Salah satu gambaran tentang orang Papua yang paling sering saya dengar adalah tentang kebiasaan mereka meminum minuman keras sampai mabuk. Benarkah itu adalah budaya mereka?
“Tuh liat, dia masih mabuk tuh.” Pak Haji Mahmud yang mengantar kami selama di Sorong menunjuk ke sebuah emperan toko. Di atas lantai seorang pria tidur telentang dengan satu kaki terlipat ke atas. Saya tidak bisa melihat bagian atas tubuhnya karena terhalang tiang. Saya melirik jam tangan, sudah jam satu siang, matahari menyengat.
Saya sudah sering mendengar cerita bagaimana orang Papua begitu ketergantungan pada alkohol, tapi baru kali ini saya melihat langsung orang mabuk yang masih tergeletak di jalan meski matahari sudah tinggi.
Perjalanan ke Papua kali ini temanya memang berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Kalau sebelumnya lebih banyak berurusan dengan kampung maka kali ini lebih banyak berurusan dengan daerah urban, utamanya dengan anak-anak muda. Salah satu fakta yang mencuat adalah tentang penyalahgunaan alkohol orang Papua, kebiasaan yang bahkan dimulai sejak usia muda.
Dari data PBS 2011, 22.5% pria Papua Barat berusia 20-24 tahun mengonsumsi minuman beralkohol dalam 1 bulan terakhir dan 1.1% untuk wanita di usia yang sama . Sementara itu 7.6% pria dan 1.3% wanita usia 15-19 tahun pernah mengonsumsi setidaknya sekali dalam 1 bulan terakhir. Secara umum tingkat penyalahgunaan alkohol di Papua lebih besar dari penyalahgunaan alkohol yang terjadi daerah perkotaan lain seperti Jakarta dengan jumlah 25.9% berbanding 8.8%
Bukan hal yang sulit menemukan beragam himbauan atau ajakan dalam bentuk baliho maupun stiker dan poster yang isinya mengingatkan warga Papua untuk menjauhi minuman keras. Salah satu bukti betapa kebiasaan ini cukup mengkhawatirkan bagi banyak kalangan.
Kebiasaan ini menjadi sumber beragam masalah yang muncul belakangan mulai dari seks bebas beresiko tinggi, kekerasan fisik dan seksual hingga tindak kriminal seperti pencopetan, penjambretan hingga perampokan. Meski menenggak minuman keras sudah jadi kebiasaan bagi sebagian orang Papua, tapi mereka jelas menolak kalau itu dianggap sebagai budaya.
“Budaya kami bukan budaya miras.” Kata Eligius Furimbe, seorang warga Papua di laman Kompasiana. Kalimat yang sama juga saya dengar dari seorang warga Papua di Manokwari.
Sampai sekarang saya masih mencari asal-usul kebiasaan menenggak minuman keras di Papua. Satu-satunya kalimat yang saya dengar tentang itu adalah kalimat yang diujarkan oleh Haji Mahmud. “Dulu orang Belanda mempekerjakan orang Papua dan membayarnya dengan minuman keras.” Katanya.
Sepanjang pengetahuan saya, kebiasaan menenggak minuman beralkohol sejatinya adalah kebiasaan banyak suku di Nusantara. Dalam buku Syair Perang Mengkasarpun diceritakan bagaimana seorang Sultan Hasanuddin yang adalah raja Gowa masih punya kebiasaan menenggak minuman keras lokal yang bernama ballo.
Penetrasi ajaran Islam yang ketat melarang kebiasaan minum minuman beralkohol mungkin jadi salah satu sebab berkurangnya kebiasaan itu di Sulawesi Selatan. Hal yang berbeda memang terjadi di daerah yang mayoritas penduduknya non muslim karena ajaran agama mereka tidak seketat Islam dalam soal pelarangan minuman keras.
Sebuah artikel di MajalahSelangkah.com yang ditulis oleh Longginus Pekey malah terang-terangan menuding kalau peredaran minuman keras di Papua adalah hasil kongkalikong para pengusaha, pejabat dan aparat. Lebih jauh lagi Longginus menuding ada upaya untuk tetap membuai rakyat asli Papua lewat minuman keras agar tetap mudah dikuasai dan dibodohi.
Perda Miras Yang Mulai Melempem.
Manokwari sebagai ibu kota Papua Barat sebenarnya punya peraturan daerah (perda) minuman keras yang disahkan tahun 2006. Perda ini lahir atas dorongan pemuka agama dan tokoh masyarakat yang kuatir melihat maraknya peredaran minuman keras di Manokwari yang berdampak buruk bagi sumber daya manusia mereka, utamanya kepada kaum muda kabupaten Manokwari.
“Awalnya perda itu efektif. Bayangkan, orang yang mulutnya bau alkohol saja bisa ditangkap.” Kata Joshua Wanda atau yang akrab disapa kak Roy, aktivis pemuda dari Manokwari. “Tapi lama kelamaan mulai longgar lagi. Larangan peredaran miras bahkan dimanfaatkan para pedagang untuk menjual miras dengan harga tinggi.” Lanjut kak Roy, pria campuran Serui dan Jawa itu.
Hampir 10 tahun sejak perda tersebut disahkan, Manokwari tetap belum bisa bersih 100% dari peredaran minuman keras meski memang terasa jauh berbeda dengan Sorong, kota besar lainnya di Papua Barat. Setidaknya selama di Manokwari saya belum pernah melihat langsung pria-pria berkumpul menenggak minuman keras di tepi jalan, tidak seperti di Sorong.
Di Sorong saya beberapa kali mendapati pria-pria yang berkumpul di tepi jalan dengan botol minuman keras di tengah mereka. Bahkan di Tembok Berlin yang jadi tempat berkumpulnya anak-anak muda Sorong, botol bekas minuman keras beragam merek berserakan di tepi pantai.
“Orang Manokwari banyak yang ke Sorong karena mereka tidak boleh mabuk di kotanya.” Kata Rahmat Takbir, sepupu yang sudah lama tinggal di Sorong. Mungkin dia hanya bercanda, tapi mungkin juga serius.
Fenomena yang serupa konon juga bisa ditemukan di Medan yang kadang didatangi orang-orang Aceh yang tidak bisa menuntaskan hasrat mereka menikmati kehidupan malam di kota asal mereka yang ketat menjalankan syariat Islam.
Akar masalah penyalahgunaan alkohol pada orang Papua memang rumit untuk diurai karena menyangkut banyak aspek, mulai dari kebiasaan, sejarah sampai masalah sosial dan politik yang menjadi alasan bagi sebagian mereka untuk tidak bisa beranjak dari minuman keras. Longgarnya pengawasan dari generasi yang lebih mapan juga bisa jadi faktor yang membuat kebiasaan ini tetap subur. Lah, bagaimana mau melarang kalau pace saja suka mabuk? Mungkin ilustrasinya seperti itu.
“Orang sini ada bilang; kalau banyak duit tidur di parit. Kerja keras untuk miras.” Kata Keong, sapaan akrab seorang pemuda lain dari Manokwari.
Miris mendengar kalimat seperti itu. Sebagai orang yang tidak banyak tahu tentang akar masalah di Papua saya hanya bisa berharap cepat atau lambat tingkat penyalahgunaan alkohol di Papua bisa ditekan secara drastis. Karena saya yakin mereka bisa jauh lebih baik dari sekarang. [dG]