Serius, Bandara Sultan Hasanuddin Harus Berbenah

bandara-hasanuddin
Bandara Sultan Hasanuddin Makassar di Maros

Di Indonesia, terminal kedatangan Bandara Sultan Hasanuddin mungkin yang paling semrawut. Benar-benar jadi pekerjaan rumah berat buat pengelola bandara.

“Taksi ki’ pak?” Tanya seorang pria gempal berbaju polo kuning gading. Suaranya pelan, nyaris seperti berbisik. Di tangannya ada sebuah kertas yang dia tunjukkan setengah disembunyikan.

Saya baru saja melewati pintu keluar di terminal kedatangan bandara Sultan Hasanuddin, Makassar di Maros. Puluhan orang berdiri di depan pintu keluar, tepat di belakang pagar alumunium yang jadi pembatas antara penjemput dan mereka yang baru datang. Sebagian besar memang adalah penjemput, beberapa di antaranya adalah supir taksi atau supir mobil rental seperti yang baru saja menghadang saya.

Ingin menitipkan tas di bandara Sultan Hasanuddin? Baca di sini untuk tahu caranya

Mereka seharusnya tidak boleh naik sampai ke depan pintu terminal kedatangan. Mereka hanya boleh menunggu di bawah, di pintu keluar tepat di belakang pagar alumunium. Pagar itu seperti sebuah garis yang diberi mantra, mantra yang menghalangi seseorang atau mahluk tertentu untuk melewatinya. Para supir itu hanya bisa berada di belakang pagar, berteriak menawarkan jasa.

Saya tiba-tiba ingat sebuah film yang saya lupa judulnya. Para goblin hanya bisa berada di luar garis yang sudah diberi mantra, berteriak-teriak mengancam tanpa bisa melewati garis itu.

Tapi beberapa supir sepertinya punya kemampuan lebih. Mereka berhasil melewati garis suci itu dan naik sampai ke depan pintu kedatangan. Mereka dengan suara pelan dan gerakan canggung mendekati penumpang yang baru saja keluar dari pintu kedatangan, menawarkan jasa taksi atau mobil rental. Pelan dan canggung karena takut ketahuan petugas.

Melawan Supir Curang

Saya memilih satu layanan mobil rental, namanya tidak terlalu akrab. Pertimbangan saya, kalau kurang terkenal mungkin saya tidak harus menunggu lama sebelum mendapatkan unit. Pengalaman menggunakan jasa rental yang sudah terkenal, saya kadang harus menunggu agak lama sebelum mendapatkan unit mobil yang kosong.

Seorang pria ceking dengan potongan rambut yang mengingatkan saya pada penyanyi rock 80an karena buntut tipis di belakangnya menyambut saya. Dia meminta saya menunggu sebentar sampai mobil yang akan mengantar saya datang.

Tak terlalu lama, sebuah pria muda mendekat. Dia mendorong trolly yang saya bawa dan meminta saya mengikutinya. Dialah supir yang akan membawa saya. Sebuah Honda Jazz terparkir agak jauh dari tempat saya berdiri. Suasana memang sangat ramai dan semrawut. Beberapa mobil bahkan harus berhenti di tengah jalan untuk menaikkan penumpang.

Setelah menaikkan dua tas yang saya bawa, saya duduk di depan.

Belum lagi kami siap berjalan, pintu bagasi belakang kembali dibuka. Saya melirik, si pria dengan potongan rambut 80an itu menaikkan satu barang lagi. Pintu penumpang bagian belakang dibuka, seorang perempuan masuk.

“Heh? Dua penumpang dalam satu mobil? Memangnya ini angkot?” Tanya saya dalam hati. Tapi saya biarkan saja. Saya punya rencana sendiri.

Mobil lalu berjalan meninggalkan bandara, terseok-seok melewati antrian panjang di mulut area bandara, terus menuju ke selatan.

“Memang boleh ya satu mobil ambil dua penumpang?” Tanya saya pada si supir. Kami sudah setengah jalan.

