Coto Senen, Pengobat Rindu Para Perantau
Salah satu pilihan mengobati rasa rindu kampung halaman di Jakarta.
“Kemaeki ri Mangkasara?” Seorang pria gempal yang tak seberapa tinggi bertanya. Kalimatnya dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti; tinggal di mana di (kota) Makassar?
Lawan bicaranya yang juga seorang pria menjawab, menyebut sebuah tempat di kota Makassar. Mereka lalu tenggelam dalam obrolan, sesekali berbahasa Indonesia dan sesekali disambi bahasa daerah Makassar.
Siang itu udara Jakarta terasa gerah, matahari enggan bersinar tapi angin pun enggan bertiup. Saya dan Mamie sedang duduk di salah satu meja sebuah warung coto Makassar di kawasan Jl. Kwitang Raya, tak jauh dari Atrium Senen, Jakarta Pusat. Warung itu tak seberapa besar, lebarnya hanya sekira tiga meter dan memanjang sekira 12 meter. Warung itu seperti menempel di dua dinding, sementara dua sisi lainnya terbuka dan langsung menghadap ke jalan. Warung itu tidak terpisah dengan jalan kecil di sampingnya, hanya undakan setinggi 30 cm sebagai pemisah lantai warung dan jalanan. Jalan kecil itu dipenuhi penjaja makanan dan warung serta percetakan.
Meski tak berada tepat di kawasan pasar Senen, warung itu bernama Coto Senen, didirkan tepat di pojokan Jln. Kramat Raya dan Jln. Soka, tidak jauh dari perempatan Atrium Senen. Dari arah perempatan tinggal menyusuri jalan ke arah Selatan atau ke arah Matraman. Coto Senen ada di pojok pertigaan selepas barisan warung makan Padang yang berjejer di tepi Jln. Kramat Raya.
Warung itu punya pak Syamsul daeng Ngawing, seorang pria dari kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Orang Takalar termasuk dalam suku Makassar, asal dari makanan coto yang sudah terkenal itu. Daeng Ngawing yang tinggal tak jauh dari warungnya sudah memulai usaha coto di kawasan Kwitang itu sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Sayang hari itu beliau tidak di tempat, saya hanya bertemu seorang pria yang mengaku membantu daeng Ngawing menjalankan usahanya.
Saya pertama kali tahu keberadaan warung itu dari seorang sepupu sekira setahun yang lalu. Dari status di Path dia memamerkan coto yang katanya paling enak se Jakarta. Informasi itu saya teruskan ke Mamie yang beberapa waktu kemudian mencobanya sendiri. Hasilnya, diapun mengakui kalau Coto Senen memang enak, nyaris tak ada bedanya dengan coto Lamuru yang menurutnya adalah coto terbaik di dunia.
Ketika mencobanya sendiri, penilaian saya pun sama; Coto Senen memang enak. Terlebih untuk ukuran coto di perantauan.
Sebelumnya kalau bicara coto di Jakarta, maka pilihan pertama yang muncul di kepala adalah Coto Ampera yang memang sudah lama terkenal sebagai salah satu coto Makassar terbaik di Jakarta. Pilihan lainnya adalah coto di kawasan Kelapa Gading dan satu lagi di Casablanca, tepatnya di warung Konro Daeng Memang.
Saya jarang mencicipi coto di Jakarta kecuali 15 tahun lalu ketika sempat menjadi warga Jabodetabek. Menurut saya coto-coto yang ada memang beda dengan coto di tempat aslinya. Entah karena ada bahan yang kurang atau memang lidah yang tak mau berdamai dengan makanan di perantauan.
*****
Untaian lagu Makassar yang dibawakan oleh Alm. Iwan Tompo, salah seorang penyanyi lokal legendaris terus mengalun menemani kami para pengunjung Coto Senen. Dari sembilan meja yang tersedia, hampir semua terisi penuh. Sebagian besar adalah orang Makassar yang ditandai dengan logat dan bahasa mereka. Hanya ada beberapa orang yang bukan orang Makassar, sepertinya mereka datang karena diajak pasangannya atau temannya yang orang Makassar.
Di salah satu dinding terpasang beragam foto kota Makassar dan sekitarnya jaman dahulu. Ada kampung Labuang Baji di tahun 1900an, ada pantai Losari jaman dulu, kawasan Pecinan di tahun 1800an sampai jalan poros Camba-Maros yang dibangun pemerintah Belanda di awal abad 20. Foto-foto itu lumayan bisa membawa pengunjung untuk bernostalgia sekaligus membayangkan wajah kota Makassar di awal abad 20 yang menurut Alfred Wallace adalah salah satu kota terbaik di Nusantara waktu itu.
Dari sekian banyak foto yang terpasang di dinding, ada satu foto yang jelas masih sangat baru. Di bingkai berukuran 20R itu terpasang dua foto yang disatukan. Keduanya sama, berisi foto pemilik warung bersama wakil presiden Jusuf Kalla. Di bawahnya ada tulisan yang menandakan kalau foto itu diambil di sebuah acara di istana wakil presiden tanggal 15 Agustus 2015. Sekadar bukti kalau Coto Senen pun bahkan jadi pilihan wakil presiden Indonesia.
Matahari masih redup tertutup awan, angin pun masih malas bertiup ketika kami akhirnya meninggalkan warung Coto Senen. Semangkuk coto memang dibanderol lebih mahal dari rata-rata semangkuk coto di kota Makassar. Rp. 25.000,- adalah ongkos yang harus dibayar di Coto Senen untuk semangkuk cotonya.
“Memang kajjalaki iyya anrinni, mingka tena na assingkamma kasia’na.” Kata bapak gempal tak seberapa tinggi yang tadi menemani saya merokok. Dalam bahasa Indonesia kalimat itu kira-kira berarti; memang harga di sini lebih mahal, tapi rasanya tidak sama.
Harus saya akui, rasa Coto Senen memang beda. Salah satu yang terbaik, apalagi di tanah yang jauh dari tanah asalnya. Lumayan buat pengobat rindu para perantau dari tanah Makassar, atau buat mereka yang mau tahu bagaimana rasa coto yang sebenarnya. [dG]