Susahnya Mencari Pelayan Restoran yang Ramah di Makassar


Di Makassar, mencari makanan tradisional yang enak itu mudah. Tapi, mencari restoran makanan tradisional yang pelayanannya ramah, itu lain soal.


Malam itu, saya dan Mamie sedang duduk di salah satu sudut Rumah Makan Nelayan di Jalan Ali Malaka, Makassar. Kata Mamie, restoran ini salah satu restoran yang menyajikan aneka olahan laut (sea food) paling enak di Makassar. Kata dia lagi, daging ikannya segar, bumbunya pas, dan sambalnya maknyus. Saya ikut saja. Toh, buat saya selama bukan saya yang membayar maka sudah pasti hidangannya enak, ha-ha-ha-ha.

“Tapi pelayannya, mukanya datar,” kata Mamie pelan, setengah berbisik.

Saya langsung mengamati wajah para pelayan yang sedari tadi mondar-mandir di sekitar kami. RM. Nelayan memang sedang ramai-ramainya malam itu. Tidak ada meja kosong, semua penuh terisi. Saya perhatikan, wajah para pelayan di resto itu memang datar. Tanpa senyum, dan kadang tanpa kontak mata. Mereka hanya berdiri dengan sebuah buku kecil dan alat tulis di tangan, menanyakan pesanan para pelanggan, menuliskannya dan berlalu begitu saja. Ketika tiba dengan pesanan di tangan, mereka hanya meletakkannya begitu saja di meja. Tanpa senyum, tanpa basa-basi.

Ini sebenarnya bukan hal asing di Makassar. Sudah sejak beberapa tahun belakangan ini saya mengamati betapa pelayanan di rumah makan – khususnya yang menyajikan makanan tradisional – memang masih jauh dari kata nyaman.

Para pelayan sepertinya tidak dibekali dengan ilmu hospitality yang sebenarnya adalah salah satu syarat dari sebuah layanan jasa. Tidak ada basa-basi, tidak ada kontak mata, dan tidak ada senyum. Muka mereka datar, tanpa ekspresi. Kadang di saat tertentu kita akan bertemu dengan wajah merengut, atau orang Makassar menyebutnya gamussu.

Makassar sebenarnya bisa berbangga menjadi sebuah kota yang terkenal dengan wisata kulinernya. Kita bisa menikmati beragam kuliner khas dari sejak matahari terbit sampai 23 jam berikutnya. Ada banyak sekali kuliner khas yang bisa jadi rujukan, khususnya untuk para wisatawan.

Hari Minggu kemarin (22/12) saya mencuitkan tentang susahnya menemukan restoran makanan tradisional yang pelayanannya bagus. Beberapa teman di Twitter seperti mengaminkannya.

“Betul om Ipul, teman dari luar Sulawesi juga mengeluhkan itu,” kata Rauf Rahmat Gafur.

Seorang teman yang lain, Rere juga membenarkan. “Bener. Kemarin makan di RM. Muda-Mudi sama teman, pelayannya mukanya datar,” kata Rere.

Lain lagi kata Andi Asmar. Dia bilang, “Kalau nda koro-koroang (muka cemberut), pasti pura-pura tidak dengar kalau dipanggil.”

Apa Penyebabnya?

Setidaknya bukan hanya saya yang merasakan kesulitan menemukan pelayan yang ramah di rumah makan tradisional di Makassar. Setidaknya, ada orang lain juga yang merasakannya.

Sebenarnya saya sempat mencoba mencari tahu apa penyebabnya. Pun, dalam beberapa diskusi santai dengan beberapa teman, topik ini sempat muncul. Ada beberapa jawaban yang muncul, salah satunya adalah karena tabiat atau kebiasaan melayani memang belum menjadi tabiat kami orang Bugis-Makassar.

“Kita tidak terbiasa melayani, makanya standar keramahan kita juga berbeda,” kata Jimpe, salah satu teman peneliti yang pernah sama-sama membahas persoalan ini.

Meski tergolong pedagang, orang Bugis-Makassar tidak terbiasa dengan bisnis jasa. Mereka lebih banyak berkutat di bisnis perdagangan barang. Dan ini tentu saja berkaitan dengan standar yang berbeda bila berbicara tentang keramahatamahan.

