Anak-anak dan Pornografi

Anak-anak dan pornografi
Ilustrasi

Seberapa menakutkan pornografi itu bagi anak-anak kita?

Saya masih kecil waktu itu, mungkin sekira 4 tahun. Saya sudah duduk di bangku TK, di sebuah kampung yang lumayan jauh dari kota. Rumah yang saya tempati berdiri di atas tanah luas yang di bagian belakangnya penuh dengan pohon buah dan semak-semak. Rumah paling dekat berjarak puluhan meter, sepi meski interaksi dengan tetangga tetap hangat.

Ada beberapa anak kampung yang sering bermain di halaman kami yang luas. Oleh seorang paman, saya sering diperingatkan untuk tidak bergaul dengan mereka. Seingat saya alasannya karena mereka “anak kampung”, tidak terpelajar dan urakan. Keluarga kami memang cukup terpandang, almarhum kakek meski tidak berpendidikan tinggi tapi dikenal sebagai cerdik cendekia.

Tapi namanya anak-anak, larangan tetaplah larangan. Sesekali saya masih bermain dengan mereka, beberapa anak yang seumuran dengan saya dan seorang lagi yang berumur lebih tua. Saya lupa namanya, mungkin karena beberapa tahun kemudian saya sudah meninggalkan kampung dan pindah ke kota besar.

Suatu hari, saya ingat betul kami sedang bermain di halaman belakang yang penuh dengan pohon buah dan semak. Kami bertiga waktu itu, saya dan seorang lagi teman yang seumuran serta seorang lagi anak laki-laki yang mungkin 3-4 tahun lebih tua. Dari permainan ke permainan sampai kemudian saya ingat si teman yang lebih tua menarik celana teman yang satu, lalu berjongkok di depannya. Saya masih ingat persis, si teman yang lebih tua lalu melakukan sesuatu yang sangat asing buat anak-anak umur empat tahun yang tinggal jauh dari kota. Dengan mulutnya dia menyentuh penis si teman, saya lupa bagaimana reaksi si teman yang jadi objek. Seingat saya tidak ada satupun dari kami yang protes, mungkin karena kami sama sekali tidak tahu apa yang teman lebih tua itu lakukan.

Kejadiannya hanya berlangsung beberapa detik. Atau setidaknya saya hanya ingat beberapa detik. Lalu semua kembali seperti semula, kami kembali bermain bertiga dan entah apa yang kemudian terjadi setelahnya.

Bertahun-tahun kemudian- bahkan mungkin belasan tahun kemudian- saya baru sadar apa yang terjadi kala itu. Saya sudah mulai beranjak remaja dan sudah mulai sembunyi-sembunyi menikmati gambar dan cerita porno. Saya terhenyak dan sadar kalau belasan tahun lalu di umur yang masih sangat muda saya sudah pernah menyaksikan langsung sebuah praktik pornografi sesama jenis, tepat di depan mata sendiri!

Sampai sekarang saya masih penasaran, dari mana seorang anak kampung yang jauh dari kota, di umur yang pasti belum lagi mencapai 10 tahun bisa tahu tentang hal seperti itu? Dari bacaan atau tontonan? Saya rasa bukan, tahun-tahun itu hanya beberapa orang di kampung kami yang punya televisi. Bacaan? Mungkin juga tidak. Material pornografi di awal tahun 1980an pasti sangat susah ditemukan, tidak seperti sekarang.

Satu-satunnya alasan yang mungkin bisa saya bayangkan adalah si teman melihat langsung praktik yang sama. Mungkin dilakukan seorang perempuan yang lebih tua kepada pasangannya, dia hanya menyalinnya tanpa tahu kalau yang dilakukannya salah. Mungkin hanya rasa penasaran seorang anak kecil saja, karena kejadian itu hanya berlangsung sebentar, benar-benar bukan sebuah tindakan pemuasan hasrat yang pasti butuh waktu lebih lama.

