Bone Supremacy
Akhirnya ke Bone juga! Kabupaten terakhir yang saya datangi di Sulawesi Selatan.
Saya baru sadar kalau di antara 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, tersisa kabupaten Bone dengan Watampone sebagai ibukotanya yang belum pernah saya datangi. Aneh ya, padahal Bone adalah kabupaten terluas di Sulawesi Selatan. Di masa lalu, Bone yang berbentuk kerajaan juga punya peran besar dalam sejarah panjang Sulawesi Selatan. Supremasi mereka bersaing dengan kerajaan Gowa dan Luwu.
Makanya, teman-teman saya heran ketika saya bilang kalau sabtu-minggu (30-31 Juli) yang lalu adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Bone. Mereka tidak seheran itu ketika saya bilang saya belum pernah sekalipun menamatkan vlog-nya Awkarin.
Mungkin karena supremasi Bone jauh lebih besar dari pemudi yang sedang ramai dibicarakan itu.
Watampone yang jadi ibukota kabupaten Bone berjarak sekira 174 km sebelah timur laut kota Makassar. Seperti Sinjai, untuk menuju ke Watampone ada banyak pilihan. Bisa melalui jalur Camba di kabupaten Maros, bisa melalui Bulu Dua kabupaten Barru dan Soppeng, bisa juga melalui jalur selatan, memutar hingga ke Sinjai dan masuk ke Bone. Atau mau lebih menantang? Bisa juga ke jalur utara, terus hingga ke Mamuju lalu berputar ke Sulawesi Tenggara dan menyeberang lewat Kolaka. Tapi sepertinya itu pilihan yang gila.
Saking luasnya, kabupaten ini sampai berbatasan dengan tujuh kabupaten/kota lainnya. Kabupaten Bone berbatasan dengan Maros, Soppeng, Wajo, Sinjai, Gowa, Barru dan Pangkep. Bahkan kalau mau ditambahkan, sebelah timur Bone berbatasan dengan teluk Bone yang di ujungnya ada Kolaka dan daerah-daerah lain di Sulawesi Tenggara. Pantaslah kalau Bone disebut sebagai kabupaten terluas di Sulawesi Selatan.
Tiba di Bone.
Pertama kali tiba di Bone jarum jam beranjak sedikit dari pukul 12:00 siang. Perjalanan kurang lebih lima jam melalui jalan berkelok dan tak mulus di antara Camba-Watampone lumayan membuat perut keroncongan. Tujuan pertama adalah tempat makan. Oh iya, saya tidak sendirian ke Bone. Di dalam mobil ada empat kawan lain yang sama-sama tergabung dalam Kepo Initiative. Ada Lelaki Bugis, Iqbal, Feri dan Halya. Berlima kami memenuhi undangan komunitas Rumah Baca Bukuta Philosophia yang meminta kami membawakan materi dalam acara workshop menulis dan media sosial selama dua hari.
Makan siang hari itu dipersembahkan oleh semangkuk bakso dan seporsi pisang ijo. Agak aneh menurut saya, jauh-jauh ke Bone kami malah disuguhi bakso dan pisang ijo. Tapi sekali lagi ini bukti supremasi Bone, kedua makanan itu bahkan bisa mereka taklukkan dan sajikan kepada para pendatang meski bakso bukan makanan asli mereka.
Selesai urusan dengan makanan yang ternyata nikmat itu, kami beranjak ke sekertariat Rumah Baca Bukuta Philosophia di Jl. HOS. Cokroaminoto. Kami sekadar meluruskan badan di sana sebelum memulai acara pukul 15:00 WITA.
Acara workshop hari pertama berlangsung lancar meski sempat diawali dengan sedikit usaha keras. Tidak ada pengeras suara karena pegawai kantor STAIN yang libur di hari Sabtu, sementara di luar ada orang yang sedang menggergaji pohon dengan mesin gergaji. Jadi silakan bayangkan bagaimana kami harus berusaha agar suara kami bisa terdengar oleh peserta, bersaing dengan suara mesin gergaji di luar sana. Apalagi ruangan yang dipakai adalah aula STAIN yang luas. Banyak ruang kosong yang memungkinkan suara menguap begitu saja.
Beruntung karena panitia bergerak cepat. Tak lama kemudian pengeras suara hasil usaha mereka sudah hadir. Sangat membantu, membuat sisa acara berlangsung lancar.
Workshop hari pertama dibuka dengan pengantar tentang internet dan media sosial serta jurnalisme warga oleh Lelaki Bugis. Setelahnya saya mengambil alih dengan sedikit mereview tulisan peserta yang memang sudah diminta sebelumnya. Bersama Lelaki Bugis kami memberikan masukan dan kritikan untuk tulisan mereka, sekaligus kami juga mengungkit curahan hati para peserta tentang kesulitan dan kendala mereka ketika menulis.
Di akhir acara saya menutup dengan sedikit materi tentang apa itu blog dan apa untungnya ngeblog. Acara hari pertama ditutup sekira pukul 17:00 WITA. Kami memang merancang acara hari pertama tidak terlalu padat. Maklum, kami mewaspadai rasa kantuk dan bosan di jam-jam rawan selepas jam makan siang.
Palette dan Cap Karung.
