Kenapa Papua Mau Merdeka?

Coretan di dinding UNCEN
Coretan di dinding UNCEN

Pertanyaan ini juga sering hinggap di kepala saya, lalu dengan kesoktahuan sendiri saya mencoba menjawabnya. Setelah menginjakkan kaki di Papua berkali-kali akhirnya saya mulai bisa meraba jawabannya.

Suatu hari di salah satu super market modern di Jayapura. Saya asik mencari barang yang saya butuhkan di antara rak-rak super market yang sesak ketika tiba-tiba seorang anak lelaki tanpa pakaian (iya, benar-benar bugil!) berlarian di antara rak. Saya sempat kaget, pemandangan seperti ini bukan pemandangan yang biasa Anda temukan di dalam super market yang berlantai licin dan berpendingin ruangan.

Anak lelaki itu berumur sekira 11 atau 12 tahun, berkulit legam dengan rambut keriting khas ras Australoid. Dia sempat beberapa menit berlarian di antara rak, menyentuh satu-dua dagangan yang tersusun rapi sebelum seorang petugas super market berkulit lebih terang menyeretnya keluar. Orang-orang hanya memandanginya dengan pandangan heran, beberapa di antaranya tersenyum geli. Lalu semua kembali seperti biasa, seperti tidak ada apa-apa yang terjadi. Ada rasa nyeri di dada saya, mungkin rasanya seperti tertusuk belati.

Beberapa menit kemudian saya menyelesaikan urusan belanja dan berjalan keluar super market. Di tangga depan super market seorang lelaki tua Papua duduk di atas lantai, tersenyum lebar dengan gigi dan mulutnya yang merah karena pinang. Dia menyorongkan tangannya seakan meminta sesuatu. Kembali belati itu terasa menancap di dada, perih.

Saya melirik ke dalam super market, hampir semua yang asyik berbelanja dan sibuk melayani adalah orang-orang berkulit terang, tidak seperti bapak tua yang duduk di atas lantai tegel di tangga depan super market.

*****

Fragmen dua babak itu sangat membekas di kepala saya dan benar-benar menyimpan rasa perih di dada. Buat saya itu adalah gambaran sederhana tentang apa yang terjadi di tanah Papua, tanah kaya yang kekayaannya lebih banyak dinikmati para pendatang berkulit lebih terang dan menyisakan remah-remah untuk mereka yang sebenarnya adalah pemilik asli tanah kaya itu.

Sebelum tahun 1950an Papua adalah tanah yang terlupakan. Tak banyak yang tertarik pada pulau terbesar kedua di dunia itu, mungkin karena alamnya yang sangat ganas dan sulit ditaklukkan. Lalu datanglah beberapa korporasi asing dari benua seberang yang menemukan banyak cadangan mineral di dalam perut bumi Papua. Sesuatu yang kemudian mengubah segalanya.

Papua tidak lagi dipandang sebelah mata, Papua jadi pokok pertikaian dua negara, Belanda dan Indonesia. Alasannya apalagi kalau bukan sumber cadangan mineral yang berlimpah di dalam perutnya. Lalu pertarungan politik dan ekonomi menjadikan Papua sebagai objek, benar-benar sebagai objek semata.

Kekayaan alam Papua adalah berkah sekaligus kutukan.?Seperti pepatah, dimana ada gula di situ ada semut. Di mana ada kekayaan alam, di situ ada investor. Dan warga asli jadi terpinggirkan, tidak masuk sebagai pemeran utama dalam pepatah itu. Warga bukan semut dan bukan pula gula.

Ketidakadilan ini membuat sebagian orang mengumandangkan keinginan untuk merdeka, agar bisa mengelola sendiri kekayaan mereka tanpa harus menunggu tangan-tangan dari pulau seberang, agar bisa menikmati kekayaan alam mereka sendiri tanpa harus dipaksa menguyah remah-remah. Sejak tahun 1960an pula keinginan ini terus ada dalam bentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan terus bertahan hingga sekarang.

*****

Saya bisa memahami keinginan mereka, tentu rasanya sangat menyakitkan melihat kekayaan negeri kita lebih banyak dinikmati orang luar dan hanya menyisakan remah-remah buat kita. Orang luar itu bisa berkilah kalau mereka sudah memberi banyak untuk Papua, berusaha mensejahterakan mereka dengan berbagai program, tapi entah kenapa sampai puluhan tahun setelah Papua bergabung dengan Indonesia mereka tetap saja berada di barisan belakang.

Sebenarnya sayapun belum paham seratus persen tentang apa yang sebenarnya terjadi. Orang Papua (atau tepatnya orang OPM) punya alasannya sendiri sementara orang Indonesia juga punya alasannya sendiri untuk menuding OPM sebagai pengacau keamanan. Ini mungkin sama dengan yang dirasakan orang Aceh dan GAM bertahun-tahun silam.

Dalam pidatonya saat perayaan Natal bersama di Papua, presiden Jokowi sempat berkata bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membangun Papua tanpa menyakiti. Secara tersirat saya menangkap pesan bahwa dia sendiri mengakui kalau selama ini memang ada yang salah dengan cara Indonesia membangun Papua, membangun dengan menyakiti.

Mungkin memang masih ada yang salah dengan cara orang Indonesia menghormati orang Papua, masih menjadikan mereka objek tanpa mau mendengar dan menempatkan mereka sebagai subjek. Dan mungkin itu semua membuat mereka ingin merdeka, agar bisa mengatur hidup mereka sendiri dan menempatkan diri mereka sebagai subjek.

Lagipula, mana ada pembangunan yang berbentuk penembakan kepada warga sipil seperti yang terjadi di Paniai? Kalau tidak ada yang salah maka saya yakin orang seperti Filep Karma tidak akan menerbitkan buku yang dia beri judul “Seakan Kitorang Setengah Binatang”.

Beberapa kali ke Papua saya perlahan bisa meraba alasan kenapa sebagian dari orang Papua sangat getol mengumandangkan keinginan untuk merdeka. Mungkin sama dengan apa yang dirasakan oleh orang Aceh bertahun-tahun silam, atau orang-orang di Kalimantan dan Maluku. Ketidakadilan memang kadang membuat kita menjadi agresif.

Tapi kalau kata seorang kawan, “orang Papua sebenarnya bukan mau keluar dari Indonesia, tapi mengeluarkan Indonesia dari Papua.” Mungkin memang kita harus lebih banyak mendengarkan mereka. Saya juga orang Indonesia, dan mungkin saya juga masih sering salah menilai saudara-saudara kita di Papua.?[dG]