Menjadi Perokok Bermartabat, Mungkinkah?

sumber: Flickr
sumber: Flickr

Perokok sering dianalogikan sebagai perusak lingkungan dan perusak kenyamanan. Tapi kadang mereka sendiri yang membuat diri mereka digambarkan seperti itu.

ADA SATU PETISI YANG SEDANG RECOK BELAKANGAN ini di media sosial. Petisi yang berisi kepedaran seorang ibu dan bayinya yang katanya terincit dari sebuah gerai donat terkenal oleh para perokok. Petisi ini langsung mendapat sambutan dari banyak orang yang memang sudah lama jengah dengan perilaku para perokok. Belakangan petisi ini mendapat tentangan dari beberapa orang yang mengaku saksi mata kejadian itu. Konon si ibu dan bayinya yang berada di ruang perokok dan malah asyik merokok. Ketika diperingati baik-baik si ibu malah nyolot, marah-marah dan malah kemudian berakhir dengan petisi berisi kepedaran.

Entah mana yang benar, para perokok yang arogan atau si ibu yang bebal pada kesehatan bayinya dan kemudian arogan lalu tidak terima diperingati.

Satu hal yang sudah pasti, merokok sudah jadi sebuah kegiatan yang begitu merangsang beragam tanggapan. Banyak yang menikmati tapi banyak juga yang jengah dan bersuara lantang menentang. Dalam beberapa kasus, para perokok sering ditempatkan sebagai pesakitan, perusak ketenteraman dan kenyamanan. Karenanya perokok dianggap satu strip di bawah pelaku kejahatan.

Merokok sejatinya adalah sebuah aktivitas yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, turun temurun melintasi banyak generasi. Ada banyak ragam cerita berbeda yang mengisahkan awal sejarah rokok di Nusantara, tapi yang paling banyak ditemukan tentu saja di tanah Jawa.

Kata rokok sendiri adalah serapan dari istilah Belanda roโ€™ken. Istilah ini tidak dijumpai dalam susastra masa Hindu-Buddha. Istilah lain yang sering dijumpai dalam masa itu adalah mangudud (mengisap). Kata lain yang berkelindan dengan kata mengudud adalah ududan (bahan-bahan rokok) yang ditemukan dalam kalimat di kitab Sri Tanjung. Oleh PJ. Zoetmulder kedua kata itu diartikan sebagai merokok atau sama dengan kata dalam bahasa Jawa Baru; ngudud.

Kalau asumsi itu benar maka berarti tradisi merokok sudah ada sejak jaman Kerajaan Kadiri di abad VIII Masehi.

Sebelum tembakau datang ke Nusantara yang dibawa oleh orang-orang Eropa, orang Jawa kuna melakukan tradisi ini dengan beragam bahan lain yang berasal dari tanaman tertentu. Cengkeh sendiri sebagai salah satu bahan rokok kretek sudah ditemukan dalam prasasti pra kolonial di Jawa dengan nama cingkih. Data-data ini menunjukkan kalau rokok terlepas dari apa bahannya dan bagaimana cara menikmatinya sudah ada di tanah Jawa sejak berabad-abad yang lalu. Tembakau hanyalah salah satu bahan sampingan yang datang kemudian.

[Kretek Jawa; Gaya Hidup Lintas Batas โ€“ Rudy Badil/KPG]

Perjalanan rokok yang melintasi banyak jaman kemudian melibatkan banyak hal. Dari ekonomi, sosial budaya sampai politik. Rokok menjadi komoditas yang menghidupi banyak orang dan bahkan membuat para pengusaha rokok menjadi orang-orang terkaya di Nusantara. Rokok juga menjadi objek perdebatan antara para penikmat dan para aktivis kesehatan. Perdebatan yang semakin meruncing dalam tahun-tahun belakangan ini.

Dari segi budaya rokok juga mengalami banyak perubahan. Dari penanda status sosial priyayi Jawa dan para bangsawan hingga menjadi alat penyambung kekerabatan. Di beberapa daerah rokok malah dilekatkan dengan simbol perlawanan terhadap kemapanan dan simbol ketidakbenaran. Ingat adegan dalam film G.30S PKI? Perhatikan berapa banyak adegan yang menggambarkan para petinggi PKI melakukan rapat dengan rokok yang mengepul di mulut mereka padahal konon kejadian sebenarnya tidak seperti itu.

*****

โ€œITU ADA ASBAK. JANGAN BUANG ABU SEMBARANGAN.โ€ Kata saya pada seorang kawan yang sedari tadi saya perhatikan membuang abu rokoknya ke lantai. Dia meringis lalu mengikuti saran saya.

Sebagai seorang perokok aktif, kejadian seperti ini sering kali mengganggu saya. Perilaku para perokok yang suka seenaknya. Membuang abu sembarangan, merokok dengan cueknya di antara mereka yang bukan perokok (apalagi di antara ibu hamil, anak kecil atau di atas angkot) sampai mereka yang menebalkan muka merokok di ruangan yang jelas-jelas ada tulisan DILARANG MEROKOK.

Saya merasa terganggu karena merasa mereka inilah orang-orang yang merusak citra para perokok. Mereka yang merokok seenaknya tanpa peduli pada sekitar tentu saja membuat mereka yang dasarnya sudah tidak suka rokok menjadi makin pedar dan kemudian bisa saja makin giat menggalakkan kampanye anti rokok.

Saya tahu merokok memang tidak baik untuk kesehatan, tapi tentu itu jika dilakukan di atas batas kewajaran. Jangankan merokok, mengonsumsi makanan cepat saji yang jelas-jelas mengenyangkanpun akan memberikan efek negatif bagi kesehatan jika dikonsumsi berlebihan. Tak ada yang baik kalau semua dikonsumsi secara berlebihan. Toh saya juga sudah sering menemukan mereka yang berusia sangat lanjut dan masih aktif merokok, bahkan sejak usia muda.

Tapi rokok berbeda, rokok punya asap dan abu yang cukup mengganggu orang lain. Utamanya mereka yang tidak merokok. Di sisi inilah para perokok seharusnya bisa sadar dan berusaha menjadi perokok yang bermartabat. Perokok yang bisa menikmati rokoknya tanpa harus mengganggu orang lain di sekitar mereka. Kalau semua perokok sudah bisa seperti itu maka (mungkin) kampanye anti rokok akan kalis dengan sendirinya, pun kisah seperti di petisi itu tidak akan pernah ada.

Merokok masih jadi kegiatan legal yang dilindungi undang-undang, setidaknya seperti yang termaktub dalam pasal 115 ayat 1, Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2006 yang mengharuskan setiap kawasan yang melarang merokok juga harus menyediakan area khusus perokok. Tapi, perokokpun harus punya kesadaran untuk menghormati yang bukan perokok, kesadaran untuk menjadi perokok yang bermartabat. Agar para perokok dan bukan perokok bisa hidup damai tanpa harus saling mengganggu.

Tapi, mungkinkah? [dG]