Mau Ditulis Berapa di Nota?

Hanya sebuah pikiran iseng di hari Minggu tentang bagaimana praktik-praktik bocor halus anggaran negara kita.

Petugas itu mengambil kertas nota, mempersiapkan pulpen lalu menoleh ke arah saya dan bertanya, “Mau ditulis berapa di nota pak?”

Saya memandangnya tajam lalu menjawab, “Yaa ditulis sesuai nilainya aja mas.”

Dia mengangguk, lalu melanjutkan proses pembuatan notanya.

*****

Beberapa bulan sebelumnya saya menginap di hotel yang sama, sebuah hotel paling lumayan di sebuah kabupaten di Papua. Kunjungan sebelumnya saya datang bersama rombongan bapak-ibu dari sebuah dinas provinsi Papua. Seorang perempuan mengurusi administrasi termasuk pembayaran hotel. Karena saya tidak termasuk bagian dari dinas itu jadi administrasi saya diurus saya sendiri. Ketika akan check out, si ibu bertanya, “Nanti di nota mau ditulis berapa pak?”

Tentu saja saya menjawab ditulis sesuai nilainya.

Saya tahu apa yang dimaksud si ibu. Saya cukup lama bekerjasama dengan orang-orang plat merah dan sudah tahu kebiasaan mereka saat perjalanan dinas. Salah satunya ya itu, menulis angka berbeda di nota dengan angka yang sebenarnya. Tentu tidak lebih kecil dong.

Di kesempatan lain pernah juga saya sedang membayar di front office hotel. Kebetulan di sebelah saya ada bapak-bapak bagian keuangan sebuah instansi. Kebetulan kami baru saja menyelesaikan sebuah kegiatan bersama di hotel itu. Administrasi saya, ya saya selesaikan sendiri sementara si bapak tentu saja mengurus adminstrasi bagiannya. mereka berombongan, seingatku lebih dari 20 orang.

Iseng saya menengok ke sebelah, melihat angka di nota yang diterima si bapak. Oke saya memang tidak sopan, tapi sebenarnya itu tidak sengaja. Saya melihat angka Rp.750.000,- per kamar per malam di nota yang diterima si bapak. Padahal saya tahu angka sebenarnya yang hanya Rp.650.000,- per kamar per malam. Saya tahu karena saya juga menggunakan rate mereka, orang dinas itu. Dalam hati saya menghitung berapa kemungkinan keuntungan yang didapat si bapak itu hanya dari selisih nilai kamar hotel. Itu baru nilai kamar, belum nilai paket meeting yang pasti juga dinaikkan nilainya. Yah, saya memang sudah berpikiran buruk.

Dua fragmen di atas tentu melibatkan orang hotel. Mereka ikut-ikutan jadi bagian dari proses menaikkan angka di nota. Mereka kadang ada di wilayah abu-abu, mau menolak dan memaksakan menulis angka sebenarnya di nota tapi itu artinya hotel mereka akan jadi pilihan terakhir dalam memilih tempat untuk berkegiatan dari dinas tersebut. Jadi, daripada periuk mereka terganggu ya mereka ikut saja dengan skenario yang sudah dibuat oleh orang dinas itu.

*****

Di sebuah hotel di Jakarta, kami sedang melakukan kegiatan. Ada beberapa ruang meeting di hotel itu dan di salah satu ruang meeting ada tulisan dari kertas: RAPAT KERJA RENCANA ULANG TAHUN KABUPATEN XXXX. Nama kabupatennya asing, sebagian besar dari kita mungkin perlu membuka Google untuk tahu di mana kabupaten itu berada. Kabupaten itu ada di provinsi Kalimantan Selatan, sebuah kabupaten kecil yang sepertinya masih baru.

Saya berpikir, apa yang membuat mereka jauh-jauh ke Jakarta untuk rapat ya? Apa di tempat mereka tidak ada ruangan yang layak digunakan untuk meeting? Atau mungkin di ibukota provinsi mereka tidak ada ruangan yang layak untuk digunakan meeting sampai-sampai mereka harus terbang jauh-jauh ke Jakarta. Atau, mungkin mereka harus bertemu dengan event organizer yang akan mengurusi ulang tahun kabupaten mereka dan mereka tidak tahu kalau sudah ada teknologi bernama Zoom? Entahlah, yang penting biaya untuk meeting di Jakarta tentu sangat besar karena tidak mungkin hanya 1 orang yang datang ke Jakarta.

