Ini Paniai, Bung!

Sebuah cerita tentang Paniai, sebuah daerah di Papua yang sudah begitu saya akrabi.



DI ATAS MATAHARI SEDANG TERTUTUP AWAN. Hujan seperti tertahan. Enggan untuk turun, tapi juga malas untuk pergi. Udara gerah. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 lewat, waktu makan siang sudah dekat. Tapi kami baru tiba, di sebuah titik di antara Nabire dan Paniai. Mereka menyebutnya Kilo 135. Mungkin dihitung dari Nabire yang dijadikan titik awalan menghitung jarak hingga ke Enarotali, ibukota Paniai.

Saya pernah menuliskan catatan perjalanan di jalur Nabire ke Paniai yang kadang seperti menguji nyali itu.

“Kalau begini caranya, tidak usah bayar! Kalian pulang saja! Pulang! Bongkar ini tenda!”

Seorang pria berbadan kekar berbalut kaus polo berwarna biru laut berteriak dengan nada kesal dan tinggi. Dia kepala kampung, dan memang sejak kedatangan kami ke tempat itu, dia salah satu yang sudah bersikap antipati. Beragam pertanyaan keluar dari mulutnya. Kenapa pembayaran dilakukan di sini? Bukan di kampung? Kenapa dananya tidak dikasih ke kepala kampung saja? Biar nanti dia yang bagi ke warga. Bagaimana ibu-ibu yang tidak datang? Mereka pu uang hangus ka tidak? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya. Semua ditanyakan dengan nada tinggi. Nada yang membuat orang Solo yang terbiasa dengan tutur kata halus dan lembut pasti merasa tidak nyaman.

Tapi teman-teman yang mendengarkan semua pertanyaannya tetap tenang. Berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Satu per satu sampai semua terjawab. Tapi si bapak berbaju biru langit itu tetap tidak puas. Hanya nadanya yang sempat menurun. Tidak setinggi tadi, dan tidak lagi membentak.

Lalu proses dilanjutkan. Semua sesuai prosedur yang jadi pegangan kami semua. Prosedur yang ternyata menurut si bapak berkaos biru laut sangat ribet. Menyusahkan. Maunya dia, uang diserahkan saja, tidak perlu ada verifikasi, tidak perlu ada pengecekan.

“Ya, gak gitu juga Malihh,” kata saya dalam hati. Hanya dalam hati. Mana berani saya? Badannya dua kali lebih besar dari saya, ototnya juga lebih terlihat. Tidak seperti saya yang lebih kerempeng dan hanya banyak lemak di perut.

Semua proses yang menurutnya ribet itu ternyata efektif membangkitkan emosinya. Dia marah, membanting setumpuk fotokopi kartu keluarga di tangannya, lalu mengusir kami semua. Kemarahannya berbalas. Belasan laki-laki lain merangsek masuk ke kawasan tempat kegiatan dilangsungkan. Mereka berteriak, membentak dan mengancam. Salah satu dari mereka mengangkat wireless speaker yang tingginya kira-kira 50 cm. Dibantingnya wireless speaker itu ke tanah.

Suasana berubah tegang. Dua orang petugas Brimob bersenjata lengkap maju dengan sigap. Mereka tidak bersikap mengancam atau mengintimidasi, hanya menjaga situasi tetap terkendali.

Saya? Saya tetap tenang meski merasa bagian tengkuk mulai memanas. Aliran darah mengalir dengan cepat, jantung berdegup kencang. Berada di antara puluhan lelaki berbadan kekar dan berawajah sangar yang sedang emosi tentu bukan situasi yang memungkinkan kamu duduk santai mendengar musik sambil menyesap kopi. Saya siaga, mencoba menalar situasi dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Tapi beruntunglah, semua baik-baik saja. Amarah tersulut, makian terlontar, tapi setelahnya semua tenang. Amarah masih menggantung di langit, sesekali suara tinggi terlontar, bersahutan dan kadang seperti berebutan mencari perhatian. Tapi hanya itu. Tidak ada tindakan fisik, tidak ada sesuatu yang mengancam jiwa.

