Pejabat Marah-Marah, Kita Malah Bungah
Pejabat marah-marah sampai membentak dan menggebrak meja di depan kamera, lalu kita malah bungah?
Hari Minggu kemarin (22 Januari 2017), Iyan mengirim sebuah pesan lewat Line. Katanya blognya tidak bisa terbuka, pesannya selalu “Website Busy”. Setelah saya cek ternyata itu karena jumlah kunjungan ke blognya yang naik drastis. Dari yang biasanya hanya 200an tiba-tiba menjadi 10an ribu! Artikel yang paling banyak didatangi orang adalah artikel petunjuk bagaimana seharusnya kita tidak boleh langsung marah-marah di UGD ketika terlambat ditangani.
[Artikelnya bisa dibaca di sini]
Awalnya saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai artikel itu tiba-tiba didatangi puluhan ribuan orang dalam dua hari (hari sebelumnya artikel itu juga sudah dibaca sampai ribuan kali). Setelah mengobrol, rupanya itu karena ada kejadian di Jambi yang melibatkan Zumi Zola sang gubernur dengan beberapa pekerja di rumah sakit di sana.
Rupanya, sang gubernur beraksi di depan kamera dengan marah-marah, membentak, memaki, menggedor pintu, menggebrak meja sampai menendang bak sampah di rumah sakit umum daerah Raden Mattaher, Jambi. Alasannya, pak gubernur marah karena para perawat dan petugas rumah sakit tersebut malah kedapatan tidur di jam satu dini hari. Iya, jam satu dini hari!
Menurut pak gubernur lagi, ada laporan bahwa banyak pasien rumah sakit yang tidak tertangani dengan baik oleh para petugas di sana. Itulah alasan dia melakukan inspeksi mendadak di jam satu dini hari. Ketika menemukan bahwa para petugas malah asik tidur, meledaklah amarahnya. Ternyata laporan warga tidak bohong, mungkin itu katanya dalam hati.
Pak gubernur juga tidak peduli apakah ada petugas yang berjaga, atau apakah para petugas itu sesungguhnya sedang mangkir menjalankan tugas atau sekadar beristirahat mumpung tidak ada kerjaan? Pak gubernur juga tidak peduli kalau itu jam satu dini hari, jam yang secara biologis adalah jam tidur bagi sebagian besar manusia normal.
Pokoknya mereka kedapatan tidur, mereka harus dibentak dan dimarahi! Apalagi ada kamera wartawan, mereka harus diberi pelajaran! Video dan foto yang menampakkan wajah mereka yang menunduk ketakutan harus disebar sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya!
Mungkin itu yang dipikirkan pak gubernur.
Apakah Harus Marah-Marah?
Saya sebenarnya tidak tahu banyak tentang bagaimana sebuah operasional rumah sakit bekerja, apalagi di malam hari. Alhamdulillah saya tidak terlalu sering menghabiskan waktu di rumah sakit. Kalaupun pernah, itu sudah cukup lama dan memang sepertinya cukup memberi kesan buruk bagi saya.
Kinerja perawat yang lambat, dokter yang seperti ogah-ogahan, jam satu malam bukannya dinas dengan sikap tegak di belakang meja, malah asyik bercanda. Saya pernah merasakan itu semua, dan iya saya juga pernah marah-marah di rumah sakit.
Belakangan setelah berteman dengan beberapa perawat dan dokter, perlahan saya mulai paham. Mereka juga manusia, mereka bukan mesin yang tinggal diatur jadwal kerja dan diberi asupan energi listrik lalu bisa berjalan lancar. Ada masa ketika mereka juga letih, kehilangan konsentrasi dan butuh istirahat. Apalagi di jam yang rawan selepas tengah malah. Belum lagi tuntutan dari bermacam-macam pasien yang tentu saja memengaruhi mental mereka. Itu belum termasuk standar operasional yang tidak dipahami orang awam. Semua mau cepat, padahal UGD atau rumah sakit bukan menganut sistim first come first serve.
Kembali ke soal pak gubernur Jambi yang marah-marah.
Sepertinya tren pejabat daerah marah-marah di depan kamera memang sedang naik. Ahok di Jakarta, Risma di Surabaya, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah sampai Zumi Zola di Jambi. Mereka semua sudah pernah tertangkap kamera marah-marah di hadapan anak buahnya yang menurut mereka tidak menjalankan tugas dengan baik atau pihak lain yang dianggap merusak apa yang sudah mereka kerjakan. Di antara mereka Ahok yang paling terkenal dengan mulut kasarnya.
Cilakanya, banyak orang yang justru bungah melihat tren ini. Senang dan gembira melihat pejabat marah-marah sampai matanya melotot dan urat lehernya menegang. Buat mereka ini cara yang pas untuk memberi pelajaran pada pelayan publik yang tak becus kerjanya. Rasakan! Makanya kerja yang benar, mungkin begitu pikir mereka.
Padahal buat saya, marah-marah di depan kamera itu justru hanya memperburuk wajah mereka. Menegur masih okelah, masih bisa ditoleransi bahkan harus dilakukan. Tapi marah-marah sambil membentak? Di depan kamera, di hadapan banyak orang dan disebar ke jutaan orang lainnya?
Persoalannya, apakah akar masalahnya lantas terselesaikan hanya dengan marah-marah begitu? Yakin kalau marah-marah di depan kamera benar-benar menyelesaikan masalah? Apakah hanya itu satu-satunya cara?
Buat saya lebih bijak bila mereka dipanggil ke ruang khusus, jauh dari kamera atau rekan sejawat mereka. Bentak mereka di sana, marahi sepuasnya. Selepas itu saya yakin mereka justru akan lebih terpicu untuk bekerja lebih baik. Bandingkan dengan perasaan ketika mereka dimarahi di depan publik. Alih-alih nurani mereka tersentuh, yang ada hanya rasa takut atau malah emosi.
Kita belum bicara soal perasaan keluarga mereka yang wajahnya terpampang di kamera selepas kena marah para pejabat itu. Bagaimana anak-anak mereka di sekolah? Yakin mereka tidak dirisak teman sekelasnya?
Sewaktu kecil saya pernah melihat langsung almarhum Bapak dimarahi bossnya. Itupun bukan model marah seperti pak gubernur Zumi Zola, bukan pula di depan orang banyak. Tapi, adegan itu tinggal cukup lama di benak saya. Kasihan, sedih dan entah apa lagi melihat almarhum Bapak hanya bisa diam dan menunduk ketika dimarahi bossnya. Nah sekarang bayangkan perasaan anak-anak mereka yang dimarahi habis-habisan di depan kamera itu.
Pejabat yang menegur anak buahanya bagus, tapi sampai membentak tak karuan dan menendang tempat sampah atau menggebrak meja seperti anak kecil yang sedang tantrum? Well, I am not a big fan of that.
Curahan hati seorang perawat yang sedih melihat teman sejawatnya dimarahi di depan publik. Baca di sini
Tapi menurut mereka, beberapa orang mungkin harus dibikin kapok dengan cara itu. Karena ditegur keras saja tidak cukup. Sungguh kita sedang menjadi bangsa yang pemarah. Dan kadang kita malah bungah. Kita? Elo aja kalii [dG]