Warna-Warni Green Prosperity Knowledge Fair 2016
Orang-orang dari latar yang berbeda-beda datang ke satu tempat dengan maksud yang sama. Mereka tidak mempertanyakan perbedaan, tapi menyatukan tujuan.
“Kita belum punya national branding. Pemerintah masih sibuk melakukan pencitraan ke dalam negeri dan lupa melakukan pencitraan di luar. Padahal kita sebenarnya bisa menjadikan diversity (keragaman) sebagai national branding. Kita berbeda-beda, tapi tetap satu. Bukan berbeda-beda tapi dipaksakan jadi satu. Pelangi indah karena warna-warni, bayangkan kalau warnanya monokrom, tentu jadi tidak menarik.”
Kalimat itu keluar dari bibir Robi Navicula, vocalist band Navicula asal Bali. Pria itu hadir di penutupan acara Green Prosperity Knowledge Fair 2016 yang dihelat di Hotel Le Meridien, Jakarta, 13-14 Desember 2016.
Ketika tahu Robi akan hadir di acara puncak, saya sempat berpikir; apa mungkin dia bisa melebur dengan peserta? Bukan apa-apa, sebagian besar peserta datang dari kalangan formil dan berumur. Ada pejabat dari Bappenas, beberapa instansi pemerintah, petinggi lembaga swadaya masyarakat, petani dan beragam lagi latar belakang.
Robi dan Navicula adalah band beraliran rock yang sepertinya tidak nyambung dengan sebagian besar peserta yang hadir. Plus, Robi dan Navicula begitu lantang mengkritisi berbagai ketidakadilan, pada manusia, pada alam.
Ini langkah berisiko, kata saya dalam hati.
Tapi ternyata, BaKTI sebagai penyelenggara utama acara tidak salah pilih. Di panggung, Robi yang tampil sendirian dengan gitar akustiknya mampu memberi warna berbeda pada acara itu. Melepas aura formil dan kaku, menggantikannya dengan aura santai, kritis tapi cerdas.
Robi yang juga mengaku sebagai seorang petani di Ubud dan memang dikenal cinta pada alam berhasil membawakan narasi yang menyentuh tentang alam, petani dan keberagaman Indonesia. Pas dengan tema acara; green prosperity – kemakmuran hijau.
Pameran dan Inspirasi
Acara Green Prosperity Knowledge Fair 2016 diikuti beberapa lembaga penerima hibah dari Millenium Challenge Account Indonesia (MCA-Indonesia). Lembaga-lembaga itu bergerak di dua bidang; pengetahuan hijau dan kemakmuran hijau. Ada lembaga yang fokus pada pengembangan pertanian berkelanjutan di lahan gambut, ada yang fokus pada pengembangan pertanian kakao, ada yang fokus pada pengembangan energi baru dan terbarukan berbasis komunitas, ada juga yang fokus pada pengelolaan pengetahuan berbasis kearifan lokal.
Beragam lembaga itu memamerkan kegiatan mereka di booth-booth yang dijejer memanjang di bagian depan ballroom. Memang tidak semua penerima hibah bisa hadir, tapi sebagian besar sudah bisa mewakili apa yang dikerjakan para mitra tersebut.
Di dalam ballroom, acara tidak kalah serunya. Di panggung yang memanjang kurang lebih 30 meter itu, Luna Vidya dari BaKTI memandu acara bincang-bincang dengan format yang santai. Wanita berdarah Maluku dan besar di Papua itu mengemas acara seolah-seolah seperti seorang ibu kantin kapal laut yang berbincang-bincang dengan penumpang kapal di ruang tunggu.
“Kita akan berlayar ke Maumere, dan dalam pelayaran ini kita akan saling belajar satu sama lain,” katanya. Suara stom kapal laut digunakan sebagai penanda tiap sesi bincang-bincang.
Di sesi pertama naiklah tiga orang inspiratif dari dua tempat berbeda. Mereka adalah ibu Nilawaty dari Yayasan Mitra Aksi Jambi serta duo Armin dan Arman dari Desa Salassae, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Ibu Nilawaty dan rekan-rekannya di Yayasan Mitra Aksi sudah lama mengembangkan pertanian berkelanjutan di lahan gambut yang memang banyak terdapat di Jambi. Mereka bukan sekadar berteori, tapi turun langsung dan tinggal bersama petani. Yayasan Mitra Aksi menggelar Sekolah Lapang yang tujuannya meningkatkan kapasitas petani di lahan gambut. Petani belajar tentang ilmu tanah, belajar melakukan riset sederhana, serta belajar mencari tahu akar masalah dalam pertanian mereka dan cara menanggulanginya.
Di Bulukumba, Armin Salassa dan teman-temannya juga melakukan hal yang hampir sama. Mereka mendampingi petani agar lebih berdaya dan mengikuti perkembangan teknologi. Pak Armin dan teman-temannya mendorong petani untuk meninggalkan bahan-bahan kimia dan kembali ke bahan-bahan organik seperti nenek moyang mereka. Hasilnya, panen berlimpah, hasil lebih sehat dan petani lebih makmur.
