Komunitas dan Kota
Komunitas tumbuh pesat di berbagai kota. Sebagian di antaranya seperti mengambil alih tugas pemerintah kota.
Ratusan anak-anak muda nampak riang menikmati permainan tradisional yang hampir punah dan makin jarang ditemui di jaman digital. Hari itu mereka hadir dalam puncak acara Makassar Games Festival di benteng Somba Opu Makassar. Dilihat dari luar acara itu hanya seperti sebuah momen untuk bersenang-senang mengingat kembali keceriaan masa kecil. Tapi kalau dikuliti lebih dalam, ada banyak hal yang sebenarnya terjadi, bukan sekadar bersenang-senang dan bermain.
Salah satu tugas pemerintah setahu saya adalah menjaga aset, termasuk aset budaya yang terangkum dalam banyak hal. Salah satunya permainan tradisional. Ketika tugas itu tidak dilaksanakan dengan baik, komunitas kemudian mengambil alih. Jadilah ajang MTGF digelar sebagai satu usaha kecil menjaga aset budaya yang ada pada permainan-permainan tradisional.
Di sisi berbeda, MTGF juga bisa jadi sebuah protes keras kepada pemerintah kota yang secara sadar atau tidak sudah dengan kejamnya memangkas ruang-ruang publik tempat anak-anak bisa berkumpul, bermain dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Ruang bermain yang semakin langka membuat orang tua tidak punya pilihan lain selain membawa anak-anak mereka ke mall untuk bermain. Sisanya terpaksa bermain di lorong-lorong sempit yang tak layak menjadi tempat bermain.
Komunitas Jalan-Jalan Seru Makassar tidak sendirian. Ada banyak komunitas lain yang tanpa sadar sudah mengambil alih tugas pemerintah kota. Ada komunitas Makassar Berkebun yang dengan senang hati mengisi lahan kosong di kota ini dengan berbagai tanaman hijau yang punya ragam guna. Meski skalanya masih kecil tapi cara-cara mereka sudah cukuplah menjadi sebuah inisiatif positif dari warga.
Kalau melihat sekeliling dengan mudah saya bisa menemukan komunitas-komunitas yang bergerak menmberdayakan warga. Caranya beragam, ada yang memang secara sadar melakukannya dan ada pula yang tanpa sadar. Beberapa komunitas memang terlihat hanya bersenang-senang dan jadi perkumpulan dari mereka yang punya minat sama. Tapi tanpa mereka sadari dari perkumpulan itu kadang muncul inisiatif yang mendorong kota ke arah lebih baik.
Komunitas bergerak, tapi tidak dengan pemerintah kota. Mereka lebih banyak memberi perhatian pada perkembangan-perkembangan fisik kota, pada bangunan-bangunan megah dan proyek-proyek bernilai fantastis. Beberapa kota memang diberi pemerintah yang lebih serius menggarap dandanan kota yang berisi proyek megah daripada hal-hal kecil yang sebenarnya lebih menyentuh kebutuhan warga.
Untuk kota Makassar rasanya memang masih ada jurang yang dalam antara komunitas yang terus tumbuh dengan pemerintah yang terus menjadi rakus. Komunitas bergerak di bawah sementara pemerintah asyik di atas. Jadilah jurang lebar yang memisahkan keduanya.
Jurang itu sebenarnya bisa dititi atau dijembatani kalau saja tidak ada pengalaman buruk yang membekas. Mendekat ke pemerintah bisa berarti berurusan dengan politik, berurusan dengan politik bisa berarti menumbuhsuburkan bibit perpecahan di tubuh komunitas. Tidak semua anggota komunitas nyaman berurusan dengan politik meski tidak ada larangan bagi komunitas untuk ikut berpolitik.
Beberapa komunitas memang berhasil membangun jembatan melintasi jurang itu. Mereka mendapat dukungan pemerintah tanpa harus repot dengan embel-embel politik, tapi sisanya masih tetap menatap jurang itu tanpa berusaha untuk membangun jembatan. Komunitas tetap berjalan dengan visi mereka sementara pemerintah kota tetap berjalan dengan rencana mereka.
Sampai sekarang saya masih mengangan-angankan pemerintah kota yang memberi dukungan penuh kepada komunitas tanpa harus menyisipkan pesan-pesan politik. Minimal pemerintah kota yang memberi ruang luas bagi komunitas untuk berkumpul, berbagi dan beraksi bersama-sama. Pemerintah kota harusnya sadar kalau tugas yang mereka emban terlalu banyak dan besar, tapi dengan bantuan banyak orang tugas itu bisa dikerjakan. Pemerintah kota sepertinya hanya harus mendengar dan melihat sambil tentunya meluruskan niat. Niat untuk membangun kota tanpa harus mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan.
Sepertinya menyenangkan jika komunitas bisa bergerak dengan dukungan pemerintah tanpa harus kuatir aksi mereka dijadikan alat untuk berpolitik. Bukan begitu? [dG]