Dalam Hijau Ada Hitam Yang Mengintai

Hijaunya Negeriku karya: Adi Wiratmo
Hijaunya Negeriku karya: Adi Wiratmo

“I think God create all the good things here, for you Indonesian people”

Kalimat itu meluncur dari bibir Harun, seorang lelaki Afghan dengan perawakan layaknya orang Persia. Tinggi, putih, hidung mancung dan mata kebiruan. Kami berada di mobil yang sama ketika itu, melintasi jalanan kecil dengan sawah yang mengapit di kedua sisi. Di satu sisi bukit kehijauan nampak di kejauhan, di atasnya ada arak-arakan awan putih menggelayut. Nampak indah dengan matahari yang tak seberapa terang.

Harun benar-benar terlihat menikmati sajian alam yang dilihatnya. Belum lagi keramahan warga yang menyambutnya. Bagi Harun, semua itu berbeda dengan hal yang biasa dia nikmati di negerinya sana. Di negeri yang berada di atas Pakistan, Harun hanya terbiasa melihat alam berbalut warna cokelat tanah serta debu yang rajin menutupi selayaknya selimut. Keramahan warga adalah barang langka. Orang Afghanistan sebenarnya ramah kata Harun. Mereka juga berani berkorban apa saja buat para tamunya, tapi negeri yang akrab dengan peperangan membuat warga harus mendahulukan kecurigaan pada orang asing daripada keramahan.

10 hari bersama Harun dan teman-temannya membuka mata saya (sekali lagi) kalau Indonesia memang indah. Di balik semua masalah yang masih akrab dengan negeri kita sebenarnya ada keindahan yang kadang seperti luput untuk kita syukuri. Alam kita kaya, mau apa saja ada. Kata orang: tongkat kayu yang ditanam saja bisa jadi pohon. Bahkan kata Koes Plus: kail dan jala bisa menghidupi.

Dari ujung paling barat negeri ini sampai ujung paling timur selalu ada alasan untuk menumbuhkan kecintaan pada Indonesia. Anda mau menikmati apa? Gunung? Hamparan sawah hijau? Hutan tropis dengan semua mahluk yang ada di dalamnya? Bentangan garis pantai dengan pasir selembut bedak bayi? Semua ada, semua tersedia di sekujur negeri ini.

Suatu hari di Bedugul
Suatu hari di Bedugul

Tapi kita kadang lupa atau pura-pura lupa. Lupa kalau kita punya itu semua dan kemudian lupa untuk menikmatinya atau membuat orang lain ikut menikmatinya. Ada masa di mana kita kadang lebih silau oleh pesona wisata negeri seberang atau negeri yang jauh di sana. Padahal kampung tetangga kita juga tidak kalah indahnya.

Kita baru berseru kaget ketika gambar-gambar indah negeri ini hadir lewat karya orang lain dan kemudian kita berguman “ternyata ada ya yang kayak begitu di Indonesia?”. Kita lupa kalau negeri kita ini indah meski ragam masalah masih rajin menjadi kawan kita.

Kadang orang asing malah lebih menghargai hijau dan indahnya negeri kita. Di Bali orang-orang berkulit terang itu datang dan menyepi di pelosok-pelosok Bali. Mencari kedamaian dan kadang mencatat keindahannya di atas kanvas. Menceritakannya ke dunia kalau Indonesia adalah kanvas besar tempat sang pencipta menggoreskan mahakaryanya.

Kadang ada juga orang asing yang melihat sisi lain dari keindahan itu. Keindahan itu mereka ubah menjadi uang, dikelola dengan baik dan dipakai sebagai alat untuk memancing rekan-rekan mereka yang sama-sama berkulit terang. Mungkin karena kita yang kadang alpa untuk menjaganya, atau tidak tahu cara untuk memanfaatkannya.

Hijau di dekat rumah, sebelum menjadi hutan beton
Hijau di dekat rumah, sebelum menjadi hutan beton

Sementara itu ada juga mahakarya sang pencipta itu yang perlahan mulai rusak. Penyebabnya adalah nafsu serakah manusia dengan label modernisasi dan tuntutan jaman. Tak jauh dari rumah saya dulu ada banyak sawah yang menghampar dengan warna hijau menyejukkan. Tapi itu dulu sebelum akhirnya perlahan mulai hilang tergantikan hutan beton yang tak sejuk dipandang mata.

Foto Hijau Negeriku karya Adi Wiratno di Dji Sam Soe Mahakarya Indonesia merekam satu sudut di negeri ini, sudut di mana hijau, damai dan kesejukan menjadi satu. Nikmatilah sambil bertanya: berapa lama semua itu bisa kita nikmati? Berapa lama sebelum itu semua hilang dan tinggal kenangan? Karena sesungguhnya di balik hijaunya negeri ini ada warna hitam yang selalu mengancam. [dG]