*****

Mungkin kita sudah sering mendengar seberapa banyak kasus pelecehan seksual atau penyimpangan seksual yang dilakukan oleh anak-anak yang belum seharusnya terjamah hal-hal seperti itu. Ada yang baru sampai pada tahap meraba atau verbal, bahkan ada yang sampai pada tahap penetrasi. Korbannya pun sesama anak kecil yang mungkin belum tahu apa yang terjadi pada dia.

Apa yang mendasari si pelaku sampai berbuat seperti itu pasti sangat beragam. Anak kecil dengan rasa penasaran yang besar pasti sangat rentan dengan hal-hal baru, hal-hal yang tak semuanya bagus buat mereka. Salah satunya adalah pornografi. Mungkin tanpa sadar mereka sering melihat langsung kegiatan seksual yang dilakukan oleh orang tua atau orang-orang yang lebih tua di sekitar mereka, lalu dengan rasa penasaran juga serta-merta menyalinnya. Sekadar ingin tahu sebelum akhirnya merasa ada hal yang memuaskan dari kegiatan itu.

Dalam ajaran Islam diajarkan untuk memisahkan anak yang sudah berumur tujuh tahun dari kamar orang tuanya. Tujuannya supaya si anak tidak memergoki apa yang dilakukan orang tuanya di atas ranjang. Rasa penasaran yang terus tersimpan dalam benak si anak bisa jadi pintu-pintu baru untuk melakukan sesuatu yang tak seharusnya mereka lakukan, atau sesuatu yang belum waktunya mereka lakukan.

Faktor lainnya mungkin mereka pernah menjadi korban, menjadi objek dari orang-orang yang lebih tua. Perlahan ketika dia makin dewasa dan makin punya kekuatan, dia bisa saja berubah menjadi predator, menjadi pihak yang melakukannya seperti dulu dia diperlakukan.

Dari cerita saya, kita bisa meraba betapa bahayanya pengaruh itu. Di jaman ketika material pornografi begitu sulit ditemukan saja, anak-anak sudah bisa terpapar. Apalagi di jaman ketika material pornografi hanya sejangkauan tangan. Potensi anak-anak terpapar segala hal berbau pornografi sangat besar dan tentu saja sangat menakutkan.

Menurut data yang dipublikasikan KPAI, sejak tahun 2011 hingga 2014, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online di Indonesia telah mencapai jumlah 1.022 anak. Secara rinci dipaparkan, anak-anak yang menjadi korban pornografi online sebesar 28%, pornografi anak online 21%, prostitusi anak online 20%, objek cd porno 15% serta anak korban kekerasan seksual online 11%. [sumber]

Tantangannya sudah berbeda. Membiarkan anak-anak mengenal sexualitas (bukan pornografi) sedari dini mungkin bisa jadi satu solusi. Semakin cepat mereka tahu maka semakin cepat juga mereka sadar apa yang baik dan apa yang tidak baik buat mereka. Sebagai manusia, kita tentu tidak bisa lepas dari hasrat sexual, itu hal alamiah. Tapi semakin kita tahu potensi masalahnya maka semakin besar kesempatan kita untuk menghindari masalahnya. Begitupun dengan anak-anak.

Kadang saya merasa ngeri juga membayangkan betapa rumit dan beratnya tantangan membesarkan anak-anak di jaman yang sudah semakin gila ini. Lingkungan sudah berubah sangat banyak, tantangan sudah sangat berat. Pasti butuh kerja keras yang juga berlipat ganda. Tidak ada pilihan lain buat orang tua selain berusaha untuk terus belajar, mengikuti perubahan jaman dan berlaku fleksibel. Menjadi kaku dan ketinggalan jaman bukan opsi yang bagus.

Pertanyaannya; siapkah kita menjadi orang tua yang seperti itu?

By the way, sampai sekarang saya penasaran bagaimana kehidupan teman yang lebih tua setelah kejadian hari itu. Apakah kehidupan seksualnya baik-baik saja? Apakah dia tumbuh menjadi predator? Apakah dia tumbuh menjadi penyuka sejenis? Sungguh saya tidak tahu. [dG]