Seumur hidup saya selalu menjadi mayoritas. Kalau bukan mayoritas dalam soal ras setidaknya mayoritas dalam soal agama. Tapi akhirnya saya menikmati juga pengalaman menjadi minoritas, dalam ras dan agama.
“EH, SORI PUL. GUA LUPA KALAU ELU PUASA,” kata Mbak Desi, supervisor kami. Saat itu siang terik di Agats, ibukota Asmat. Mbak Desi baru saja meneguk sebotol Aqua dingin yang botolnya masih berembun.
Saya tersenyum dan membalas, “Lah, nda apa-apa mbak. Santai saja,”
Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya akhirnya melewati hari-hari Ramadan sebagai seorang minoritas. Minoritas dalam agama dan minoritas dalam suku. Saat itu saya sedang di Agats, ibukota Kabupaten Asmat yang memang dihuni mayoritas nasrani. Penduduk Asmat sebagian besar memeluk ajaran Katolik dan Protestan. Sisanya adalah muslim pendatang dari Jawa dan Sulawesi.
Sejak pertama puasa tahun ini saya memang sudah ada di Papua, tepatnya di Kotaraja salah satu bagian dari Jayapura. Puasa di Jayapura tidak ada masalah. Meski tergolong minoritas tapi setidaknya saya masih berada di lingkungan sesama muslim. Saat sahur beberapa kamar kos juga terdengar sibuk, penghuninya sama-sama menikmati sahur. Saat buka puasa pun, suasana cukup ramai. Apalagi kamar kos berada tidak jauh dari masjid.
Jadi meski berada di antara kaum mayoritas non Muslim, suasana Ramadan masih cukup terasa.
Suasana berbeda baru terasa ketika saya mendarat di Agats, kota tempat orang hidup di atas papan.
Di kota ini selama tiga malam saya menjalankan ritual puasa sendirian. Benar-benar sendirian. Saya bangun dini hari dan menyantap makanan sahur tanpa ditemani siapapun. Begitu juga ketika waktu berbuka puasa tiba. Saya sendirian di pendopo penginapan menikmati teh panas dan beberapa kue-kue yang saya beli sebelum berbuka. Sebenarnya saya bisa saja berbuka puasa di masjid yang berada dekat lapangan Yos Sudarso, tapi karena jaraknya lumayan jauh dari penginapan jadi saya memilih untuk berbuka di penginapan saja.
Sementara untuk menu sahur sendiri, saya membelinya di malam hari ketika makan malam. Bungkus, bawa pulang. Makanan itu yang saya santap ketika sahur. Saya ingat betul, dua hari saya menikmati sahur dingin di tengah guyuran hujan. Jadi bayangkan sendiri bagaimana syahdunya. Makan sendirian, hujan deras di sekelilingmu.
Maknyus! Untungnya saya bukan orang yang sentimentil. Jadi suasana itu yah terasa biasa saja, tidak sampai menyayat hati dan membuat saya bersedih.
*****
SIANG ITU KAMI SEDANG BERADA DI AULA KANTOR BKD Kabupaten Asmat. Acara FGD sudah memasuki masa istirahat. Beberapa kotak makanan dibagikan kepada para peserta yang hadir. Beberapa jam sebelumnya kotak makanan kecil berisi kue-kue dan air mineral juga sudah dibagikan oleh panitia.
“Maaf, saya puasa,” kata saya ketika seorang gadis muda menyodorkan kotak kue itu. Dia meminta maaf dengan senyum manisnya.
Semua orang yang hadir di ruangan itu lalu menikmati kue dalam kotak, sambil mereguk air mineral yang disediakan. Saya tidak terpengaruh, sama sekali tidak ada rasa lapar yang menggerogoti atau rasa haus yang menggaruk tenggorokan. Biasa saja.
Ketika jam makan siang tiba, situasi yang sama kembali terulang. Semua peserta asik menikmati makan siang dari kotak makan yang dibagikan. Beberapa dari mereka meminta maaf pada saya, permintaan maaf yang saya jawab, “Ah tra papa. Santai saja,”
Supaya suasana tidak canggung, saya memilih keluar dari ruangan sekaligus mencari angin. Saya pikir berada terus di ruangan itu akan membuat sebagian dari mereka mungkin tidak nyaman menyantap makan siangnya, jadi lebih saya yang menyingkir. Meski melihat semua peserta menyantap makan siang di siang hari yang panas, tapi tidak sedikit pun ada rasa kepingin di dalam hati saya. Santai saja. Meski mulai lapar, tapi godaan untuk makan tidak terasa sama sekali.