“Iya pak, boleh,” jawab si supir dengan nada mantap.

“Oh, kalalu begitu saya bayar setengah ya? Kan penumpangnya dua. Kalau saya sendiri ya saya bayar penuh,” kata saya.

Si supir terlihat kaget, dia menatap saya sebentar lalu dengan gugup kembali menyetir. “Harusnya tadi bapak komplain sama yang di bandara, pak.” Kata-kata itu keluar dengan lemah dari mulutnya.

“Oh, jadi kalau saya ndak komplain terus ini dibiarkan saja?” Saya mulai mengintimidasinya. Dia diam saja. “Pokoknya saya tidak akan bayar penuh! Enak saja, satu mobil ambil dua penumpang tapi minta bayar penuh,” lanjut saya dengan nada yang mulai keras.

Si supir seperti mulai kebingungan. Dia mengeluh dengan kata-kata yang tidak bisa saya tangkap maksudnya. Tangan kanannya lalu mengeluarkan handphone dan mulai menekan nomor-nomor.

“Kasih saya nomornya itu yang di bandara, biar saya yang bicara,” kata saya masih dengan nada tegas.

Si supir lalu menyebutkan beberapa angka yang segera coba saya hubungi. Teleponnya sibuk, tidak bisa tersambung. Beberapa detik kemudian si supir yang gantian menghubunginya.

Jalanan agak padat dan basah selepas hujan. Di luar udara mungkin agak dingin dan lembab di siang yang mulai beranjak sore itu, tapi di dalam mobil aura panas malah mulai terasa.

“Iya, ini bapak ndak mauki bayar penuh ka kita’ ambil orang lain bedeng,” kata si supir kepada lawan bicaranya di telepon. Saya taksir itulah pria dengan model rambut 80an yang mengatur jadwal pemberangkatan mobil di bandara tadi.

“Sini, biar saya yang bicara,”

Si supir menyerahkan telepon genggamnya ke saya.

“Halo? Begini, saya mau tanya; kenapa bisa dalam satu mobil ada dua penumpang? Padahal kan saya bayar penuh untuk satu mobil,” saya mulai mencecar si pria di ujung telepon.

Anuh pak, kasian itu ibu karena ndak ada mobil,” si pria di ujung telepon membalas dengan nada yang agak gugup.

“Memangnya itu urusan saya?” Nada saya mulai meninggi. “Begini, pokoknya saya ndak mau bayar penuh. Enak saja, KAU minta saya bayar penuh baru KAU ambil penumpang lain juga. Apalagi ini ibu mau diantar duluan,” saya sengaja memberi penekanan lebih di kata “KAU”, tentu dengan nada yang mengintimidasi.

Dia baru saja hendak membalas, saya sudah memotongnya, “HEH! Ini bukan pertama kalinya saya naik mobil sewa dari bandara ya? Dan saya tidak pernah dapat yang beginian!” suara saya pertahankan tetap tinggi dengan nada yang mengintimidasi.

Akhirnya dengan nada pelan dia menjawab, “Iya pak, boleh pak. Bisa saya bicara dengan supirnya?”

Handphone saya kembalikan ke supir yang membawa mobil. Entah mereka bicara apa, saya diam saja, menatap lurus ke depan dan berusaha mempertahankan sikap wibawa.

“Tadi dia (pria berambut model 80an) bilang kalau bapak ini omnya si supir, makanya saya mau saja,” kata perempuan yang duduk di kursi belakang. Saya tidak melihat perawakannya, tapi dari suaranya saya menebak dia berusia 30an.

“Berarti kita berdua kena tipu kan bu?” Tanya saya.

Dari penuturan si ibu, jelas sekali kalau pihak rental mobil ini memang berniat tidak baik. Memanipulasi penumpang, memaksakan dua penumpang naik dalam satu mobil yang sama. Dua-duanya membayar penuh, untung buat dia, rugi buat penumpang.

