Saya dan Partai Politik

Logo parpol 2014
Logo parpol 2014

Cerita tentang ragam partai politik yang pernah saya dukung sejak pertamakali ikut pemilihan umum 1997.

Hari itu saya melangkah dengan gugup ke dalam bilik suara. Ini pertama kalinya saya menggunakan hak pilih. Ada perasaan bangga menyelinap ke dalam dada, dapat hak suara berarti saya sudah cukup umur, sudah dianggap sebagai warga negara. Di dalam bilik suara saya menjatuhkan pilihan pada partai bernomor urut satu dan berlambang ka’bah. Waktu itu hanya ada 3 partai peserta pemilu, belum seperti sekarang. Memilih PPP sebenarnya adalah titipan dari orang tua, saya masih belum paham soal politik waktu itu.

“Ingat, pilih partai berlambang ka’bah!” Itu instruksi singkat yang tidak boleh dipertanyakan alasannya. Keluarga kami bukan abdi negara sehingga tidak harus memilih Golkar yang adalah partai pemerintah kala itu. Keluarga kami muslim, orang tua saya malah muslim yang taat. Karenanya pilihan selalu jatuh pada PPP yang dianggap mewakili kaum muslimin di Indonesia, tidak seperti PDI yang kala itu entah kenapa selalu dianggap sebagai partai kristen.

Kejadian itu tahun 1997, kali pertama saya menyalurkan aspirasi di dalam bilik suara. Setahun kemudian reformasi pecah dan dua tahun kemudian pemilihan umum digelar. Kali ini pemilu berbeda seperi 2 tahun sebelumnya. Kali ini ada banyak partai yang jadi peserta pemilu, totalnya 48 partai!? Sangat berbeda dengan pemilu-pemilu di era Soeharto yang hanya diikuti 3 partai.

Partai tahun 1999

Jumlah partai yang sangat banyak itu membuat saya pusing tujuh keliling. Bingung harus memilih partai yang mana. Kembali memilih PPP sepertinya sudah tidak mungkin, mata saya sudah terbuka dan sudah mulai paham politik. PPP bukan lagi satu-satunya partai yang saya favoritkan. Jadilah di hari pencoblosan saya bergeming dan tidak beranjak dari kamar.

“Kenapa harus pusing? Kan tinggal pilih PPP, selesai!” Kata ibu ketika saya menjelaskan alasan kenapa saya malas beranjak ke bilik suara. Tapi saya bergeming, hari itu saya membiarkan jari saya bersih dari tinta pemilu.

Beberapa bulan setelah pemilu saya mengenal Partai Keadilan. Seorang kawan kuliah yang memperkenalkannya dan kala itu saya tertarik, apalagi logonya menurut saya menarik. Tapi perkenalan dengan partai yang kelak bernama Partai Keadilan Sejahtera ini hanya sebentar, selepas pemilu saya tak tertarik untuk tahu lebih banyak.

Pemilu 2004.

Lima tahun kemudian saya sudah lebih dewasa dan tentu saja sudah lebih paham politik. 2004 adalah tahun ketika saya mulai mengumpulkan banyak informasi tentang partai politik yang akan berlaga di Pemilu 2004. Ada dua partai yang sangat menarik perhatian saya waktu itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PDI Perjuangan.

Tahun 2004 PKS memang sedang populer, gerakannya di lapangan banyak memikat kaum muda khususnya yang bergelut di organisasi rohani kampus. Saya terpikat PKS dan yakin partai itu bisa membawa perubahan besar di republik ini. Di sisi lain saya memuja PDI Perjuangan karena seorang karib yang jadi salah satu kadernya. Saya melihat partai ini adalah partai yang melambangkan pemberontakan, partai yang isinya orang idealis dan punya tekad kuat.

Jadilah saya membagi suara untuk kedua partai itu. Di DPRD tingkat II saya memilih PDI-P karena kawan saya kebetulan maju jadi calon anggota legislatif. Di DPRD tingkat I dan DPR pusat pilihan saya jatuh ke PKS meski tidak spesifik pada satu calon legislatif. Saya belum golput waktu itu.