*****

“Bapak berapa hari di Lombok?” Tanya sang supir taksi bandara yang saya pakai dalam perjalanan dari bandara ke hotel di Lombok.

“Empat hari pak,” jawab saya.

“Wah, sempat jalan-jalan dong pak,”

“Gak bisa pak. Kami full kerja selama empat hari itu. Habis itu saya langsung balik,”

“Wah koq beda ya pak? Bulan lalu saya mengantar rombongan pejabat dari xxxx (sebuah provinsi di Sumatera). Mereka di sini empat hari, tapi kerjanya cuma setengah hari. Saya antar pagi ke DPRD sampai siang. Habis itu ya jalan-jalan aja sampai balik,” kata si supir sambil senyum-senyum.

Saya tertawa, lalu membalas,”Beda pak. Kami itu harus efektif, kerjaan harus selesai sesuai rencana. Gak bisa kami santai-santai begitu pakai uang kantor,”

Kami tertawa bersamaan.

*****

Fragmen-fragmen di atas adalah bukti yang saya lihat sendiri tentang bagaimana besarnya potensi kebocoran anggaran di negeri kita. Bayaran hotel yang seharusnya hanya Rp.650.000,- per orang per kamar bisa dinaikkan jadi Rp.750.000.- per orang per kamar. Kalikan dengan jumlah hari pelaksanaan kegiatan dan jumlah kamar yang dipakai maka didapat hasil yang lumayan kan? Itu baru kamar, belum meeting room.

Terus, apa urgensi dari rapat kerja jauh di kota seberang? Kenapa tidak di kampung sendiri atau yah minimal ibukota provinsi yang tentu lebih murah dibanding harus terbang jauh ke Jakarta? Atau kalau memang butuh bertemu dengan orang EO yang tinggal di Jakarta, kenapa tidak pakai Zoom saja? Atau mereka saja yang diundang datang ke ibukota kabupaten atau ibukota provinsi. Pasti lebih murah.

Lalu soal pemanfaatan waktu kunjungan dinas. Kalau memang kebutuhannya hanya setengah atau satu hari, kenapa harus ditulis empat hari? Hari kedua dan seterusnya apakah menggunakan biaya sendiri atau biaya dari negara? Saya sih tidak yakin ya kalau semua dilakukan dengan biaya sendiri. Bayangkan berapa dana yang sebenarnya bisa dihemat dari kunjungan dinas itu.

Satu kunjungan dinas bisa menghemat mungkin jutaan rupiah. Kalikan dengan jumlah kunjungan dinas dalam setahun. Begitu juga dengan pertemuan-pertemuan yang bisa dihemat sehingga tidak perlu pergi jauh dan berhari-hari. Berapa dana yang bisa dihemat? Lalu ketika harus menginap di hotel, kalau dana keluar sesuai dengan harga yang dibayarkan, berapa dana yang bisa dihemat?

Itu baru hal-hal sederhana ya. Kita belum bicara yang lebih besar seperti kolusi antara pejabat dan pekerja proyek. Atau korupsi para pejabat yang sampai miliaran rupiah. Terbayang kan berapa uang yang sebenarnya bisa dihemat dan dialihkan untuk kegiatan lain yang lebih besar efeknya bagi masyarakat? Mungkin malah bisa menekan pajak yang dibayarkan rakyat.

Tapi rasanya pikiran saya terlalu ideal, terlalu muluk untuk sebuah negeri yang kerusakannya sudah sistematis. Sebuah negeri yang orang-orangnya rela turun ke jalan ketika merasa agamanya diusik, tapi merasa biasa saja melihat korupsi kecil di depan mata. Bahkan merasa senang-senang saja ketika suara mereka dibeli secara tidak sah di momen pemilihan umum.

Jadi? Mau ditulis berapa di nota? [dG]