Hati-Hati Memilih Walikota

Menuju Makassar 01
Menuju Makassar 01

Pesta demokrasi di kota Makassar akan digelar, waktunya bagi warga kota untuk memilih apakah akan menjadi objek atau cuma jadi subjek.

Masa bakti walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin akan berakhir tahun depan. Sedianya pilkada walikota akan digelar 2014, tapi karena tahun itu ada pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden maka pemilihan walikota dipercepat ke 2013, tepatnya di bulan September.

Walikota sebelumnya sudah dua kali menjabat, ini artinya menurut undang-undang dia tidak bisa lagi meneruskan jabatan sebagai walikota dan harus digantikan oleh orang yang benar-benar baru. Ini yang membuat pemilihan walikota Makassar menjadi lebih seru karena semua yang mengajukan diri sebagai bakal calon walikota adalah orang yang relatif belum terlalu dikenal.

Beberapa di antaranya memang sudah sering wara-wiri di berbagai sudut kota dengan baliho, spanduk atau stiker. Tapi mereka sekadar numpang tenar tanpa ada penjelasan detail tentang kelebihan mereka, kecuali kata-kata manis berbunga-bunga seperti umumnya calon pejabat yang menjilat rakyatnya.

Sampai sekarang memang belum ada pendaftaran resmi untuk calon walikota, tapi setidaknya sudah jelas siapa-siapa saja yang sudah mengibarkan bendera dan siap terjun ke medan laga perebutan posisi Makassar 01. Momen ini menjadi sangat krusial bagi warga kota Makassar karena pemilihan walikota jelas akan sangat mempengaruhi wajah kota ini 5 tahun ke depan.

Berbeda dengan pemilihan gubernur januari silam, yang keputusannya sampai sekarang juga belum final karena masih ada pertikaian. Pemilihan gubernur sifatnya lebih luas karena menyangkut propinsi, sementara pemilihan walikota jelas lebih detail karena menyangkut masa depan kota.

Warga yang cerdas seharusnya bisa memilih dan memilah siapa-siapa di antara para bakal calon walikota itu yang benar-benar cocok untuk didukung. Memilih calon walikota bukan cuma urusan melihat mana yang paling populer dan mana yang paling banyak memasang baliho. Ini pemilihan kepala daerah, bukan pemilihan raja ketampanan.

Apa Yang Harus Diperhatikan?

Makassar tumbuh sangat dinamis dari sisi ekonomi. Kota ini malah tercatat sebagai kota dengan pertumbuhan tertinggi di Indonesia. Tapi sekali lagi itu dari segi ekonomi, dari sisi di mana angka bisa dicatat, dihitung dan dipamerkan. Pada kenyataannya ada hal lain yang membuat kota ini terasa makin tidak manusiawi.

Jalanan yang makin macet, genangan yang muncul dan berkumpul sesaat setelah hujan turun, kurangnya ruang terbuka hijau, hilangnya daerah resapan, banjir yang makin mengancam, angkutan massal yang belum tersedia, pasar tradisional yang makin menderita dan banyak lagi.

Di satu sisi kota ini mulai masuk dalam perangkap kapitalis, para pemodal berkantung tebal yang menjadikan Makassar sebagai etalase kekayaan mereka. Kabar terakhir, sungai Tallo akan dipermak. Aliran sungai yang mengalir jauh di tubuh kota ini akan mulai disentuh oleh para pemodal. Tahu sendirilah bagaimana kelakuan para pemodal itu ketika mereka sudah menyentuhkan tangan penuh duitnya. Tidak akan ada lagi ruang untuk mereka yang tidak punya, karena bagaimanapun pemodal butuh perputaran uang yang cepat untuk mengembalikan modal mereka.

Warga yang cerdas harus bisa menilai dengan baik walikota mana yang punya visi misi yang jelas tentang masalah-masalah perkotaan yang sedang tumbuh dan akan tumbuh di kota ini. Beberapa pihak sudah mulai memfasilitasi para bakal calon walikota itu untuk berdialog dengan warga. Salah satunya yang dilakukan oleh akun @SupirPete2 yang membuka sesi tanya jawab dengan salah satu bakal calon walikota Makassar (ringkasan tanya jawabnya bisa dilihat di sini). ?Sayangnya karena tidak semua bakal calon walikota mau meluangkan waktu untuk berdialog dengan calon warganya. Ini yang jadi kendala bagi warga, bagaimana kita bisa memilih kalau kita tidak kenal siapa yang harus dipilih?

Cerdaslah Memilih.

Pemilihan walikota di Makassar agak berbeda dengan yang terjadi di Jakarta. Makassar meski sudah dianggap kota besar, tapi budaya kolotnya masih kental. Di kota ini masih banyak kelompok-kelompok yang dipengaruhi satu-dua orang sebagai yang dituakan. Apa kata sang ketua maka itu juga kata anggotanya. Jadi para bakal calon walikota itu tinggal mendekati sang ketua maka amanlah suara mereka.

Warga kota ini juga masih banyak yang gampang ternganga pada pencitraan atau simpati yang temporer. Ketika bakal calon walikota itu datang dengan selembar kaos, stiker besar, sedikit sembako dan pos ronda di sudut jalan maka ketika itulah warga akan merasa diperhatikan. Suara mereka jelas bisa dengan gampang mengalir ke sang bakal calon. Mereka tidak peduli pada efek jangka panjang dari pilihan mereka, mereka gampang terlena karena simpati yang bersifat sementara itu.

Sekitar tujuh bulan lagi pesta itu akan dimulai. Sekarangpun perlengkapan pestanya sudah mulai dipasang. Jalanan sudah mulai ramai oleh spanduk dan baliho dari mereka yang sebelumnya tidak terdengar suaranya tiba-tiba seperti muncul dari kubur dan menebar senyum serta janji manis.

Masa tujuh bulan itu singkat, sangat singkat malah jika warga kota memang berniat untuk mencari tahu kelebihan para calon walikota itu. Warga kota hanya punya dua pilihan, menjadi ?subjek atau cuma menjadi objek. Jika ingin menjadi subjek warga harus cerdas memilih, jika hanya ingin menjadi objek maka mereka boleh acuh pada proses yang terjadi dan membiarkan anak cucunya menikmati kesalahan mereka dalam memilih pemimpin.

Saya hanya mau menitip satu pesan: hati-hati memilih walikota!

[dG]