Evolusi Lae-Lae Dalam Dinamika Kota Makassar

Pulau Lae-Lae dari udara (foto: ramabizkid)
Pulau Lae-Lae dari udara (foto: ramabizkid)

Pulau Lae-Lae, dekat dari Makassar tapi kadang terlupakan. Nyaris tak tertengok.

“Sembarang ji namakan itu kambinga, biar dos.” Kata seorang Ibu.

Dia seperti mendengar pertanyaan yang saya lemparkan ke Lelaki Bugis saat kami sama-sama mengitari pulau Lae-Lae. Saya memang sempat bertanya-tanya, kambing di pulau ini makan apa ya? Nyaris tak ada padang rumput sama sekali, pepohonan pun sangat jarang, kecuali belasan batang pohon kelapa yang berdiri tegak di sisi utara pulau.

Ketiadaan dedaunan dan rumput rupanya membuat kambing di pulau Lae-Lae itu berevolusi. Mereka memakan apa saja, dari kardus sampai sisa makanan. “Kadang-kadang ada juga kambing yang makan pakaian yang dijemur.” Kata seorang ibu lainnya, sesama warga pulau Lae-Lae.

Evolusi. Kata itu menjadi sangat penting bagi kambing-kambing yang hidup di pulau Lae-Lae. Untuk bertahan hidup mereka harus melupakan kebiasaan spesies mereka yang sebenarnya hidup dari tanaman, dari dedaunan dan mahluk hidup berklorofil.

Lae-lae pun seperti itu. Pulau yang tampak dari pesisir kota Makassar itu adalah pulau yang terus berevolusi, tertatih mengikuti perubahan jaman. Pulau ini berjarak sekira 1.5 Km dari pesisir Makassar. Dengan kapal kayu bermotor dari dermaga Kayu Bangkoa, hanya butuh sekira 10-15 menit untuk sampai di pulau seluas kurang lebih 6.5 Ha ini. Di atas lahan itu hidup 400 kepala keluarga yang terbagi dalam 3 Rukun Warga (RW) dan 10 Rukun Tetangga (RT).

Pulau ini masuk dalam wilaya administasi Kelurahan Lae-Lae, Kecamatan Ujung Pandang, Makassar. Sebuah kantor lurah berdiri di sebelah utara pulau, tak jauh dari pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) pembantu dan mesin pembangkit listrik milik PLN yang jadi sumber listrik pulau Lae-Lae.

“Pak lurah jarang ke sini.” Kata ibu Puji, seorang warga yang kami temani mengobrol. “Susah karena pak lurah tinggal di sebelah (kota Makassar), bukan tinggal di sini.” Sambungnya lagi. Untuk urusan administrasi dengan sangat terpaksa warga yang harus menyeberang ke daratan, ke kantor camat. Itu artinya warga harus mengeluarkan biaya untuk menyeberang dan menumpang angkutan umum. Sekali menyeberang warga harus mengeluarkan biaya Rp.10.000,-. Belum termasuk ongkos untuk angkutan umum ke kantor kecamatan.

Sebagian warga memang punya perahu sendiri. Sebagian dipakai untuk mencari ikan, sebagian lagi dipakai untuk menjajakan jasa penyeberangan di dermaga Kayu Bangkoa. Rerata supir kapal penyeberangan di Kayu Bangkoa adalah warga pulau Lae-Lae. Mereka menawarkan jasa menyeberangkan orang, utamanya para wisatawan ke pulau-pulau yang sudah jadi tujuan wisata seperti Samalona dan Kodingareng Keke.

“Biasanya hari Minggu pi atau Sabtu baru banyak penumpang.” Kata Daeng Tayang, pria 30an tahun warga pulau Lae-Lae.

Pria berbadan tambun itu sehari-harinya memang mencari nafkah dengan menyewakan jasanya menyeberangkan penumpang dari Kayu Bangkoa. Hari Minggu itu saya menemuinya di sisi utara pulau Lae-Lae. Kapalnya sedang dicat sehingga dia tidak bekerja seperti biasanya. Dia menunjukkan tangannya yang di beberapa bagian terkena cat berwarna biru langit.

