Borneo 3 ; Kesederhanaan Yang Mengapung

Pasar Apung Lok Baintan
Pasar Apung Lok Baintan
Pasar Apung Lok Baintan

Tulisan ini adalah lanjutan dari dua tulisan terdahulu tentang Borneo. Tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini dan di sini.

Minggu subuh, jarum jam baru saja menunjukkan pukul 4 dini hari. Udara di luar masih dingin. Sebuah ketukan keras bergema di pintu asrama haji tempat saya, Almas dan Kang Asep dari Internet Sehat menginap. Saya belum sepenuhnya sadar, maklum malam sebelumnya kami menutup mata sekitar pukul 2 dini hari, berarti baru dua jam kami tertidur.

Kalau tidak ingat rencana kami pagi itu, saya mungkin akan kesal dan memilih melanjutkan tidur. Tapi demi mengingat kalau kami akan mengunjungi pasar terapung di Lok Baintan, saya bergegas bangun, ke kamar mandi dan mempersiapkan diri untuk berangkat.

Kami meninggalkan Banjar Baru ketika waktu hampir menunjukkan pukul 5 subuh. Katanya perjalanan akan ditempuh sekitar 45 sampai 60 menit dan pasar apung hanya akan ada sampai sekitar pukul 7 pagi. Dengan sebuah mobil milik seorang teman dari Kayuh Baimbai, berangkatlah kami. Jalan masih sepi, hanya ada satu-dua kendaraan yang melintas.

Kami melewati lahan gambut yang betul-betul sepi, nyaris tidak ada penerangan sama sekali. Lok Baintan masih jauh, di luar matahari mulai bangun. Cahayanya membuat kami bisa melihat dengan jelas keadaan sekeliling. Tak berapa lama kami mulai masuk ke daerah yang berpenghuni, sepertinya sebuah desa.

Jalanan mulai tidak nyaman, berlubang di sana-sini dan berkubang lumpur sisa hujan semalam. Tak ada aspal, yang ada hanya tanah. Di pinggir jalan rumah-rumah kayu berjejer, ada yang rapat ada juga yang dipisahkan tanah kosong. Suasananya benar-benar sederhana meski listrik sudah mampu menyalakan lampu dan beberapa televisi. Di sebelah kanan jalan, sungai lebar terpampang jelas.

Kami juga sempat melewati sekolah sederhana yang halamannya mirip rawa. Sebuah tulisan unik terpampang di sana : DILARANG BUANG AIR BESAR SEMBARANGAN.

Beberapa ibu nampak asyik mencuci di sungai berwarna kecoklatan itu, beberapa lainnya tanpa rasa risih membasuh tubuh mereka. Sungai bagi orang Kalimantan adalah sumber kehidupan. Tak perlu heran melihat mereka melakukan banyak aktifitas di pinggiran sungai yang melintas dan saling berpotongan di sekujur tubuh pulau Kalimantan.

Setelah melewati perjalanan yang panjang, akhirnya kami tiba di dermaga Lok Baintan. Dermaga masih sepi, nyaris tidak ada kegiatan. Pasar apung ternyata belum mulai. Kami duduk berkumpul di dermaga, menikmati pagi yang mulai mengintip. Di samping dermaga, seorang lelaki menuntaskan rutinitas paginya dari teras rumahnya yang berada langsung di bibir sungai. Menggosok gigi dan kemudian turun membasuh badan.

Beberapa perahu kecil dengan seorang ibu dan setumpuk hasil bumi melintas ke arah hulu ditarik sebuah kapal bermotor. Kenapa mereka melewati dermaga ? , Saya bertanya.

” Mereka memang mulai dari sebelah sana ” jawab seorang teman sambil menunjuk ke arah hulu. ” Nanti mereka akan terbawa arus dengan sendirinya menuju muara “

Pasar Apung
Aktifitas Para Pedagang

Ooo, jadi itu sebabnya kenapa perahu-perahu tak bermesin ini hanya melewati dermaga tanpa singgah. Benar saja, agak jauh dari dermaga perahu-perahu kecil berisi hasil bumi itu mulai ramai. Pasar dimulai tanpa aba-aba dan tanpa seorang penjaga pintu yang membuka pintu pasar.

Matahari mulai tinggi, tapi tertutup awan yang mendung. Perahu-perahu yang berkumpul makin ramai, bukan hanya para pedagang tapi juga beberapa perahu yang agak besar dan bermesin yang berisi para turis, asing maupun lokal. Lok Baintan memang mashyur sebagai pasar apung di Banjarmasin selain satu lagi yang berada lebih dekat ke kota Banjarmasin, Muara Kuin.

Seluruh pedagang adalah ibu-ibu setengah baya. Mereka mendayung dengan tenang, seakan aktifitas itu sudah mereka lakukan sejak lahir. Sesekali perahu itu saling bersenggolan, tapi tak ada tampang kesal apalagi marah. Mereka bertukar sapa dalam bahasa Banjar, sesekali menawarkan dagangan.

Isi perahu mereka beragam. Dari sayuran, buah-buahan hingga beras dan alat rumah tangga dari plastik. Sungguh pemandangan yang eksotis. Begitu menenangkan di pagi hari yang berawan. Menyenangkan sekali melihat sebuah tradisi yang syarat kearifan lokal masih terus terpelihara hingga saat ini. Tegur sapa dan gesekan antar perahu yang dibalas senyum ikhlas sungguh terasa hangat dan manusiawi.

Sekilas saya membandingkan tegur sapa para penjaga toko di swalayan yang berpendingin dengan lantai yang mengkilap. Kadang ada keterpaksaan di sana, ada rasa malas dan selebihnya adalah kewajiban. Lantai yang mengkilap, bangunan yang dingin dan megah memang terlihat begitu nyaman bila dibandingkan dengan sungai kecoklatan dan perahu kayu berwarna suram.

Senyum ramah para pedagang

Tapi, ada yang tidak bisa dibandingkan. Ada kesederhanaan dan kehangatan yang selalu menentramkan dari ibu-ibu yang rumahnya mungkin dari kayu dan jauh dari jalan raya. Ada sapa hangat dan senyum tulus yang mereka lakukan bukan karena kewajiban. Mereka tak mengerti SOP, mereka hanya mengikuti naluri untuk selalu hidup sederhana dan bersahabat pada siapa saja.

Ah, semoga saja kesederhanaan itu akan terus mengapung karena di atas kesederhanaan yang penuh kehangatan itulah Indonesia dibangun.
[dG}