Memilih Untuk Tidak Memilih
Selain golput yang tidak sengaja, ada juga mereka yang memang sengaja menggugurkan haknya untuk memilih. Mereka adalah orang-orang yang sudah apatis dan kehilangan kepercayana pada sistim pemilihan umum di negeri ini.
Momen pilkada gubernur SulSel memang masih jauh, masih setahun lagi. Tapi aromanya sudah menyeruak ke mana-mana, ke segala sudut propinsi di selatan pulau Sulawesi ini. Perbincangan tentang siapa yang akan maju dan siapa yang punya peluang terbesar untuk jadi pemenang sudah beredar di mana-mana. Dari warung kopi pinggir jalan hingga cafe berpendingin udara. Pemilu, entah di level daerah atau level nasional selalu punya daya tarik sendiri untuk bangsa ini.
Momen pilkada ini mengingatkan saya pada sebuah fenomena yang marak dalam beberapa pemilu beberapa tahun belakangan ini. Yang saya maksud adalah fenomena golput atau golongan putih. Jumlah mereka yang tidak menunaikan haknya dalam setiap gelaran pemilu makin lama makin banyak.
Data terakhir yang dilansir selepas pemilu legislatif tahun 2009 kemarin menyebutkan kalau jumlah golput mencapai prosentasi tertinggi, 39.1% dari keseluruhan calon pemilih sebesar 191 juta. Jumlah ini lebih besar dari jumlah persentase yang diraih Partai Demokrat yang menjadi pemenang pemilu. ( sumber : http://nusantaranews.wordpress.com/2009/04/10/hasil-pemilu-2009-partai-golput-menjadi-pemenang/ ) Sebuah hasil yang memprihatinkan.
Golput Sengaja dan Tidak Sengaja
Pemilu 2009 memang dituding sebagai pemilu yang paling berantakan bila dibandingkan dengan beberapa pemilu sebelumnya. Proses administrasi dan pendataan calon pemilih berjalan dengan amburadul, hasilnya banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih dan dengan demikian kehilangan haknya untuk memilih.
Mereka inilah yang dikenal disebut sebagai golput tidak sengaja. Mereka punya niat untuk menunaikan haknya, memilih partai dan anggota legislatif yang akan mewakilii mereka di lembaga legislatif. Tapi sistim yang kacau membuat mereka terpinggirkan dan kemudian kehilangan hak.
Pada pemilu 2009, banyak pihak yang menuduh kalau kekacauan ini disengaja untuk mendongkrak perolehan suara salah satu partai. Terlepas benar atau tidaknya, kenyataan itu jadi sejarah kelam dalam pemilihan umum di Indonesia.
Selain golput yang tidak sengaja, ada juga mereka yang memang sengaja menggugurkan haknya untuk memilih. Mereka adalah orang-orang yang sudah apatis dan kehilangan kepercayana pada sistim pemilihan umum di negeri ini.
Mereka tidak pecaya pada siapapun yang mengaku bisa menjadi wakil mereka di legislatif, pada partai yang selalu mengaku bisa menyalurkan aspirasi mereka dan berjuang demi kesejahteraan mereka.
Polah laku para wakil rakyat dan partainya memang sedikit banyaknya memberi stimulasi buruk pada para pemilih. Mereka yang mengaku wakil rakyat dan selalu berkoar-koar akan memperjuangkan nasib rakyat saat kampanye ternyata banyak yang jauh api dari panggang. Tidak semua tingkah mereka berdasarkan keinginan untuk memperjuangkan nasib rakyat, banyak yang malah memalukan dan seakan menindas rakyat yang memilih mereka.
Tak salah bila kemudian muncul sikap anti pemilu dari para calon pemilih. Mereka memilih untuk tetap berdiam di rumah atau di tempat lain daripada melangkahkan kaki ke TPU untuk memilih satu dari beragam pilihan di kertas suara. Merekalah orang-orang yang sengaja membakar hak mereka, memilih untuk tidak mengotori jari mereka dengan tinta yang memang disiapkan untuk para pemilih.
Pro dan Kontra.
Para golput sengaja itu kemudian memunculkan pro dan kontra. Bagi mereka, pilihan untuk tidak memilih adalah sebuah langkah protes keras terhadap sistim pemilihan umum yang sudah menempatkan banyak orang tak layak untuk menjadi wakil mereka. Mereka menolak diwakili oleh mereka-mereka itu, dan sebagai caranya mereka sengaja untuk tidak memilih.
