Capling dan Peluang Bisnis Dari Barang Bekas

Barang-barang ditata dan difoto, lalu dijual daring

 

Barang bekas impor memang masih banyak beredar di kota Makassar, bahkan mampu menghidupi banyak orang.

“TAS NATGEO BOSS.” Kata pria itu sambil menunjukkan beberapa tas di dalam genggamannya. Dia berdiri tidak jauh dari saya yang sedang duduk santai di seberang sebuah los penjual tas bekas.

Saya hanya tersenyum lebar kepadanya, belum mengerti apa yang dia maksudkan. Pria itupun beranjak pergi, menyusuri lorong dan berhenti di sebuah los yang kosong. Dari jauh saya melihat dia menata barang-barang yang tadi di bawanya di atas lantai los yang tingginya sekira 80 cm dari lantai. Tak berapa lama dia menarik sebuah undak-undakan dari kayu menyerupai tangga, mencari posisi yang pas untuk memotret barang-barang itu dengan handphone-nya.

Kegiatannya menarik perhatian saya, sepertinya ada yang unik dengan pria ini. Saya beranjak meninggalkan tempat duduk sdan menghampirinya.

“Mau dijual online ya?” Tanya saya.

Dia turun dari undak-undakan, menoleh ke arah saya dan menjawab. “Iyye, mau saya jual online.”

Dari situ kami kemudian mulai mengobrol.

*****

LELAKI ITU SAYA TAKSIR BERUSIA AWAL 30AN, berbadan gempal dengan beberapa tattoo di lengannya. Kaos merah menutupi tubuhnya, lengkap dengan sebuah kupluk bertuliskan “Suicidal Tendencies” yang belakangan saya tahu adalah nama sebuah band.

Barang-barang yang tadi ditatanya di atas tegel putih adalah 2 lembar kaos Adidas, satu tas travel, satu tas pinggang dan satu tas kamera kecil bermerek National Geographic. Rupanya dia memang berbisnis dengan cara itu, memotret barang-barang bekas bermerek lalu dijajakannya secara daring. Sebagian besar akunya dijual di BBM, sebagian lainnya dijual di Facebook.

Hari itu saya memang sedang berada di Pasar Terong, pasar yang dibangun sekisar tahun 1960an yang pernah menjadi pasar terbesar di kota Makassar. Sampai sekarangpun kawasan Pasar Terong masih menjadi kiblat banyak orang yang hendak mencari kebutuhan pokok sehari-hari. Sejak lebih satu dasawarsa terakhir pasar ini juga terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan barang-barang bekas impor atau yang di Makassar kerap disebut cakar-akronim dari cap karung.

'Saya pernah membeli sweater harga 30rb, saya jual 2.6jt." Katanya
‘Saya pernah membeli sweater harga 30rb, saya jual 2.6jt.” Katanya

Dalam kawasan Pasar Terong sebenarnya ada sebuah bangunan berlantai 3 yang dibangun tahun 1996. Bangunan ini tadinya diharapkan sebagai pusat perdagangan baru, mengubah pasar lokal yang dianggap jorok dan kumuh. Tapi apa lacur, pembangunan pasar ini tidak sesuai dengan kebutuhan pedagang. Ada banyak kesalahan perencanaan dan kesalahan penanganan yang membuat bangunan 3 lantai ini kemudian hanya tinggal menjadi bangunan tak terurus. Pedagang lebih suka berjualan di area di luar pasar.

Bangunan 3 lantai itu kemudian hanya jadi bangunan yang gelap, tak terurus. Di lantai 1 masih ada aktifitas pedagang, pun dengan lantai 2 yang sekarang digunakan oleh para pedagang barang bekas, sebagian besarnya adalah tas. Lantai 3 kosong, tak ada aktifitas sama sekali.

*****

“Saya pernah menjual sweater Ralph Laurent. Saya beli harga 30 ribu, saya jual 2.6 juta.” Kata pria yang belakangan saya tahu bernama Capling itu.

Saya pura-pura kaget mendengarnya. Iya, terus terang saya memang berpura-pura, karena masih belum yakin sama ceritanya. Saya menimbang-nimbang logika dari ceritanya, dalam pikiran saya mungkin saja dia hanya membesar-besarkan biar terlihat lebih hebat. Entahlah.

Sebelum kalimat itu keluar, Capling sudah banyak bercerita tentang kegiatan yang dia jalankan selama 3 tahun itu. Capling tidak punya los, dia hanya berkeliling ke pedagang-pedagang cakar yang ada di Pasar Terong. Meneliti satu-per satu barang bekas yang baru dibuka, mencari-cari barang bermerek yang kira-kira bisa dijual kembali. Capling tidak sendiri, selain dia ada banyak orang lain yang melakukan hal yang sama di Pasar Terong.