Selepas acara kami melesat ke Tanjung Palette yang berjarak sekira 12km dari pusat kota Watampone. Tujuan utamanya adalah melihat pantai yang jadi salah satu ikon kota Watampone. Pantai ini terletak di antara tebing karang dan berada hampir berhadapan dengan pelabuhan Bajoe.
Angin laut segera menyambut kami, berteman dengan deburan ombak dan matahari yang sedang bersiap-siap pulang. Ada satu gazebo besar yang dihubungan dengan jembatan kayu menjorok ke laut lepas. Di sanalah kami bercengkerama sambil menantikan matahari pulang dan mencari pokemon (tapi itu khusus buat Iqbal).
Malam mulai turun ketika kami meninggalkan Tanjung Palette. Tujuan kami apalagi kalau bukan kembali ke kota. Tapi, sesuai arahan sebelumnya kami mencari-cari satu toko di tepi jalan yang ketika perjalanan pergi sebelumnya sempat tertangkap radar. Toko itu bukan toko biasa, tapi teras rumah warga yang disulap menjadi toko barang-barang bekas impor yang disebut cakar (cap karung).
Toko itu cukup lengkap. Selain pakaian mereka juga menjajakan sepatu dan tas. Jadi di halaman yang luasnya kira-kira 20x10m itu ada sepatu, tas, jaket, kemeja, kaos dan celana. Semuanya adalah barang bekas impor.
Sebagian besar dari kami langsung menggila. Mata bersinar terang, urat leher menegang dan bulir peluh menetes perlahan. Maklum, barang-barang yang oleh mantan menteri perdagangan dianggap barang haram itu adalah penopang gaya hidup kami selama ini. Kami yang tak mampu berbelanja di mall atau butik menjadikan cakar sebagai pilihan alternatif memenuhi kebutuhan sandang.
Walhasil, kami menghabiskan waktu lebih lama di toko cakar itu daripada di Tanjung Palette. Saya hanya membawa satu tas etnik buat Mamie sementara Iqbal dan Lelaki Bugis masing-masing membawa lebih dari satu potong belanjaan. Lelaki Bugis bahkan membawa pulang tiga tas dan dua kemeja yang dengan demikian dia keluar sebagai pemenang malam itu.
Sebenarnya saya juga hendak berbelanja banyak, sayang kalau uang yang ada di kantong tidak dibelanjakan. Tapi entah kenapa saya juga masih tidak tega menjejalkan lebih banyak pakaian ke lemari yang sudah meminta ampun saking sesaknya itu. Jadilah saya menahan nafsu belanja untuk kemudian hari saya lampiaskan di tempat lain.
Makanan Kampung Yang Alamak Nikmatnya.
Lepas berekreasi di penjual cakar, kami beranjak kembali ke sekertariat Rumah Baca Bukuta Philosophia yang jadi tempat menginap kami. Panitia rupanya sudah menyiapkan makan malam buat kami. Makan malam yang dengan segera membuat saya hampir kelojotan saking nikmatnya.
Menunya nasi hangat, sayur bening, sambal tomat, ikan asin, tempe goreng dan telur dadar. Oh Tuhan! Nikmat apalagi ini namanya? Bukan apa-apa, selama empat hari empat malam sebelumnya saya selalu mengonsumsi makanan dari hotel dan restoran atau rumah makan. Saya baru saja menjalankan tugas ke Lombok dan setibanya di Makassar perjalanan langsung saya lanjutkan ke Bone.
Jadi wajar kalau menu rumahan seperti yang disediakan teman-teman panitia malam itu menjadi nikmat yang tak terkira buat saya. Sayangnya perut punya batasannya sendiri, jadilah saya harus rela berhenti makan ketika perut sudah melambaikan tangan ke kamera. Ampun, katanya.
Siksaan kenikmatan malam itu belum berakhir. Selepas makan malam sambil bercengkerama dan bermain kartu kami disuguhi pisang peppe. Pisang peppe adalah salah satu sajian khas Bugis-Makassar, terbuat dari pisang mengkal yang digoreng dan dimakan dengan cocolan sambal tomat. O lala! Nikmatnyo!
Tidak heran kalau kami tidur sangat nyenyak malamnya. Gabungan antara rasa capek dan kekenyangan jadi mantra ampuh menidurkan kami.
Keesokan harinya acara berjalan sesuai rencana. Hari kedua ada sesi tentang menulis yang saya bawakan, lalu ada dasar-dasar fotografi dari fotografer kesayangan kami semua; Iqbal Lubis. Setelah makan siang ada review tugas tulisan dari Lelaki Bugis yang disambung dengan materi etika media sosial. Sebagai penutup ada Feri yang membawakan materi optimasi blog.
Kami bertolak meninggalkan Bone di malam hari setelah sore harinya sempat bertandang ke sebuah coffee shop menawan di Bajoe milik seorang peserta workshop. Di malam hari kami juga dijamu orang tua Halya yang memang asli Bone. Kembali, perut kami harus meminta ampun ketika sudah tidak bisa menerima dera siksaan terus diisi makanan yang lezat.
Menjelang pukul 22:00 WITA kami akhirnya benar-benar meninggalkan Bone, kabupaten terakhir yang saya datangi di Sulawesi Selatan. Meski singkat, tapi supremasi Bone benar-benar terasa. Hadir lewat keramahan warganya dan sajian makanannya yang alamak nikmatnya. Terima kasih Bone, mudah-mudahan kita bisa bersua lagi! [dG]