Bagi mereka yang memilih, pilihan para golput yang sengaja menggugurkan haknya itu adalah pilihan para pengecut. Mereka menganggap para golput itu adalah orang-orang yang tidak berani mengambil pilihan dan hanya tahu mengkritik tanpa punya solusi. Mereka juga sadar, pilihan yang ada memang lebih banyak pilihan yang tidak menjanjikan. Tapi lebih baik memilih mereka yang punya potensi daripada sama sekali tidak memilih, begitu kata mereka.
Para golput dituding tidak berani. Mereka tidak mau memilih siapapun, dan ketika mereka-mereka yang terpilih itu kemudian naik ke tampuk tertinggi entah sebagai legislatif maupun eksekutif maka para golput itu bisa dengan leluasa mencaci setiap kesalahan langkah yang mereka lalukan. Pro dan kontra ini berlangsung terus dengan berbagai alasan dan pembelaan.
Saya sendiri dalam rangkaian pemilu tahun 2009 kemarin memang berada dalam jajaran golput. Saya adalah gabungan antara golput sengaja dan tidak sengaja. Sengaja karena memang saya sudah ada pada tingkat apatis melihat tingkah polah para wakil rakyat dan para pemimpin negeri ini. Saya sudah kehilangan kepercayan dan respek pada mereka. Terakhir saya ikut pemilu secara penuh pada tahun 2004.
Keengganan saya untuk memilih di tahun 2009 kemudian dilengkapi dengan pendataan yang amburadul. Nama saya tidak tercantum dalam daftar pemilih. Tak ada protes dari saya, tak ada usaha untuk mempertanyakan karena toh saya memang sudah tidak bernafsu untuk ikut antri di depan bilik suara.
Pengecutkah saya? Tergantung dari sisi mana anda melihat. Saya mungkin? bukan warga negara yang baik karena saya tidak ikut ambil bagian dalam sebuah peristiwa yang bisa mengubah wajah negeri ini. Tapi, setidaknya saya memanfaatkan hak saya. Hak memilih untuk tidak memilih.
[dG]
saya juga sebenarnya mau golput aja bang, karena kebanyakan cuma janji ketika melakukan kampanye, namun ketika terpilih, realisasinya bisa dikatakan jauh dari harapan. Namun kembali lagi, satu suara saja dapat membuat perubahan bang.
sya belum tau untuk pemilu berikutnya, mungkin sudah akan menanggalkan label golput.
asal…terdaftar sebagai pemilih 😀
Wogh, ternyata yang tahun kemaren ndak milih, tho? Pantesan si Bapak itu kalah. #eh 😆
bwahahaha
padahal aku masuk tim sukses beliau, bikin2 kaos, poster, sticker sama pin segala macam. pas hari H malah jd pengawas tapi gak milih blas
=))
bemana ini? bukannya kau ke TPS untuk memilih yg lebih baik, malah golput?! =))
golput sejatinya bukan sesuatu yang tabu. sikap apolitis sebenarnya adalah sikap politis juga. hanya saja budaya politik kita cenderung tidak menganjurkan orang untuk golput. dan ketika MUI mengeluarkan fatwa bahwa golput itu haram, lengkaplah sudah kebodohan itu. hihihi.
Saya sendiri cenderung mengadopsi pemikiran orang Korea khususnya para mahasiswa yang dikenal ekstrem ketika berunjuk rasa. Mereka selalu bilang: siapapun pemimpin pada saat itu, pilihlah para oposisinya karena sebuah pemerintahan tidak boleh terlalu lama di atas agar korupsi dan hal2 buruk lainnya tidak keburu mencengkeram negara.
Jadi, tahun 2004 lalu saya pilih Demokrat; 2009 saya pilih Gerindra. Tahun 2014 nanti, saya akan memilih partai oposisi lain yang masih saya pikir2 mana yg terbaik 🙂
wah, teorinya keren..!!
kayaknya mau saya adopsi juga ah…selalu memilih oposisi
lihat-lihat dulu besok yang dipasang di kartu pemilih siapa… 2009 lalu aku juga ngga milih 😀
kalau sudah dirasa tidak ada lagi yang tepat, mungkin daeng yang ditunggu.. hihi..
jadi inget postinganku yg lalu. menyoal golput itu.. berarti memperbesar kemungkinan bagi yang kurang pantas untuk maju lho 🙁