Dari Hotel Berbintang Ke Hotel 60 Ribuan

Pemandangan dari hotel Sarangan, Bedugul
Pemandangan dari hotel Sarangan, Bedugul

Entah sudah berapa hotel yang pernah saya datangi, jelasnya sudah puluhan tapi mungkin belum sampai ratusan. Dan ternyata tiap hotel punya cerita yang berbeda-beda, sebagian sangat berkesan.

Pertama kali masuk hotel kalau tidak salah ingat sekisar tahun 1997, kala itu bersama hampir semua teman kantor kami dibawa berwisata ke Tana Toraja. Hotel yang kami datangi juga tidak main-main, Hotel Sahid Toraja yang masuk dalam kategori bintang 3 dengan pemandangan yang luar biasa. Di tahun itu jalan-jalan belum jadi tren seperti sekarang, jadi sebagian besar kami belum pernah menginjak yang namanya hotel.

Namanya orang kampung yang baru masuk hotel -apalagi hotel bintang 3- maka tentu saja geger budaya akan timbul. Baru tiba saja kelucuan sudah dimulai. Satu persatu dari kami disodorkan minuman dingin atau welcome drink. Tapi tidak semua dari kami tahu apa itu welcome drink, jadinya salah seorang dari kami dengan halus menolak, “Maaf mbak, saya tidak pesan minum.” Begitu katanya.

Kelucuan berikutnya, petugas hotel memberi handuk kecil hangat untuk membasuh muka agar segar kembali setelah perjalanan darat 10 jam. Handuk yang disodorkan dengan penjepit itu rupanya memang menyerupai roti, apalagi karena bentuknya yang lembut dan hangat. Seorang kawan setelah menerima handuk itu langsung memasukkannya ke kantong jaket disertai dengan kalimat, “Saya makan di kamar saja ah.” Oh, rupanya dia mengira itu roti.

Itu baru permulaan, karena berikutnya cerita lucu makin bertambah. Namanya orang kampung yang terbiasa dengan kamar mandi sederhana dan WC jongkok, menemukan WC modern standar hotel bintang 3 jadinya muncullah kekonyolan yang jadi bahan tertawaan.

Seorang kawan untuk pertama kalinya mencoba yang namanya mandi di bawah pancuran. Dengan tubuh bugil siap mandi, kawan itu berdiri di bawah pancuran. Tapi namanya belum pernah mandi di bawah pancuran dan ditambah dengan ketidaktahuan akan bahasa Inggris, dengan penuh semangat dia memutar kran air panas. Tahu sendiri kan bagaimana reaksi orang yang kena air panas? Teriak kesakitan tentu saja, apalagi karena sekujur tubuhnya sudah tidak ditutupi pakaian.

Tapi puncak dari semua kekonyolan itu adalah ketika seorang kawan tidak menemukan hand shower di samping toilet. Sebagai orang Indonesia asli, tidak asyik rasanya jika hanya mencuci bokong selepas buang air besar dengan tisue seperti orang bule. Si kawan tidak kurang akal, karena di kamar mandi ada bathtub maka dia mengisi bathtub hingga seperempat, cukuplah untuk merendam bokongnya. Kemudian dengan penuh percaya diri dia membasuh bokongnya sambil berjongkok di dalam bathtub, persis seperti orang cebok di sungai. Beres! Dia bisa meneruskan hari dengan riang kembali. Ketika kisah ini dia ceritakan ke kami, kawan sekamarnya yang kebetulan juga mendengar langsung mengomel.

“Sialan! Abis kamu mandi kan saya yang pakai bathtubnya!” Begitu gerutu teman sekamarnya. Kami yang mendengar cerita itu hanya terbahak-bahak tak tertahankan.

Dari Hotel Berbintang Sampai Hotel Murahan.

Kisah pertama kali masuk hotel itu sangat berkesan karena cerita teman-teman. Saya sendiri meski pertama kali masuk hotel dan hotelnya berbintang tiga tidak lantas gagap. Meski tidak tahu saya selalu mencoba sok tahu, apalagi karena sebenarnya ada banyak petunjuk meski berbahasa Inggris.

Bertahun-tahun kemudian saya sudah makin akrab dengan yang namanya hotel meski kesempatan untuk masuk hotel berbintang juga tidak makin bertambah. Hotel bintang 5 juga pernah saya sambangi meski sudah tidak terlalu berkesan lagi karena saya sudah tahu banyak tentang barang-barang mewah dan ajaib yang saya temukan di dalam hotel berbintang. Tidak ada lagi cerita lucu seperti bertahun-tahun yang lalu ketika pertama kali masuk hotel berbintang.

Hotel paling murah yang pernah saya tempati ada di Jogja. Sebenarnya bukan hotel, mungkin tepatnya penginapan. Harganya Rp. 60.000,- semalam dengan kamar sempit dan hanya menggunakan kipas angin. Meski murah tapi penginapan itu lumayan juga, tidak terlalu buruk.

Sekali waktu di Surabaya saya pernah masuk ke hotel yang tanpa setahu saya ternyata terkenal sebagai hotel short time. Tidak heran ketika pertama masuk kamar saya bisa mendengar suara agak aneh di kamar sebelah. Saya baru tahu ketika cerita tentang hotel itu saya posting di blog dan dikomentari teman yang saat itu tinggal di Surabaya.

Hotel backpacker yang lumayan nyaman di Surabaya

Setiap masuk hotel yang menyediakan sarapan, saya selalu berusaha untuk tidak sampai melewatkan waktu sarapan. Sebagai orang miskin yang tidak terbiasa sarapan di rumah, kesempatan menikmati sarapan di hotel adalah kesempatan yang langka dan tentu sayang untuk dilewatkan, apalagi kalau sarapannya prasmanan. Biasanya saya mencoba semua menu, atau setidaknya sebagian besar menu. Ceritanya tidak mau rugi! Sayang dong, sudah bayar mahal tapi tidak menggunakan fasilitas hotel.

Sampai sekarang saya sebenarnya masih penasaran dengan yang namanya hostel. Penasaran bagaimana rasanya sekamar dengan orang-orang yang tidak kita kenal. Mungkin akan ada banyak cerita dari sesama pejalan, tapi mungkin juga tidak karena bisa jadi tamu-tamu yang lain lebih memilih memanfaatkan waktu tidur daripada ngobrol.

Bagaimana dengan kalian? Punya cerita tentang hotel atau penginapan juga? [dG]