Karena Rusuh Setitik, Rusak Aksi Sebelanga

Mungkin..
Mungkin..

Aksi anak-anak Makassar di PKM selama dua tahun jadi tidak ada apa-apanya

Suatu hari di bulan Mei tahun 2014. Ratusan anak-anak muda akhirnya tumpah ruah di satu ikon kota Makassar, Monumen Mandala. Bukan, mereka bukan mau merusuh. Bukan mau merusak monumen itu atau menutup jalan karena tak kebagian nasi bungkus atau tempat menginap. Sebaliknya, mereka bahkan mau melakukan sesuatu untuk menunjukkan kalau anak-anak muda Makassar tidak hanya bisa merusuh dan membuat kacau.

Selama dua hari mereka dengan sederhana mencoba menunjukkan pada orang-utamanya orang di luar Makassar-kalau mereka juga bisa melakukan sesuatu yang positif. Sesuatu yang berguna bagi orang lain, sedikit maupun banyak. Ini hanya awal, tapi setidaknya sudah berhasil menarik perhatian banyak orang.

Karena aksi setahun lalu itu hanya awal maka setahun kemudian aksi yang sama dalam skala yang lebih besar digelar kembali. Kalau tahun sebelumnya hanya 75 komunitas, maka tahun berikutnya hampir dua kali lipat komunitas yang ikut beraksi. Proses meeting dan perencanaan acaranya saja sudah seperti satu event tersendiri.

Dan kemudian Pesta Komunitas Makassar yang kedua akhirnya digelar. Mimpi untuk menunjukkan aksi anak-anak muda Makassar yang bersifat positif pelan-pelan jadi kenyataan. Selepas acara dua hari itu aksi-aksi antar komunitas makin ramai, begitu juga kolaborasi antar komunitas. Pokoknya semua berjalan seperti yang dibayangkan, meski mungkin tak secepat yang diharapkan. Tak apalah, asal jalan itu sudah mulai terang.

Anak-anak muda itu menyisihkan banyak waktu untuk bekerja memperbaiki citra. Sebenarnya memperbaiki citra hanya bonus karena mereka memang aslinya ingin melakukan beragam hal-hal positif. Kalau akhirnya bisa dianggap memperbaiki citra kota, maka itu hanya bonus.

*****

Lalu setahun kemudian, ketika riuh rendah kelakuan minor mahasiswa dan anak-anak muda Makassar mulai tenggelam, tiba-tiba saja satu kejadian jadi berita nasional. Marak dibincangkan tentang kelakuan serombongan mahasiswa asal Makassar yang merusuh di Pekanbaru, Riau.

Konon mereka berjumlah ribuan, berangkat dari Makassar untuk mengikuti kongres HMI yang diadakan di Pekanbaru, Riau. Mereka berangkat bermodal nekat, persis seperti supporter sepak bola yang tak peduli rintangan demi melihat aksi kesebelasan kecintaan mereka. Sebelum berangkatpun mereka sudah membuat pusing petugas pelabuhan dan PELNI. Mereka memaksa naik kapal laut tapi menolak membayar tiket. Alasannya mereka tidak punya uang.

Enak sekali ya, hanya karena tidak punya uang tapi punya semangat besar mereka memaksa untuk naik kapal. Memaksa menggunakan alat transportasi milik pemerintah yang sebagian biaya operasionalnya menggunakan dana dari pemerintah. Atau mungkin karena merasa itu punya pemerintah maka mereka juga merasa berhak untuk menikmatinya meski harus melabrak aturan?

Lalu cerita bergulir ketika mereka akhirnya mulai menempuh jalan darat dari Jakarta hingga ke Pekanbaru, Riau. Di Kabupaten Inghu, Riau mereka mampir untuk makan seperti layaknya semua orang yang melintasi jalan darat yang panjang. Bedanya kalau orang biasa membayar makanan yang mereka habiskan, maka anak-anak mahasiswa itu tidak. Mungkin mereka memang orang luar biasa yang merasa berhak untuk makan tanpa bayar, seperti mereka merasa berhak untuk naik kapal PELNI tanpa membayar. Saking luar biasanya mereka, pemilik warung sampai diancam kalau warungnya akan dihancurkan kalau tetap memaksa menagih pembayaran. Orang-orang yang luar biasa memang!

Keluarbiasaan mereka tidak berakhir sampai di situ. Setibanya di Pekanbaru, karena tak difasilitasi sebagaimana mestinya oleh panitia lokal, merekapun mengamuk. Merusak fasilitas umum dan bahkan kata kawan yang warga Pekanbaru mereka sampai menutup jalan. Anak-anak muda yang luar biasa!

Kita rasanya harus memberi kredit khusus kepada mereka. Di saat anak-anak muda Makassar lainnya berpeluh berkolaborasi memperbaiki citra kota yang kadang digambarkan rusuh ini, mereka dengan gagah berani melakukan sesuatu yang membuat kota ini kembali ke citra yang dulu memang sudah lekat; rusuh dan anak mudanya berangasan.

Di media sosial kecaman-kecaman muncul, membawa-bawa nama kota. Di grup chat yang saya ikuti nama kota Makassar juga dibawa-bawa, tentu dengan nada yang negatif. Semua itu bisa terjadi hanya karena segerombolan anak-anak mahasiswa yang mengaku dari sebuah organisasi mahasiswa Islam dari kota Makassar melakukan hal-hal yang luar biasa. Hanya dalam sekejap, mereka berhasil mengembalikan citra kota seperti yang dimaui media.

Tak perlu rasanya kita dengar apa yang sebenarnya terjadi karena bola panas sudah menggelinding kesana-kemari. Memantapkan cerita dan desas-desus kalau anak muda Makassar memang perusuh. Jangankan di kampung sendiri, di kampung orangpun mereka bisa tetap merusuh.

Turut berduka untuk teman-teman yang memeras keringat dan membuang waktu di Pesta Komunitas Makassar selama dua tahun. Aksi mereka yang tak berpamrih itu lenyap dalam sekejap, tak berbekas. Mungkin karena mereka memang hanya anak muda biasa, bukan anak muda yang luar biasa seperti teman-teman mereka yang nekat ke Pekanbaru. Teman-teman yang membawa nama kota Makassar, dan nama organisasi Islam.

Tepuk tangan buat mereka yang sukses mengembalikan citra kota Makassar sesuai kemauan media. Big applause! [dG]