Jaket ini harganya tidak sampai Rp. 50.000,-

Barang-barang yang jadi incaran mereka adalah barang-barang bermerek dengan kualitas yang masih bagus tapi tergolong klasik atau mulai susah dicari. Jenisnya beragam, dari kaos, topi atau jaket bermerek produsen olahraga terkenal. Capling mengaku sudah berkali-kali menemukan dan menjual kembali kaos Adidas klasik dengan logo lama. Dari Blackberry-nya dia menunjukkan sebuah foto jaket Adidas berwarna putih yang konon dia jual seharga Rp. 460 ribu  ke seorang penggemar Vespa tua di Malang.

“Memang ada komunitas pecinta Adidas klasik. Mereka berani bayar mahal untuk barang-barang Adidas klasik.” Tutur Capling. Setelah saya cek di internet, memang ada komunitas pecinta Adidas di Facebook. Isi fan page mereka sebagian besar adalah barang-barang bermerek Adidas yang sudah terhitung klasik karena masih menggunakan logo lama.

Capling hanya mengandalkan kepercayaan. Dia mengambil barang dari pedagang tanpa membayar dulu. Pembayaran baru dilakukan setelah barang terjual. “Kadang juga saya bayar langsungji kalau saya yakin barangnya pasti laku.” Ucapnya.

Untuk pembelipun begitu. Jaringannya terbentuk bermodal kepercayaan, lalu dari mulut ke mulut pelanggannya makin bertambah. Dia menunjukkan nama di BBM-nya yang lebih dari 1000 nama. Menurutnya sebagian besar adalah pelanggannya. Menurut Capling lagi, pelanggan paling gila dari Kalimantan, gila dalam artian tidak pernah berpikir soal harga. Berapapun yang disebut Capling asal dia suka, pasti tidak ditawar lagi.

*****

“Itu artis yang gemuk, yang perancang busana juga pernah datang ke sini. Siapa seng namanya?” Capling mencoba mengingat nama si artis.

“Ivan Gunawan?”

“Nah! Itu.” Serunya. “Dia pernah ke sini cari barang. Drummernya PAS Band juga pernah ke sini.”

Saya memang pernah mendengar beberapa nama pesohor yang punya hobi mencari barang bekas, utamanya barang bekas yang sudah tergolong klasik. Setahu saya beberapa pemusik memang suka tampil dengan mode pakaian klasik.

Penggemar musik juga rupanya jadi target pasar Capling. Sudah beberapa kali dia berhasil menjual kaos resmi band-band terkenal dari luar negeri ke para penggemar beratnya. Semakin terkenal dan tua si band, semakin mahal harga kaosnya. Capling menunjukkan foto kaos bertuliskan Slayer dan Megadeth yang katanya laku dijual seharga Rp. 900rb per lembar.

“Dari mana kita tahu itu semua nama-nama band sama nama merek?” Saya penasaran karena sepanjang obrolan dia terus saja menyebut nama band dan nama merek yang kadang terasa asing di telinga saya.

“Dari Google ji. Rajinka browsing-browsing, cari tahu.” Jawabnya. Luar biasa juga, pikir saya dalam hati.

Lelaki ini punya urat bisnis yang bagus, selain pandai melihat peluang dia juga punya semangat menambah wawasan. Menjaga kepercayaanpun dipercayainya sebagai salah satu modal kuat untuk terus bertahan di bisnis yang menjanjikan ini.

“Ada juga anak-anak yang nakal, dia bilang barangnya bagus tapi ternyata robek. Atau orang sudah bayar, dia ndak kirim barangnya.” Ucapnya. “Kalau ada yang tipuki, carima. Anak-anak di siniji itu.” Sambungnya lagi menutup pembicaraan kami.

Kami berpisah ketika dia melihat seorang pedagang tas membuka karung berisi tas-tas impor bekas. Mungkin dia akan kembali membenamkan diri, memilih dan memilah tas-tas yang bermerek dan menurutnya layak untuk dijual dengan harga yang tentunya lebih mahal. Hari beranjak makin siang, saya meninggalkan Pasar Terong dengan tas yang berisi 2 jaket dan 1 celana cargo.

Cakar memang menggoda, saya mungkin salah satu yang sudah keranjingan berburu barang bekas impor itu. Tapi saya belum seperti Capling yang pandai melihat peluang dari barang-barang bekas impor. [dG]