Lain di Mulut, Lain di Judul


Sebuah pelajaran untuk tidak menelan mentah-mentah sebuah berita di media daring, karena tidak semua pernyataan narasumber itu diberitakan apa adanya.


Suatu hari, seorang menteri kepergok wartawan sedang makan di sebuah warung sederhana yang menyajikan hidangan kambing guling. Sontak saja si menteri menjadi pusat perhatian para wartawan itu. Mereka mengerubuti si menteri dan mulai mengajukan pertanyaan. Maklum, bukan hal biasa kan mendapati seorang menteri sedang makan di sebuah warung makan sederhana.

“Bapak suka makan di sini?” Tanya seorang wartawan.

Dengan wajah sumringah, si menteri menjawab, “Sering sih tidak, tapi ya saya suka makan di sini.”

“Bapak memang suka makan daging kambing?” Tanya wartawan yang lain.

“Suka, tapi karena saya ada penyakit darah tinggi dan kolesterol jadi saya makannya sesekali saja,” jawab pak menteri.

“Kalau dibandingkan makanan barat seperti burger atau pizza, bapak lebih suka yang mana?” wartawan yang lain ikut bertanya.

“Oh, saya juga suka sih makanan luar negeri itu. Malah kayaknya saya lebih sering makan makanan seperti itu karena anak-anak saya suka sekali,” jawab pak menteri dengan senyum tersungging di bibirnya.

Perbincangan kemudian berlanjut dengan nada santai sebelum akhirnya adegan menteri kepergok makan di warung itu selesai. Sang menteri pamit, meninggalkan para wartawan yang tadi mengerubutinya.

Keesokan harinya, beberapa media daring mengangkat topik pertemuan di warung makan dengan pak menteri itu.

Menteri A Kedapatan Sedang Menikmati Sajian Kambing di Warung Sederhana – kata media A.

Wow! Sungguh Sederhana, Menteri A Ternyata Suka Makan Kambing di Warung – kata media B.

Meski Punya Riwayat Darah Tinggi dan Kolesterol, Menteri A Ternyata Doyan Kambing – kata media C.

Terpergok Makan Kambing, Menteri A: Saya Sebenarnya Lebih Suka Burger dan Pizza – kata media D.

*****

Cerita di atas hanya rekaan saja, anekdot semata. Beberapa dari kita pasti sudah pernah membacanya kan? Cerita di atas menggambarkan bagaimana sebuah kejadian bisa ditulis dan disajikan ke publik dengan sudut yang berbeda-beda. Tergantung kepentingan sang wartawan dan medianya.

Cerita di atas muncul kembali di kepala saya ketika tadi pagi saya mendapati kicauan Jojo Suherman di Twitter. Mantan penyanyi cilik ini mengkritik sebuah pemberitaan media yang menurutnya cukup menyudutkan dia. Di media itu, Jojo – panggilan akrabnya – ditulis kesal karena konser Green Day di Singapura ditunda menyusul merebaknya virus Corona atau Corvid-19. Judulnya kira-kira begini: Joshua Suherman Kesal Batal Nonton Konser Green Day

“Padahal tadi pas interview ditanya ‘kesel gak sih?’ Terus headline-nya gini. Kayak gue gak punya empati sama korban dan malah mentingin konser. Gue ada jawaban ‘tapi kita bukan ahli medis, jadi menurut saja apa yang diregulasikan buat pencegahan aja. Tapi yang gitu-gitu gak dikutip sama Mas Febri,” kata Jojo dalam twitnya.


Twit Joshua Suherman

Wajar Jojo terlihat kesal, karena judul dan twit yang diangkat media daring seolah-solah menyudutkan dia. Tidak peduli sama bahayanya virus Corona dan malah memikirkan diri sendiri. Tidak heran dong kalau ada beberapa orang yang sudah langsung menghujatnya di bagian kolom komentar DetikCom yang juga mengangkat berita yang sama.

Menurutnya lagi, komentar itu hanya muncul sebagai selingan di tengah tujuan utama acara yang dihelat dan dihadirinya. Jojo hadir sebagai perwakilan Majelis Lucu Indonesia (MLI) yang sedang melakukan konferensi pers. Jadi komentarnya benar-benar hanya selingan dari sebuah rangkaian acara yang lebih besar.

Apa yang dilakukan wartawan media daring kepada Joshua Suherman ini bukan kali pertama. Di wawancara dengan Soleh Solihun, Jojo juga bercerita bagaimana wartawan media daring membelokkan inti dari jawaban yang dia berikan.


Kejadian lain dari orang yang sama

Wartawan – termasuk editor dan medianya – yang mewawancarai Jojo pasti punya kepentingan mendapatkan kunjungan, klik, atau share dari berita yang mereka buat. Kalau judulnya biasa saja, maka siapa yang mau baca kecuali fans berat Jojo misalnya. Menulis semata-mata hanya konferensi pers MLI tentu kurang menarik bila tidak mengangkat pernyataan Jojo yang bisa dikaitkan dengan virus Corona yang sedang marak saat ini. Apalagi orang Indonesia dikenal cukup malas untuk membaca lebih detail dan berhenti di judul saja.

Tapi kejadian seperti ini tidak bisa semata-mata dianggap sebagai sebuah kesalahan karena toh Jojo memang sempat mengatakan kalau dia kesal. Tapi ada sambungannya, dan sambungan itu tidak dianggap penting untuk dimasukkan ke dalam judul. Judulnya tentu tidak akan terlalu menarik bila misalnya dibuat seperti ini; Meski Kesal Konser Ditunda, Joshua Suherman; Kita Ikut Regulasi Saja Sebagai Pencegahan. Hmmm, kurang memantik emosi kan?

Saya tidak tahu apakah praktik seperti ini bisa dianggap sebagai framing dalam dunia jurnalistik? Memilih sudut tertentu, mengakali pernyataan narasumber untuk memberikan perspektif tertentu kepada pembaca tanpa benar-benar mendudukkan pernyataan narasumber ke konteks aslinya.

Selepas membaca twit Jojo, saya jadi bertanya-tanya, apakah berita Ayu Ting Ting yang kaget penderita Corona pertama di Indonesia adalah orang Depok itu memang konteksnya seperti itu, atau sebenarnya kejadiannya sama saja seperti kasus Joshua Suherman?

Mungkin saja Ayu dicegat wartawan dan ditanya pendapatnya tentang dua penderita virus Corona yang kebetulan berasal dari Depok, sama seperti asal Ayu Ting Ting. Lalu dengan polosnya Ayu menjawab, “Wah iya kaget juga pas dengar kabar itu.” Cuma begitu. Jawaban yang bisa dilontarkan oleh siapa saja. Tapi karena yang ditanya adalah pesohor, maka oleh wartawan media daring kemudian dibesar-besarkan, diolah menjadi sebuah berita daring dengan judul Ayu Ting Ting Kaget 2 Warga Depok Terjangkit Virus Corona.

*****

Sejak ramainya penetrasi media daring yang lebih mengutamakan kecepatan daripada ketepatan, saya memang mulai membatasi diri untuk langsung percaya begitu saja. Akurasi yang tidak tepat yang bila ditambah dengan kesengajaan untuk memilih sudut tertentu dan mendudukkan pernyataan tidak pada konteksnya, tentu akan menjadi bumerang bagi kita para konsumen berita.

Apalagi di musim panasnya perseteruan politik. Tidak semua yang kita baca itu benar. Kebijakan pembaca sangat disarankan. [dG]