Di pemilihan presiden saya kembali membagi suara. Sejatinya saya termasuk bagian tim kampanye SBY-JK yang kala itu diusung partai kecil. Karena bekerja di perusahaan milik JK maka secara otomatis saya masuk (tepatnya dimasukkan) sebagai bagian dari tim kampanye. Saya bertanggung jawab pada desain materi kampanye dan terus dipaksa ikut berkampanye. Saya mengerjakannya sebagai bagian dari sebuah profesionalisme, tapi hanya sebatas itu! Di bilik suara pada pemilihan presiden pertama di Indonesia, saya tidak memilih pasangan SBY-JK.

Di putaran pertama pilihan saya jatuh pada pasangan Amien Rais-Siswono. Iya, saya masih mengagumi Amien Rais kala itu. Saya melihatnya sebagai tokoh cerdas yang jadi salah satu motor penggerak reformasi. Sayang mereka tidak berhasil maju ke putaran kedua. Tadinya saya siap memberikan suara buat pasangan SBY-JK di putaran kedua, tapi sebuah kejadian dengan cepat mengubah pandangan saya. Beberapa hari sebelum pemilihan presiden putaran keduag digelar, sebuah selebaran ditempel di dinding kantor. Isinya instruksi supaya semua karyawan memilih pasangan SBY-JK dalam pemilihan presiden putaran kedua nanti. Sial! Saya dengan cepat berubah pikiran. Saya bukan tipe orang yang suka disuruh-suruh atau dipaksa-paksa, kalau saya memilih maka saya mau memilih karena memang saya mau, bukan karena saya disuruh. Jadilah di putaran kedua saya memberikan suara untuk pasangan ibu Mega-Hasyim Muzadi.

Pemilu 2009.

Kita tahu sendiri kisahnya, SBY akhirnya jadi presiden bersanding dengan JK. Masa pemerintahan mereka dikenang sebagai masa pemerintahan pertama yang memberi ruang besar untuk wakil presiden. Hingga kemudian mereka resmi bercerai menjelang pemilu 2009.

Kali ini saya sudah jauh lebih dewasa dan kritis dalam melihat peta politik di Indonesia. Saya sudah nyaris apatis pada semua partai yang dulu pernah saya coblos. PPP sudah tidak terdengar suaranya, sama sekali tidak menarik. PKS mengecewakan saya dan membuat tumbuhnya beberapa alasan yang membuat saya enggan memilihnya lagi. PDI-P juga sama, sudah tidak lagi menarik bagi saya di tahun 2009. Jadi ketika surat undangan pemilu tak kunjung datang ke rumah saya tidak lantas uring-uringan, pun tak lantas mencari tahu kenapa nama saya tidak terdaftar sebagai pemegang hak pilih.

Jadilah pemilu 2009 itu berlalu begitu saja, jari saya kembali bersih tanpa tinta pemilu. Suara saya tidak tersalurkan karena toh saya memang tak berniat menyalurkannya. Golput di pemilu legislatif berlanjut ke pemilihan presiden. Saya kembali kehilangan hak suara karena nama saya tidak terdaftar di DPT. Meski begitu saya kembali menjadi bagian dari tim kampanye JK-Wiranto. Materi kampanye mulai dari stiker, pin, poster hingga baliho saya desain meski saya tetap menolak untuk ikut turun ke lapangan dan berkampanye langsung.

Dan 5 tahun kemudian berselang. Pemilu tersisa 2 bulan beberapa hari lagi. Sampai sekarang belum ada undangan pemilu yang hinggap di rumah, sayapun belum berniat untuk mencari tahu apakah nama saya terdaftar di DPT atau tidak. Mungkin kali ini saya kembali membiarkan jari saya untuk tetap bersih dari tinta pemilu kalau memang benar saya tidak terdaftar sebagai pemilih tetap. Kalaupun terdaftar dan dapat undangan untuk memilih mungkin saya tetap tidak akan memilih, atau mungkin juga saya akan melenggang ke TPS. Semua tergantung mood di 9 April nanti. Setidaknya saya mengenang kalau saya pernah ikut dalam acara yang kata orang pesta demokrasi itu. Dulu, 10 tahun yang lalu. [dG]