Saya menikmati rasanya menjadi minoritas, berpuasa di tengah-tengah mereka yang tidak berpuasa. Rasanya godaan memang jadi bertambah, tapi ketika berhasil melewatinya rasa puas juga semakin bertambah. Jauh melebihi rasa puas ketika berpuasa bersama teman-teman yang juga berpuasa.
Di hari kedua pertemuan, godaan itu semakin berat. Pertemuan diadakan di café, mulai dari pagi hari sampai siang. Karena pertemuan dilakukan di café jadi wajar dong kalau semua yang datang memesan makanan dan minuman. Apakah saya tergoda? Tidak. Sama sekali tidak. Saya biasa saja ketika semua peserta mulai menyeruput minuman pesanan mereka. Beberapa dari mereka sepertinya agak enggan juga ketika diminta memesan minuman. Mungkin segan karena ada saya yang sedang berpuasa. Tapi saya meyakinkan mereka untuk santai saja, biasa saja. Tidak usah segan.
Ketika makan siang tiba saya memang memilih keluar café dan membiarkan mereka semua menikmati makan siang di dalam. Bukan karena takut tergoda, tapi lebih karena ingin membiarkan mereka santai menikmati makan siang, tanpa harus merasa segan pada saya yang berpuasa.
*****
EMPAT HARI DI ASMAT membuat saya merasakan suasana baru. Suasana sebagai minoritas yang berpuasa nyaris sendirian, di antara mereka yang tidak wajib berpuasa. Ini pertama kalinya saya ke Asmat, dengan menumpang kapal sebelum nantinya saya berlayar ke Asmat.
Saya merasakan kehangatan yang berbeda. Bukan kehangatan dari mereka yang sama-sama berpuasa, tapi kehangatan dari mereka yang menghargai saya yang sedang berpuasa. Suasana yang membuat saya merasa pentingnya saling menghargai. Sebagai minoritas saya merasa dihargai dengan cara mereka sendiri.
Mereka memang tidak lantas memaksakan diri untuk ikut berpuasa atau makan-minum sembunyi-sembunyi, karena itu memang tidak harus. Mereka menghargai saya dengan cara mereka sendiri, berlaku seperti biasa sambil tetap meminta maaf kepada saya yang berpuasa. Permintaan maaf yang justru bikin saya tidak enak.
Hidup sebagai minoritas memang mengajarkan banyak hal, utamanya mengajarkan saya untuk menekan ego. Ego sebagai mayoritas yang sudah saya rasakan berpuluh-puluh tahun. Menjadi minoritas mengajarkan saya bahwa hal terpenting adalah saling menghargai tanpa perlu merasa superior.
Berpuasa sebagai minoritas juga membuat saya merasakan makna puasa yang sesungguhnya. Puasa dengan godaan yang lebih berat. Ada rasa puas tersendiri ketika berhasil melewatinya.
Sebuah pengalaman yang membekas buat saya. [dG]
Waaawh.. kalau saya itu sahur sendiri ditemani sepi, kemudian hujan pula lalu tiba2 ibuku menelpon. Beeeeeh sudah~~
hahaha untung maceku nda menelpon
karena kalau menelpon saya pasti shock karena beliau sudah meninggal
Aku dulu sekolah dari TK sampai SMP di yayasan katolik tapi tetap berpuasa seperti anak-anak lainnya. Tapi ujian terberat bukan puasanya tapi libur sekolahnya. Di saat kebanyakan sekolah negeri libur saat Ramadhan kami hanya libur seminggu di saat Idul Fitri.
Awalnya berat tapi makin ke sini nggak berasa, kan idealnya puasa tidak mengganggu aktivitas. O iya dan ternyata di agama Katolik ada juga puasa satu bulan sebelum paskah (kalau tidak salah). Dan di sinilah saya sebagai muslim belajar banyak toleransi. Terkadang kita perlu mencoba rasanya menjadi minoritas agar lebih bijaksana.
nah benar, menjadi minoritas mengajarkan kita bagaimana menghargai orang lain yang berbeda
minimal menjadi lebih bijaksana
Saya kira kita keluar dari ruangan untuk merokok deh ternyata cari angin ji. Cuma pasti berat berbukanya di sana dih, nda ada jalangkote kapang.
malah saya buka pakai jalangkote sama pisang ijo di Asmat
penjualnya orang Bugis semua hahaha
wah, pengalaman yang menarik daeng 🙂
jadi inget, jaman SMK dulu saya minoritas sekali. dari 9 kelas cuma 2 orang yg Nasrani (saya dan temen laki-laki). tapi seneng banget pas Natal, temen2 yang Muslim mengucapkan selamat Natal juga.
merasa sangat dihargai 🙂
perasaan dihargai memang terasa sangat menentramkan ya Li..