Perantau Yang Lupa Pulang

Satu sudut Jakarta

Merantau ke Jakarta adalah pilihan jutaan orang Indonesia. Sebagian dari mereka tidak mampu bertahan di kota yang kejam itu, tapi banyak lainnya yang malah menikmati persaingan di Jakarta. Mereka bahkan lupa pulang.

Saya punya kawan, empat tahun yang lalu dia meninggalkan Makassar menuju ibu kota. Niatnya adalah mencari kerja sambil menimba ilmu sebanyak-banyaknya, terutama di bidang digital marketing. Kebetulan ada sebuah perusahaan digital marketing yang butuh tenaganya. Dulu dia berencana suatu saat nanti dia akan pulang ke Makassar dan mungkin membangun perusahaan digital marketing sendiri.

Empat tahun berlalu sudah. Kawan saya ini makin lama makin jauh terjerumus dalam dunia digital marketing. Setelah gonta-ganti perusahaan posisinya sudah semakin mantap, bukan lagi anak buah seperti ketika pertama kali menginjakkan diri di ibukota.

Dua minggu yang lalu kami sempat bertemu di sebuah cafe di Jakarta pusat. Dari obrolan ngalor-ngidul tiba-tiba topik tentang ?kembali ke asal? muncul ke permukaan. Saya sempat menyinggung rencananya dulu, kembali ke kampung halaman dan membangun usaha sendiri berbekal pengalaman dan ilmu selama merantau di ibukota. Kali ini dia hanya tersenyum, saya tahu maksudnya apa.

Mimpi untuk kembali ke kampung halaman dan membuat perusahaan digital marketing nampaknya akan tetap jadi mimpi. Setidaknya tidak bisa direalisasikan sekarang. Perkembangan dunia digital marketing di Makassar masih sangat jauh kalau dibandingkan perkembangan bidang serupa di Jakarta. Makassar belum siap menerima bidang baru seperti itu, membangun perusahaan digital marketing di Makassar berarti harus siap hidup dalam dunia yang stagnan dan belum sedinamis Jakarta.

Kawan saya sudah kencaduan dengan tingkat stress, tekanan dan tantangan di ibu kota. Tentu saja termasuk ilmu-ilmu baru di bidang digital marketing yang memang sangat dinamis dan sedang genit-genitnya. Memaksakan diri untuk mewujudkan mimpi pulang kampung dan membuka usaha yang sama sekarang ini sama saja dengan membunuh sebuah semangat yang sedang panas-panasnya. Saya hanya tertawa kala itu, alasan yang sangat masuk akal dan bisa dipahami.

— o0o?–

Kawan saya hanya satu dari sekian banyak orang-orang yang merantau dan lupa pulang. Saya belum pernah melakukan penelitian atau membaca penelitian tentang ini, tapi dari pengalaman setidaknya saya bisa menyimpulkan kalau 8 dari 10 orang yang saya kenal dan merantau ke luar Makassar benar-benar tidak punya (atau belum punya) niat untuk kembali. Kehidupan dan tantangan di luar Makassar membuat mereka nyaman dan terus merasa tertantang untuk mencoba hal-hal baru.

Mereka yang akhirnya kembali ke Makassar adalah orang-orang yang punya alasan khusus. Ada yang karena kalah bersaing di ibu kota, ada juga yang karena alasan keluarga. Ada seorang kawan yang memutuskan untuk kembali ke Makassar setelah kontrak kerjanya di ibu kota tidak diperpanjang lagi. Seorang kawan yang lain memutuskan kembali ke Makassar karena istri dan anak-anaknya tidak bisa meninggalkan kota ini. Kawan yang lain setelah bertahun-tahun hidup di ibukota memutuskan kembali ke Makassar karena tidak tahan dengan kehidupan ibukota yang membuatnya akrab dengan dunia hitam dan dunia remang-remang.

Sementara itu teman-teman dan keluarga yang memilih melanjutkan hidup di Jakarta sampai bertahun-tahun adalah orang-orang yang sudah mulai merasa nyaman dengan siklus hidup dan suasana hidup ibukota (atau tempat perantauan yang lain). Kadang timbul kerinduan akan kampung halaman, tapi itu tidak berarti membuat mereka memilih untuk kembali selama-lamanya. Sepanjang yang saya tahu, alasan utama mereka tak hendak kembali ke Makassar adalah karena mereka merasa tantangan yang akan jauh berbeda kalau mereka kembali ke Makassar. Apa yang sudah mereka nikmati dan dapatkan di ibukota tentu tak akan sanggup disamai oleh segala macam tantangan atau pengalaman di kota seperti Makassar. Pulang berarti membuat ilmu, pengalaman dan kemampuan yang sudah terpupuk di Jakarta itu akan sia-sia.

Beberapa perantau lain yang hidup di kota selain Jakarta juga punya alasan yang sama. Mereka sudah nyaman hidup di perantauan, bedanya beberapa dari mereka tetap berpikir untuk setidaknya menyekolahkan anak-anak mereka di Makassar. Kasus ini terjadi pada mereka yang merantau di kota atau daerah yang lebih ke timur dari Makassar.

Pembangunan Indonesia memang masih sangat terpusat di Jawa, utamanya di Jakarta. Ketimpangan secara nyata bisa kita lihat. Dinamika kota Jakarta sangat jauh berbeda dengan kota-kota lainnya, apalagi kota di luar pulau Jawa. Ini pula yang membuat mereka yang sudah nyaman hidup di kota dengan dinamika seperti Jakarta akan merasa sangat berat untuk pindah ke kota lain, apalagi kota di luar pulau Jawa. Tak heran kalau banyak perantau di kota Jakarta yang akhirnya malas atau setidaknya belum terpikir untuk pulang kampung bukan?