Ah, ini Paniai Bung!

Kerasnya Orang Paniai

SEJAK PERTAMA DATANG KE TANAH PANIAI di awal Januari 2018 lalu, saya sudah tahu kalau tanah ini memang beda. Tempat tinggal orang Mee, Moni dan Wolani. Tanah tempat orang-orang keras kepala dan tegas berdiam. Paniai bukan tempat buat mereka yang lemah, yang mengedepankan perkataan lemah lembut penuh basa-basi. Paniai adalah tempat orang yang tegas, mengeluarkan apa saja yang ada di kepala mereka. Dengan nada tinggi kalau perlu.

Bukan hal mudah mendapati senyum ramah dan sapaan hangat di jalan-jalan di kota Enarotali, ibukota Paniai. Tidak seperti di Agats, tempat kamu bisa dengan mudah mendengar sapaan, “Selamat pagi,” atau selamat-selamat lain. Di Enarotali, kamu hanya akan menemukan tatapan tajam pria Paniai. Kadang menatapmu dengan curiga, menelisik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mencoba menakar, siapa kamu. Lawankah? Kawankah?

Tapi, itu hanya di awal.


orang paniai
Wajah keras dan tatapan tajam, khas orang Paniai

Ketika mereka tahu kamu datang dengan niat baik, orang Paniai akan berubah hangat. Menyambutmu dengan senyum lebar, jabat erat dan bahkan tepukan ringan di bahu. Mereka kawan-kawan yang hangat, yang mungkin memang agak susah memulai sebuah keramahan a la tempat lain di Indonesia. Mereka punya standar sendiri, tidak merasa perlu berbasa-basi busuk di depan tapi menusuk di belakang.  

Karakter orang Paniai memang keras. Menurut saya sangat berbeda dengan karakter orang pegunungan tengah bagian timur seperti Lanny Jaya yang juga sering saya temui.


Lapangan dekat pasar Enarotali

Tiga-empat kali ke Paniai, saya mulai bisa berjalan dengan santai di pasar Enarotali. Belum bertukar sapa, tapi sudah bisa menatap ke depan. Tidak seperti di kunjungan pertama, ketika saya lebih memilih menunduk, menatap tanah. Takut bersitatap dengan para pria berpandangan tajam dengan wajah kaku dan keras. Satu-dua kali saya sudah mulai menerima senyum kaku dan sapaan lirih nyaris tak terdengar.

Saya tahu mereka orang baik. Mereka hanya tidak terbiasa berbasa-basi. Pun, mereka sudah terlalu banyak menerima cerita kelam di masa lalu. Cerita dari penguasa yang terus menerus menekan mereka. Ketidakadilan yang melindas mereka. Berujung pada darah orang Paniai yang tidak berdosa. Paniai berdarah, istilah untuk sebuah insiden berdarah di Paniai nyaris lima tahun lalu.

Sejak zaman Belanda, orang Mee di Paniai sudah terkenal sebagai orang yang keras kepala. Tidak mudah menundukkan mereka, tidak mudah mengatur mereka. Lalu, orang Indonesia pun merasakan kesulitan yang sama. Orang Paniai punya pandangannya sendiri, mereka punya keyakinan kalau semua orang punya hak berpendapat. Semua orang boleh bicara. Demokratis meski kadang tidak efektif karena terlalu banyak waktu terbuang untuk sebuah diskusi yang tidak perlu. Karena semua mau bicara, dan kadang tidak fokus.

Dalam sebuah forum, mereka bisa saling berdebat keras, saling membentak, kadang memaki. Tapi setelah semua selesai, mereka akan berjabat tangan, berangkulan dan tertawa bersama. Apa yang terjadi sebelumnya, lupakan saja. Mereka bukan orang yang biasa berbasa-basi busuk di depan, lalu menusuk di belakang.