Mereka yang mendulang rupiah dari yang resah, kisah para supir rental bandara

Suasana canggung memenuhi mobil di siang yang basah itu. Ibu di kursi penumpang diantar duluan di sebuah perumahan di kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan. Setelahnya baru saya yang diantar ke rumah di daerah Antang. Seperti yang sudah saya bilang, saya hanya membayar setengah. Si supir menerima uang yang saya sodorkan dengan pasrah, tidak ada perlawanan sama sekali.

Saya merasa menang, tapi tetap saja saya merasa ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bagaimana kalau penumpang yang bernasib sama ternyata orangnya tidak tegas? Mereka bisa saja tertipu, membayar untuk harga carter tapi menikmati fasilitas seperti mobil umum.

Bagian pengambilan barang di bandara Sultan Hasanuddin

Karut Marut Terminal Kedatangan.

“Gila, supir di sini agresif banget ya?” komentar itu keluar dari mulut Didut, seorang rekan blogger yang pernah datang ke Makassar. Saya hanya meringis mendengarnya. Tentu komentar itu lebih halus dari apa yang dia rasakan.

Harus saya akui, supir rental di bandara Sultan Hasanuddin Makassar memang sangat agresif (sebagai penghalusan kata “menjengkelkan”), begitu keluar dari pintu kedatangan mereka akan mulai merayu. Di bagian atas memang mereka merayunya pelan dan tersembunyi karena mereka takut ketahuan petugas. Tapi, begitu turun ke bagian keluar di basement, rayuan itu akan berubah jadi semacam intimidasi.

“OJEK PAK!”

“TAKSI! TAKSI!”

“AVANZA! AVANZA!”

Teriakan itu membahana, menyerbu gendang telinga dengan nada yang tidak nyaman. Bukan hanya berteriak, begitu kita melewati pagar yang jadi batas suci yang tidak boleh mereka lewati, lebih dari dua orang akan merubung, menawarkan jasa dengan setengah memaksa.

Mau menolak dengan kata “tidak”? Oh, bagi mereka kata itu tidak ada artinya. Mereka akan terus memaksa, berkali-kali sampai kita benar-benar mengalah atau memperlihatkan raut muka jengkel. Bukan sekali dua kali saya rasanya ingin menonjok mereka saking jengkelnya.

Bayangkan, setelah perjalanan panjang beberapa jam di atas pesawat, pemandangan ini yang akan kita temui. Apa itu tidak menjengkelkan? Suasana semrawut di terminal kedatangan -utamanya di area penjemputan- bukan suasana yang ingin ditemui siapapun ketika turun dari pesawat.

Saya sudah cukup banyak mendarat di bandara-bandara di Indonesia dan harus saya akui, pintu kedatangan dan penjemputan bandara Sultan Hasanuddin yang paling kacau. Kumuh, kotor, ribut, semrawut dan tingkah supir rentalnya agresif.

Ini jadi pekerjaan rumah tangga besar buat pengelola bandara. Harus ada langkah konkrit untuk membereskan masalah ini, minimal menatanya dengan baik agar kesan kacau dan semrawut bisa dihilangkan. Mungkin dengan memisahkan penjemputan mobil pribadi dan mobil sewa? Entahlah.

Buat para supir, iya saya mengerti kita semua sedang mencari nafkah. Tapi, mungkin kita bisa mencari cara lain yang lebih sopan dan lembut yang tidak membuat calon penumpang tidak nyaman. Tidak usahlah terlalu memaksa dan seperti tidak mengerti pada kata “tidak”, atau tak usahlah merubungi satu orang penumpang, beri mereka ruang untuk bernafas agar tidak merasa terintimidasi.

Oh ya, almarhum Bapak saya juga dulu pernah jadi supir mobil rental di bandara.

Bagaimanapun, bandara adalah gerbang sebuah kota atau bahkan sebuah provinsi dan negara. Apa yang ditemui pendatang di gerbang itu bisa jadi akan menancap terus selama mereka ada di kota, provinsi atau negara itu. Sayang sekali kalau pengalaman yang menancap justru pengalaman buruk.

Serius, bandara Sultan Hasanuddin harus berbenah! [dG]