Selepas sesi ketiga orang inspiratif itu, naiklah dua orang dari tanah Sumba. Umbu Hinggu Panjanji dari Desa Kamanggih, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur beserta seorang pemuda yang saya lupa namanya. Umbu Hinggu adalah pengelola koperasi Jasa Peduli Kasih yang sukses mengelola pembangkit listrik menggunakan tenaga air dan angin sementara pemuda yang menemaninya adalah operator di PLTMH milik koperasi.
Mereka bukan hanya mengelola, belakangan listrik dari pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) sudah bisa mereka jual ke PLN. Pengelolaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab PLN dan koperasi menerima bagi hasil setiap bulan.
Di sesi terakhir naiklah lima orang pria. Dua di antaranya adalah pengelola pondok pesantren Istidaduddarain, Tanjung, Lombok Utara. Mereka hadir bukan tanpa alasan, pondok pesantren mereka adalah contoh nyata bagaimana mereka memanfaatkan kotoran manusia menjadi gas dan listrik melalui reaktor bio gas.
Pesantren Istidaduddarain menunjukkan bahwa mereka tidak anti pada perubahan jaman, mereka memanfaatkan teknologi untuk menunjang aktivitas pesantren yang dihuni sekira 200 siswa itu. Kotoran manusia tidak lagi sekadar menjadi barang najis, tapi bisa diolah menjadi energi yang menghemat pengeluaran mereka.
Lalu selain dua pengasuh pondok pesantren Istidaduddarain itu ada juga tiga anak muda yang tergabung dalam Gen Oil. Gen adalah singkatan dari Garuda Energi Nusantara, pengasuhnya adalah anak-anak muda usia awal 20an. Mereka hadir dengan ide gila yang sempat ditolak oleh beberapa kementerian, ide gila yang berhasil mengubah minyak jelantah menjadi bahan bakar diesel. Bahan bakar tersebut kemudian mereka distribusikan ke nelayan di pesisir Paotere, Makassar, kota tempat mereka bertiga berdomisili.
Kesepuluh orang yang diajak naik ke panggung itu adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka bukan orang-orang yang memilih mengumpat atau memaki keadaan, tapi orang-orang yang lebih memilih untuk bekerja, merealisasikan ide menjadi kenyataan dan berkeringat membuat perubahan. Mereka hadir dari latar yang beragam, dari lokasi yang berbeda-beda, dari rentang usia yang berjauhan, tapi dengan semangat yang sama; membuat perubahan.
“Kami berpikir, kalau cuma demonstrasi dan berteriak saja tentu tidak banyak yang berubah. Kami harus melakukan sesuatu, dan inilah yang kami lakukan,” kata Ozy, Direktur Pemasaran dan Humas Gen Oil.
Dari Kata Semoga Menjadi Aksi
Selain pameran dan panggung inspirasi itu, tujuh diskusi juga digelar. Dari pengelolaan kakao, energi baru dan terbarukan berbasis komunitas, pengelolaan energi terbarukan berbasis komersial, kebijakan satu peta dan data spasial, pengelolaan lahan gambut, pengelolaan hutan sosial dan pengelolaan pengetahuan hijau.
Saya tidak ikut secara intensif di salah satu forum diskusi itu, saya hanya melompat-lompat dari satu ruangan ke ruangan lain. Dari yang bisa saya tangkap, diskusi-diskusi yang dihadiri sebagian besar oleh pemangku kebijakan di level pemerintah, pelaku di level swasta dan akademisi ini memang lebih banyak dipenuhi dengan pertukaran pengetahuan. Para peserta berbagi pengalaman, masukan dan sesekali kritik untuk saling memperkaya pengetahuan.
Diskusi ini menarik karena seperti melengkapi apa yang sudah dilakukan oleh mereka di lapisan bawah, orang-orang yang sudah mulai bekerja di lapangan. Ada yang bekerja, ada yang berpikir untuk pengembangan dan regulasi, semua saling melengkapi. Tidak lengkap sebuah aksi tanpa didukung oleh rencana pengembangan, penguatan kapasitas dan dukungan di regulasi.
Semoga saja hasil diskusi itu tidak berhenti sekadar menjadi diskusi saja, tapi bisa berubah menjadi sesuatu yang mendukung kerja-kerja kolektif yang sudah dan akan berjalan. Robi Navicula memberi istilah; metamorfosa kata. Dari sekadar kata menjadi sebuah aksi.
Dua hari yang menyenangkan buat saya, bisa bertemu, melihat langsung dan bertukar sapa dengan beragam orang dari latar yang berbeda-beda tapi dengan satu tujuan yang sama. Mereka seperti warna-warni pelangi yang berbeda-beda tapi menyatu menjadi satu harmoni yang indah.
Ketika Robi Navicula memandu semua hadirin untuk bernyanyi, saya tergetar. Suara-suara lantang memenuhi ballroom, merangkak naik hingga ke langit-langit, menggetarkan kalbu.
“Warna-warni kita menjadi satu, warna-warni kita menjadi satu!”
Dan suara-suara itu menumbuhkan harapan, warna-warni yang menjadi satu, untuk Indonesia yang lebih baik, untuk Indonesia yang sedang lesu dirundung ancaman perpecahan. [dG]
Ini dia suara Robi Navicula saat membawakan lagu Busur Hujan:
Kerennyaa ini acara, suka merinding kalau melihat orang yang berkarya dan berbuat banyak.
Lantas, apa yan sudah saya lakukan? *mendadak introspeksi diri* 🙂