Ketoprak Tobong; Arena Pembuktian Cinta

Arena Ketoprak Tobong
Arena Ketoprak Tobong

Maaf ya mas, ini bukannya porno. Saya ini seniman, seniman itu harus sering ngentu

Kalimat bernada agak saru itu keluar dari mulut seorang lelaki berbadan tegak berambut gondrong. Namanya Sambudi, dia mengaku usianya sudah 47 tahun. Di sekujur tubuh dan lengannya tercetak tattoo dengan beragam gambar. Ada gambar gunting, kunci inggris, wanita setengah telanjang, ular dan gambar seekor harimau di punggungnya. Dari gayanya memang terlihat kalau dia orang yang urakan, gaya yang selalu dilekatkan dengan gaya para seniman.

Sambudi adalah salah satu anggota rombongan ketoprak Kelana Bhakti Budaya. Ketoprak ini adalah satu-satunya ketoprak tobong yang tersisa di Jawa Tengah. Ketoprak Tobong diartikan sebagai rombongan ketoprak yang berpindah-pindah seperti rombongan gipsy. Di belakang panggung ada deretan bangunan sederhana yang mereka jadikan sebagai tempat tinggal.

Malam itu kami diajak mengunjungi tempat mereka mentas di sebuah desa di daerah Kalasan, Jogjakarta. Rombongan ketoprak Kelana Bhakti Budaya asalnya dari Jawa Timur, mereka sudah bertahun-tahun berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Di lokasi yang sekarang mereka sudah menetap selama lebih dari 2 tahun.

Tanah yang mereka tempati adalah tanah kosong yang diberikan secara cuma-cuma oleh aparat desa setempat. Di atas tanah itulah mereka membangun panggung lengkap dengan atap dan deretan kursi penonton serta tentu saja perkampungan sederhana yang ditempati para personil.

Dalam seminggu mereka manggung dua kali. Sekali di selasa malam dan sekali di sabtu malam. Tidak setiap malam penampilan mereka dibanjiri penonton. Penonton baru ramai di sabtu malam, kadang bahkan nyaris penuh.? Ketika saya hitung, jumlah kursi yang ada lebih dari dari seratus, mungkin sekitar 120 kursi. Untuk masuk ke dalam arena pertunjukan penonton harus membayar sebesar Rp. 5.000,- . Selain pembayaran resmi penonton juga dibolehkan jika berniat memberi sumbangan. Ada kotak khusus sebagai kotak donasi.

Apakah penonton selalu ramai? Ternyata tidak juga. Kadang penonton yang hadir hanya segelintir, bahkan pernah hanya 3 orang. Meski begitu, rombongan Kelana Bhakti Budaya tidak pernah mundur. Meski tidak ada penonton sekalipun mereka tetap akan tampil.

Cerita itu membuat saya benar-benar kagum. Apalagi ketika mendengar cerita-cerita selanjutnya. Untuk dua kali penampilan dalam seminggu, masing-masing personil mendapat honor sebesar Rp. 12.000,-. Yah! Honor yang besarannya hanya cukup untuk sebungkus rokok. Bayaran itu bayaran rata-rata, mungkin ada beberapa personil yang mendapat honor lebih besar dari itu. Tapi, berapapun besarnya saya yakin tidak lebih dari ratusan ribu.

Berdandan sebelum manggung
Berdandan sebelum manggung

Ketoprak Kelana Bhakti Budaya punya 17 personil lelaki dan 12 personil perempuan yang tetap. Selebihnya adalah orang sekitar yang datang untuk ikut membantu. Misalnya dengan mengambil peran sebagai pemain musik atau figuran dalam setiap lakon.

Malam itu di belakang panggung saya mencoba berbaur dengan para personil yang sedang mempersiapkan diri untuk tampil di panggung. Mereka memulai dengan semacam briefeng. Menentukan jalan cerita. Malam itu mereka membawakan lakon Sosro Kusumo Mbalelo. Sutradara bisa berganti setiap malam. Tidak ada personil yang menjadi sutradara tetap.

Setelah selesai briefing, mereka mulai berdandan sesuai pembagian peran. Sambudi yang berbadan tegap itu berperan sebagai patih. Dandanan dimulai dengan menyapukan bedak ke wajah, meski tidak terlalu tebal seperti personil lainnya. Perlahan-lahan wajah mereka mulai terlihat berbeda. Warna putih terang dari bedak yang tebal membuat mereka sekarang agak susah dikenali. Apalagi ketika mereka mulai menggambar garis-garis wajah beserta kumis atau cambang artifisial.

Pak Sambudi. Malam itu menjadi patih
Pak Sambudi. Malam itu menjadi patih

Setelah riasan selesai, mereka mulai mengenakan kostum. Mulai dari kostum adipati, patih, prajurit, hingga para pesinden. Semua dikerjakan sendiri, sesekali mereka saling membantu. Proses berdandan berlangsung lama. Ketika selesai, terlihat benar kalau mereka adalah orang-orang yang sudah ahli. Buktinya, meski dikerjakan sendiri dandanan mereka terlihat rapi. Tidak lelaki, tidak perempuan, semuanya terlihat rapi.

Mengamati proses persiapan mereka saya merenungi satu hal. Ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya adalah tempat yang tepat untuk membuktikan cinta pada seni. Para personil yang terlibat di dalamnya benar-benar adalah orang yang mencintai seni tanpa pamrih. Mereka rela merepotkan diri untuk bertahan dalam rombongan ketoprak yang sama sekali tidak menjanjikan materi itu karena mereka punya sesuatu yang teramat besar. Sesuatu yang bernama cinta, cinta pada seni.

Kita tidak pernah tahu, kesenian tradisional ini akan bertahan berapa lama di tengah derasnya sesuatu yang bernama modernisasi. Apakah lima tahun ke depan ketoprak tobong masih ada? Apakah Kelana Bhakti Budaya masih punya tempat untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang itu? Apakah para personilnya bisa tetap menemukan tempat yang tepat untuk menunjukkan kecintaan mereka pada seni?

Ent ahlah. Entah siapa yang bisa menjawabnya.

[dG]