Makassar Tak Seperti Di Kotak TV

Shutdown Your TV and Start Writing

Padahal intinya saya cuma mau bilang kalau Makassar tidak persis seperti yang diberitakan di kotak TV itu. Makassar tak serusuh itu, kami di sini baik-baik saja.

Saya jarang nonton TV, apalagi berita nasional. Minggu pagi secara kebetulan saya duduk depan TV selepas pertandingan La Liga. Secara kebetulan juga TV One menyiarkan sebuah berita tentang unjuk rasa beberapa mahasiswa di Makassar malam sebelumnya. Beritanya biasa, apalagi belakangan ini memang aksi unjuk rasa terkait rencana kenaikan harga BBM sedang marak.

Tapi ada yang tidak biasa dari berita TV One itu. Semalam kebetulan saya ada di lokasi tempat kejadian yang diberitakanTV One itu. Lokasinya di jalan Andi Pangerang Pettarani, tepatnya di pertigaan Jl. Rappocini Raya. Waktu itu memang ada sekitar 30 anak muda yang menutup jalan. Tidak jelas mereka asalnya dari mana karena memang tidak ada atribut seperti jaket almamater misalnya yang mereka kenakan.

Anak-anak muda itu menutup jalan, sebagian dari mereka melempari billboard besar berisi iklan sebuah produk, sebagian lainnya menyobek baliho kampanye? milik Syahrul Yasin Limpo, gubernur incumbent. Sementara itu di depan pom bensin yang memang tepat berada di pertigaan ada beberapa orang tentara yang berjaga-jaga. Saya tidak tahu berapa lama kejadian itu berlangsung karena saya segera berlalu.

Potongan kejadian itulah yang kemudian ditayangkan oleh TV One tadi pagi (1/4) dalam program berita mereka. Hanya saja ada satu informasi yang betul-betul tidak tepat. Dari narasi beritanya disebut kalau kekacauan itu terjadi di depan pintu bandara Sultan Hasanuddin, dan ada aparat yang berjaga-jaga tepat di depan pintu bandara.

Saya kaget. Jl. AP Pettarani dan bandara Sultan Hasanuddin terpisah jarak sekitar 14 KM, sangat jauh. Tapi kenapa beritanya bisa mengatakan kalau unjuk rasa itu terjadi di depan pintu masuk bandara ? Bukankah berita itu bisa menyesatkan ? Sebuah gerbang masuk bandara yang dijaga petugas bersenjata tentu mengisyaratkan sebuah kondisi kota yang tidak aman karena bandara adalah pintu gerbang. Padahal kejadian sebenarnya tidak seperti itu.

Kejadian yang hampir sama terjadi malam sebelumnya. Kala itu tayangan live di Metro TV menyiarkan adegan bentrok antara polisi dengan warga ( bukan mahasiswa ) yang berlokasi di fly over. Dari kejadian di televisi terlihat betapa rusuhnya suasana, ada adegan lempar-lempar batu dan tembakan gas air mata.
Mereka yang menonton televisi pasti akan langsung membangun image betapa rusuhnya Makassar, betapa mencekamnya suasana di kota ini.

Beberapa menit setelah tayangan itu saya penasaran dan mencoba untuk mendekat ke fly over. Awalnya ragu, tapi begitu melihat banyak kendaraan yang mengarah ke sana saya juga jadi ikut mencoba. Daerah sekitar fly over memang ramai, banyak warga yang berkumpul di sepanjang jalan, tapi mereka ternyata sama seperti saya. Mereka juga orang yang penasaran dengan berita yang ada di Metro TV dan mencoba melihat dari dekat kejadian sebenarnya.

Saya coba dengan mendekat ke fly over. Sama sekali tidak ada kerusuhan seperti yang diberitakan di televisi. Memang ada beberapa polisi dan sisa gas air mata yang membuat mata perih, tapi adegan lempar batu antara warga dan polisi sama sekali tidak terlihat.

Beberapa menit kemudian, seorang kawan dengan akun @SupirPete2 ngetwit. Dia baru saja masuk ke jalan tol lewat fly over dan mempertanyakan lokasi kerusuhan adanya di sebelah mana ? Kalau membangun asumsi berdasarkan tayangan televisi maka orang pasti akan takut melintas di daerah fly over. Seolah-olah daerah tersebut sudah menjadi arena peperangan yang sangat riskan untuk didekati kecuali anda juga berniat menjadi korban.

Persepsi yang terbangun dari kotak kaca

Dua kejadian di atas adalah bukti nyata betapa televisi (khususnya televisi nasional) kadang tidak bisa dipercaya sama sekali. Entah apa maksudnya sehingga kadang stasiun televisi malah bertindak sebagai provokator atau setidaknya sebagai media yang merusak citra sebuah kota atau seseorang.

Makassar adalah salah satu sasaran empuk. Mungkin karena karakter warganya yang sudah terlanjur terkenal keras di luar sana sehingga menggoda para pekerja media nasional untuk selalu memberitakan hal-hal keras dari kota ini. Satu keributan kecil kadang diberitakan seolah-olah keributan itu sangat besar dan mencekam sehingga satu kota terkesan berada dalam situasi genting.

Ramainya demonstrasi warga dan mahasiswa menolak kenaikan BBM beberapa hari ini menjadi bukti bagaimana televisi nasional memperlakukan kota Makassar. Saya tidak menonton berita tentang kehebohan unjuk rasa itu, tapi dari beberapa komentar di lini masa terlihat jelas kekhawatiran dan persepsi buruk orang-orang tentang Makassar yang mereka dapat dan bangun dari tayangan berita di televisi.

Saya dapat BBM dari mbak Mubarika. Dia mengaku kuatir dan prihatin dengan kondisi Makassar yang dilihatnya di televisi. Saya menanggapinya dengan tersenyum. Dia ternyata jadi korban juga. Korban dari tayangan berita yang terlalu melebih-lebihkan tentang kota Makassar. Pada saat berita itu tayang di televisi saya sedang berada di titik lain di kota ini, suasana aman tenteram. Jalanan lancar, tak ada aparat, tak ada konsentrasi massa dan tak ada keributan sama sekali.

Saya bisa bilang kalau keributan yang ditayangkan di televisi itu hanya terjadi di satu titik yang bagaikan noktah kecil di atas peta kota Makassar. Tak cukup satu persen dari total luas kota ini, sisanya tetap aman tenteram. Potongan-potongan gambar yang kemudian dibumbui dengan narasi berlebihanlah yang membuat bayangan tentang kerusuhan yang besar jadi terbentuk. Membuat orang menilai Makassar adalah kota yang mencekam dengan kerusuhan yang melebar.

Televisi nasional dengan beragam alasannya memang sepertinya lebih senang dengan tayangan penuh kerusuhan dan kekerasan. Makassar kemudian jadi salah satu korbannya. Makassar jadi sasaran empuk untuk tayangan seperti itu. Kota lain seperti Ambon juga pernah menjadi korban. Keributan kecil diberitakan sebagai keributan besar yang mencekam.

Sebenarnya hari ini saya tidak berniat membuat tulisan. Tapi berita ngaco dari TV One tadi pagi seketika membuat saya terpancing untuk menulis panjang lebar. Padahal intinya saya cuma mau bilang kalau Makassar tidak persis seperti yang diberitakan di kotak TV itu. Makassar tak serusuh itu, kami di sini baik-baik saja.

Mungkin memang sudah waktunya kita mematikan TV dan mulai menulis. Menulis di blog tentang keadaan sebenarnya dari kota tempat kita berdiam.

[dG]