkang ada 8 bunker peninggalan Jepang. Konon tempat ini dulu menjadi salah satu pusat konsentrasi militer penjajah Jepang jaman kemerdekaan. Dari kedelapan bunker itu hanya ada 3 yang masih terlihat fisiknya. Sisanya sudah tertimbun tanah atau hilang karena bagian atasnya dibanguni rumah.
Salah satu bunker yang kami datangi masih bisa terlihat dengan jelas. Kami bahkan bisa masuk ke dalamnya. Timbunan tanah sudah membuat tinggi bunker jauh berkurang, kami harus berjongkok untuk bisa masuk lewat lorong yang sempit. Di bagian dalam ada satu ruangan berbentuk agak bulat dengan satu lorong di ujung menuju keluar. Konon ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh tentara sekutu, Jepang yang sudah tahu bakal kalah di perang dunia kedua, mulai meninggalkan Lakkang dan menghancurkan semua bunker yang masih tersisa. Bunker yang ada sekarang tampaknya sisa-sisa bunker yang dulu berfungsi dengan baik.
Lakkang, Terasing Di Tepi Metropolitan.
Kisah tentang Lakkang ini beragam. Dari seorang kawan yang pernah melakukan penelitian di sana didapatkan cerita kalau Lakkang ini dulunya adalah tempat persinggahan prajurit kerajaan Gowa. Merekalah yang pertama datang ke daerah ini dalam perjalanan menuju kerajaan Tallo. Kerajaan Gowa-Tallo adalah kerajaan kembar yang pernah berjaya di Nusantara pada masa abad 17.
Alkisah para prajurit itu merasa susah untuk lepas dari tempat tersebut sehingga kemudian menetap di sana dan menamainya Lakkang yang dalam bahasa Makassar kuno bisa diartikan sebagai “melekat”. Ratusan tahun sejak mulai ditempati, Lakkang masih tetap ada meski daerahnya tetap terisolir.
Lakkang didominasi oleh rumah panggung khas Makassar meski beberapa di antaranya sudah berbentuk rumah batu yang modern. Ada sebuah masjid besar di tengah kampung dan sekolah satu atap yang berisi sekolah SD dan SMP. Sekolah SMP baru berjalan dua tahun kata seorang penduduk yang saya tanyai. Jalan paving block menjulur di sepanjang kampung, bersimpangan satu sama lain dengan lebar tak lebih dari 2 meter. Sehari-hari masyarakat Lakkang menggunakan bahasa daerah Makassar sebagai bahasa pengantar. Ketika berbahasa Indonesiapun logat Makassar yang kental masih terasa.
Ketika sore hari makin merapat dan matahari semakin redup, saya dan puluhan teman-teman dari Blogger Makassar dan Jalan-Jalan Seru Makassar menghabiskan waktu di tepi dermaga setelah mengelilingi Lakkang. Ada jembatan selebar kira-kira dua meter yang melintas di atas tepi sungai. Beberapa perahu nelayan terparkir dengan malasnya, terombang-ambing oleh gelombang sungai yang juga malas. Puluhan ekor ikan berpindah dari pemanggangan, ke piring dan akhirnya ke perut kami. Tawa canda menghiasi sore di hari Minggu itu. Benar-benar sebuah pengalaman yang menyenangkan, menikmati eksotisme sebuah alam bersama teman-teman terbaik.
Sebelum hari itu saya memandang Makassar sebagai sebuah kota yang mulai kehilangan jati dirinya. Sebagai kota yang selalu berdandan menor agar tampak modern meski itu berarti sudah tidak alami dan malah terkesan dingin. Sekarang saya sadar kalau ternyata masih ada satu daerah di tepi metropolis ini yang masih menyimpan kemurahan hati, keramahtamahan dan keelokan alam. Orang-orang yang tersenyum tulus sepanjang jalan kecil melintasi perkampungan, pematang sawah yang tidak bisa ditemukan di kota dan bayangan tubuh kita di atas tambak ikan adalah kemewahan yang sudah diwariskan ratusan tahun.
Di belakang Lakkang ada kota yang terus bersolek dan terus menekan para penghuninya untuk membantunya menjadi “kota dunia”, Lakkang seperti tidak peduli. Mereka bergeming dalam kesederhanaan, menyimpan sesuatu yang terasa hilang dari kota di belakang mereka. Lakkang buat saya seperti Daud yang berdiri menantang raksasa. Lakkang menantang jaman, memilih bertahan. Tapi sampai kapan? Sampai kapan Lakkang bisa bertahan sebelum para investor mengendus aroma emas dari tanahnya yang basah? [dG]
Video wisata ke Lakkang:
Huaaaahhh indahnya…
Kapan yah bisa kesana? 🙁
kalau lagi di Makassar bolehlah jalan2 ke Lakkang. tidak terlalu jauh dari Makassar
Satu pertanyaan saya, itu suangi ada buayanya atau tidak?
satu jawaban saya: ada
ssyang terlewatkan olehku….bagus ya
iyyaaa..sayang sekali dirimu tidak bisa ikut
Harapan saya semoga Lakkang tetap seperti ini, meski dalam hati juga ragu dgn harapan itu 🙂
ajak memang ka’ ke Lakkang kalo ke Makassar nanti. ndak mentong :))
Hmmm…
sdh daftar tapi tidak jadi kesana krn ada kesibukan akademik. hiks hiks hiks…
Lain kali kesanaki lagi nah kak. 😀
Beneran indah dan amazing Daeng….
aeh, kapan mak bisa kesana deh,…
Salam kenal sebelumnya Daeng, Dari Blogger Merauke