Bertualang Bertahun-tahun, Bisakah?

Josh (paling kiri) sang petualang dari US
Josh (paling kiri) sang petualang dari US

Beberapa hari yang lalu saya bertemu seorang warga negara US yang bersama istrinya sudah bertualang setahun penuh melintasi banyak negara. Pertemuan itu membuat saya berpikir, bisakah saya melakukan hal yang sama? Atau tepatnya, maukah saya melakukan hal yang sama?

Prambanan sedang panas-panasnya hari itu, maklum jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Matahari tepat di atas ubun-ubun. Saya dan dua krucil luar biasa ini sudah capek mengelilingi area candi Prambanan dan memasuki satu per satu candi yang ada. Akhirnya kami tiba di bagian belakang candi di sebelah Selatan. Di bawah pohon kamboja (kalau tak salah ingat) ada beberapa bangku beton, lumayan buat beristirahat sejenak.

Di salah satu bangku ada seorang pria kaukasia dengan jenggot tebal sedang asyik menikmati lagu dari iPhone-nya. Tak jauh dari tempatnya duduk ada sebuah kamera yang berdiri di atas tripod. Seorang pria lokal berbadan gempal berdiri di dekat kamera itu. Tadinya saya mengira dialah pemilik kamera itu, ternyata bukan.

Kamera yang sedang merekam gambar landscape Prambaban itu kepunyaan si lelaki kaukasia, si lelaki lokal hanya menjaganya. Lelaki lokal yang tak sempat saya tanya namanya itu membuka pembicaraan tentang kamera yang merekam gambar dengan teknik long exsposure. Bukan hanya long sebenarnya, tapi very long exposure karena total dia menggunakan waktu 12 menit untuk mengambil 1 gambar.

“Is that yours?” Tanya saya membuka percakapan pada lelaki kaukasia itu ketika dia berdiri dan mendekati kameranya.

“Yes.” Jawabnya dengan ramah. Tadinya saya mengira dia seorang fotografer dari sebuah majalah traveling atau semacamnya, tapi katanya bukan. “I’m just an artist.” Katanya.

Selanjutnya kami terlibat dalam obrolan singkat. Namanya Josh, dia mengaku berasal dari Amerika Serikat, saya lupa menanyakan negara bagiannya. Rencananya dia akan ada di Yogya sampai akhir bulan Oktober sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang, Bali dan Lombok sebelum meninggalkan Indonesia. Josh sebenarnya jalan berdua bersama istrinya, tapi hari itu sang istri memilih untuk tidur di hotel setelah harus bangun subuh mengejar matahari terbit di Borobudur.

“I’ve been travel for one year.” Katanya. Kalimat yang membuat saya makin tertarik untuk terus mengobrol. Saya tertarik ingin tahu lebih banyak bagaimana cara dia bisa melakukan perjalanan panjang selama setahun penuh melintasi beberapa negara. Pertanyaan lain, saya ingin tahu apa pekerjaan dia sehari-harinya sampai bisa membiayai perjalanan panjang selama setahun penuh itu?

Sayang pertanyaan kedua saya tidak terjawab, entah karena dia enggan menjawabnya atau karena ada kesalahpahaman dari percakapan kami yang dibumbui bahasa Inggris pas-pasan dari saya. Hanya pertanyaan pertama yang dijawabnya panjang lebar.

“I always try to travel with the lowest budget. I did not use an airplane, just bus or train. I stay on a budget hotel or sometimes on our friend?s house.” Jawabnya. Yaelah bro, kalau cuma itu sih saya juga tahu, kata saya dalam hati.

“This is not too expensive I guess. Sometimes I sell my picture and with that money I can travel for another month.” Tambahnya lagi. Yaelah bro, tentu saja semua terasa murah buat kamu. Mata uangmu US dollar! Kata saya lagi, tentu saja dalam hati.

*****

Josh dan istrinya hanya sepasang dari banyak orang yang punya kegilaan yang sama. Mereka meninggalkan kenyamanan di kota asalnya, turun ke jalan dan melintasi berbagai negara untuk memuaskan hasrat mereka bertualang. Sebagian besar dari mereka bertualang dengan gaya low budget, meminimalkan biaya sebisa mungkin hanya agar bisa terus bertualang sepanjang tahun atau sampai mereka bosan.

Josh yang datang dari negeri makmur seperti US memang punya banyak kemudahan ketika ingin bertualang seperti itu. Pertama, mata uang mereka bernilai tinggi. Mereka hanya perlu bekerja setahun penuh untuk mengumpulkan uang yang mungkin bisa membiayai perjalanan mereka selama bertahun-tahun di negeri dunia ketiga yang mata uangnya jelas lebih rendah dari mereka. Kedua, mereka tak perlu ribet mengurus visa karena banyak negara yang memungkinkan mereka masuk hanya dengan visa on arrival.

Tantangan berbeda akan dihadapi oleh orang dari negeri dunia ketiga, contohnya Indonesia. Mata uang kita lemah, kadang seperti pria yang butuh layanan on clinic. Dengan mata uang yang lemah seperti itu, menabung setahun penuh tak akan cukup untuk membiayai hidup di negeri-negeri yang mata uangnya sama lemahnya, apalagi di negeri yang lebih makmur. Plus, paspor garuda kita masih belum bisa diterima dengan mudah di banyak negara. Harus ada visa yang prosesnya ribet dan butuh biaya besar.

Tapi, tantangan itu toh berhasil juga dilewati oleh beberapa orang. Anda pasti pernah mendengar kisah pasangan yang menamai diri mereka dua ransel. Selama bertahun-tahun mereka berdua juga hidup di jalan, menyeberang dari satu negara ke negara lainnya. Atau ada juga seorang Agustinus Wibowo yang pernah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya di negeri-negeri Stan di Asia Tengah. Saya juga pernah bertemu seorang pemuda yang bertualang setahun penuh di Papua. Sebuah petualangan yang tentunya butuh dana lebih sedikit daripada bertualang menyeberang negeri-negeri.

Contoh-contoh di paragraf di atas tentu jadi bukti kalau sebenarnya orang Indonesia bisa juga bertualang setahun atau bertahun-tahun penuh kalau mereka mau. Kalau tahu caranya, kita juga bisa tentunya. Tapi bagaimana kalau kita bisa tapi kita tidak mau?

Saya mungkin termasuk orang yang seperti itu. Saya membayangkan meski saya bisa atau mampu dalam hal finansial untuk membiayai perjalanan panjang setahun penuh, saya mungkin tidak akan melakukannya. Saya bukan tipe orang yang tahan bertahun-tahun meninggalkan kenyamanan di rumah sendiri atau di kota sendiri dan turun ke jalan tanpa pernah berpikir untuk pulang. Bukan berarti saya tidak suka bertualang dan menemukan hal-hal baru, saya suka. Tapi ide berjalan setahun penuh atau bahkan lebih bukanlah ide yang bisa saya nikmati.

Saya aslinya orang rumahan. Bermalas-malasan di rumah atau menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman adalah aktifitas yang selalu saya rindukan. Saya mungkin berada di tengah-tengah antara petualang dan orang rumahan. Saya menikmati suasana rumah dan kota tempat saya tinggal tapi sekaligus saya juga menikmati petualangan dan proses mengumpulkan pengalaman baru. Keduanya harus seimbang, tak boleh ada yang berlebihan atau saya akan dengan cepat disergap kebosanan.

Itu kalau saya, bagaimana dengan Anda?