Enarotali, Kota Tua di Pegunungan Papua

KOTA ENAROTALI TERLETAK DI KETINGGIAN 1700 MDPL. Di malam hingga pagi, dingin menggit. Di siang hari, udara sejuk memeluk. Sebuah danau besar terhampar di satu sisi kota. Danau Paniai namanya, meski kadang juga disebut Danau Wissel Meren, merujuk pada pilot Belanda yang pertama mengelilinginya di tahun 1932. Tahun ketika kota Enarotali mulai dibangun. Tahun yang hampir sama dengan pembentukan kota Wamena di sebelah timur.


danau paniai
di tepi danau Paniai yang syahdu di pagi hari

Enarotali dan Wamena adalah kota-kota tua di pegunungan tengah Papua. Kota-kota yang dibangun orang Belanda, para misionaris dan penginjil. Kalau akhirnya Wamena berkembang pesat, jadi pusat pembangunan di pegunungan tengah Papua bagian timur, Enarotali tidak. Kota ini berkembang sangat pelan, nyaris jalan di tempat. Mungkin karena tidak banyak daerah lain di sekitarnya, tidak seperti Wamena yang kelak kabupatennya terpecah menjadi 10 kabupaten baru. Mungkin juga karena orang Paniai yang keras kepala dan tidak mudah ditaklukkan? Entahlah.



Di beberapa tempat di Paniai, orang-orang yang bertekad untuk merdeka dari Indonesia masih banyak. Mereka kukuh memegang keyakinannya. Sebagian bergerak dengan kekerasan, sebagian lagi lebih memilih jalan diplomasi. Sebagian bahkan berbaur dengan warga lain, berbaur dengan orang Indonesia.

Tapi setidaknya mereka punya rumah sakit umum yang jadi rujukan untuk daerah-daerah di pegunungan tengah Papua bagian barat. Wilayah adat Mee Pago, kata pemerintah Papua. Rumah sakit ini menerima orang-orang dari Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, bahkan dari Nabire yang kata orang lebih maju sekalipun. Rumah sakit umum daerah Paniai, rujukan di kawasan adat Mee Pago.


RSUD Paniai
Suasana RSUD Paniai (Foto: dokumen RSUD Paniai)

Paniai, tempat orang-orang Mee, Moni dan Wolani berdiam. Hidup dari hasil kebun sederhana, ikan dan udang di danau, dan hasil buruan yang disediakan alam. Perempuan menoken di pasar, di depan jualan mereka yang dihamparkan di atas kain atau karung sebagai alas. Dari tangan mereka lahirlah noken kulit kayu dan noken anggrek yang keindahannya memikat mata. Pun dengan noken benang moderen yang juga susah untuk ditolak.

Para pendatang bisa tinggal di Enarotali, Madi atau tempat lain di Paniai. Mereka diterima dengan tangan terbuka. Dibiarkan mencari kehidupan, mencari nafkah dan berinteraksi dengan orang Paniai. Di balik sikap keras mereka, orang Paniai tetaplah orang yang terbuka. Menerima mereka yang datang dengan niat baik dan mencari makan di tanah nenek moyang mereka.

Salah satu pendatang yang sudah cukup lama hidup di Paniai adalah Pak De Paijo. Lelaki tua asal Jogja yang sudah menghabiskan empat puluh tahun lebih di Paniai.


Pakde Paijo, empat puluh tahun merantau di Paniai

*****


Sepintas tentang Paniai

SUDAH TUJUH KALI SAYA DATANG KE PANIAI. Meniti jalan panjang dari Nabire, bertemu kejutan-kejutan di jalan, lalu didekap udara dingin di Enarotali. Tapi rasanya tidak pernah bosan untuk terus datang ke sana. Bertemu orang-orang yang tidak merasa perlu berbasa-basi, orang-orang keras kepala yang merasa semua orang berhak bicara, orang-orang yang kadang terlihat dingin di luar tapi hangat di dalam. Orang-orang yang menyambutmu dengan jabat erat dan salam kipo yang kadang membuat jari saya terasa sakit. Sakit, tapi tetap hangat.

Saya akan kembali ke Paniai. Bila Tuhan mengizinkan. Bertemu mereka lagi, bertemu tanah yang selalu menyimpan cerita itu.

Koyaow! Amakanie! [dG]