Selain itu, orang Bugis-Makassar memang tidak terbiasa berbasa-basi. Basa-basi orang Bugis-Makassar bukan secara visual atau yang bisa langsung dilihat dan didengar. Standarnya beda. Karena itu, bila menggunakan standar umum tentang basa-basi dan ramah-tamah, maka tentu saja apa yang kita temukan di rumah makan tradisional itu akan dihitung sebagai “di bawah standar”.

Dalam sebuah diskusi tentang rencana Makassar untuk menjadi anggota jejaring kota kreatif UNESCO bidang gastronomi, saya sudah sempat menyatakan soal kegelisahan saya ini. Dalam bayangan saya, bila memang Makassar ingin diakui sebagai kota kreatif bidang gastronomi, maka salah satu bidang yang harus dibenahi adalah soal standar penyajian makanan.

Dalam bisnis makanan, bukan hanya rasa yang menjadi pertimbangannya, bukan? Setidaknya harus ada juga standar penyajian yang menyangkut kebersihan dan keramahan pelayanan. Setidaknya itu yang saya bayangkan. Nah standar penyajian ini yang masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi sebagian besar rumah makan yang menyajikan makanan tradisional di Makassar.

Beberapa warung makan yang menyajikan makanan tradisional punya standar kebersihan yang buat orang biasa ada di bawah rata-rata. Lantai yang berminyak, penuh dengan tisu bekas atau kulit ketupat, dan toilet yang kotor. Pokoknya warung makan ini tidak saya rekomendasikan buat para pendatang. Saya tidak mau jadi malu sendiri, walaupun terus terang rasa makananya enak.

Rasanya sangat jauh berbeda bila kita menikmati sajian makanan atau minuman di kafe atau restoran moderen. Pelayanan di sana sudah jauh lebih bagus dengan standar yang lebih tinggi. Hal yang belum bisa didapatkan sepenuhnya di restoran atau warung makan tradisional.

Restoran atau warung makan tradisional ini mungkin masih sangat percaya diri dengan sajian mereka, sehingga kualitas pelayanan masih ditaruh di nomor sekian. Toh tanpa pelayanan yang bagus pun, tamu tetap datang dan bahkan kadang sampai antri.

Benar juga sih, tapi kan tidak ada salahnya untuk berevolusi menjadi lebih baik. Atau kalau perlu melakukan revolusi untuk menjadi lebih baik. Bagaimana kalau makanan sudah enak, pelayanan pun prima? Pasti akan lebih ramai, akan lebih banyak pendatang yang mengincar makanan yang disajikan. Iya, saya memang menjadikan pendatang sebagai target utama, karena bagi orang dalam kota Makassar sendiri pelayanan memang kadang tidak terlalu dipikirkan. Bisa menjadi nomor sekian, karena aslinya kami juga tidak suka basa-basi. Tapi, kasihan para pendatang, para wisatawan. Mereka ingin menikmati kuliner khas kota ini, tapi rasanya ada yang mengganjal. Pelayanan yang kurang ramah.

*****

Persoalan ini memang sepertinya belum jadi persoalan serius di kalangan pelaku kuliner tradisional di Makassar. Mereka masih merasa puas dengan sajian yang ada sekarang. Tanpa pelayanan yang ramah pun nama warung mereka sudah jadi rekomendasi untuk para wisatawan. Pertanyaanya, mau sampai kapan? Zaman akan terus berubah, dan kalau tidak adaptif dengan perubahan itu maka bukan tidak mungkin akan terlindas.

Jadi sepertinya soal keramahan layanan ini bisa mulai menjadi perhatian para pelaku bisnis kuliner tradisional. Bahkan mungkin pemerintah kota? Entahlah. [dG]

Edit:
Saya baru sadar setelah melihat sebuah mention di akun Twitter saya. Sikap ramah-tamah orang Bugis/Makassar itu akan muncul ketika mereka menjadi tuan rumah. Orang Bugis/Makassar sangat menghargai tamunya. Sampai di sini saya berpikir lagi, apakah ini berarti pelayan di restoran belum menganggap para pelanggan itu sebagai tamu? Entahlah.