Saya ingat, dulu bersama keluarga saya cukup sering datang ke pulau Lae-Lae untuk berwisata. Kebetulan ada keluarga jauh kami yang juga bermukim di sana. Dekade 1980an dan 1990an Lae-Lae memang cukup terkenal sebagai tujuan wisata, sebelum akhirnya namanya tenggelam oleh pulau-pulau lain seperti Samalona dan Kodingareng Keke.

*****

Perahu nelayan
Sebagian perahu nelayan yang terparkir di Lae-Lae

Sejarah pulau Lae-Lae masih simpang siur. Dari penuturan daeng Ngempo, seorang warga lainnya, Lae-Lae sudah ada sejak tahun 1960an. “Bapak saya, Daeng Rangka datang ke sini tahun 1963. Baru ada tiga orang yang tinggal di sini.” Katanya.

Lain daeng Ngempo, lain juga ibu Puji. Wanita berbadan subur yang mengaku lahir tahun 1963 tapi tak terlalu yakin ini bercerita kalau pulau Lae-Lae sudah dihuni sejak tahun 1940an. “Kakek-nenek saya termasuk yang pertama datang. Saya sendiri lahir di sini.” Ujarnya. Kalau menghitung dari kelahirannya yang konon lahir di tahun 1963, maka penjelasan kalau kakek-neneknya datang di tahun 1940an sepertinya masuk akal.

Bukti lainnya adalah sumur tua yang jadi sumber air utama penduduk pulau. Dari penuturan ibu Puji yang mendapatkan cerita dari kakeknya, sumur itu dibangun oleh orang Belanda. Setidaknya itu membuktikan cerita kalau pulau Lae-Lae sudah dihuni sejak tahun 1940an. Bukti lainnya, di pulau itu ada bunker peninggalan tentara Jepang di masa perang dunia kedua.

Nama Lae-Lae pun masih jadi tanda tanya. Ada dua cerita, tapi keduanya melibatkan seorang warga keturunan Tionghoa bernama Bo’loso daeng Mattawang. Konon Bo’loso daeng Mattawang yang tidak diketahui pasti asal-usulnya terdampar di pulau Lae-Lae. Ketika ditolong warga dan sebelum menjemput ajal keluar kalimat dari mulutnya: lae..lae. Tidak ada yang tahu pasti apa maksud kalimat itu, tapi akhirnya kalimat itulah yang dijadikan sebagai nama pulau yang sebelumnya tak bernama.

Versi lainnya menyatakan, ketika Bo’loso daeng Mattawang terdampar dan menjelang menjemput ajal, di pangkuan orang yang menolongnya dia menyebut kalimat tauhid, La ilaha illallah. Karena kondisi yang payah, kalimat yang keluar hanya: lae..lae. Entah versi mana yang benar.

“Dulu sepupuku punya catatan sejarahnya ini pulau, sampai dia tulis. Tapi pernah ada orang Jepang yang datang, sepupuku kasih ki itu catatan. Sampai sekarang ndak dikembalikan, ndak tau ke mana mi itu orang Jepang.” Kata ibu Puji dengan nada sesal ketika kami tanya tentang sejarah pasti pulau Lae-Lae.

Dari ibu Puji pula kami mendengar cerita tentang rencana pemerintah kota Makassar di tahun 1990an yang hendak mengosongkan pulau itu. Adalah walikota Malik B Masry yang berinisiatif bekerjasama dengan investor yang hendak mengubah pulau Lae-Lae menjadi lokasi tempat hiburan. Sebuah hotel berbintang dan tempat perjudian rencananya akan dibangun di atas pulau itu. Semua warga dipindahkan ke sebuah desa yang diberi nama Desa Nelayan, terletak di pesisir kota Makassar sebelah utara.

Ibu Puji yang banyak bercerita kepada kami
Ibu Puji yang banyak bercerita kepada kami

Warga menolak, mereka tak rela dipindahkan begitu saja. Penolakan mereka mendapat bantuan dari lembaga bantuan hukum dan mahasiswa beberapa perguruan tinggi yang bertekad mendampingi warga Lae-Lae untuk bertahan.

“Mereka itu yang tidak pernah lelah membantu kami. Mereka bikin tenda di sini, mereka juga yang menemani kami demo di kantor DPRD dan kantor walikota.” Kata ibu Puji sambil menunjuk sebuah tanah lapang tempat para mahasiswa dulu membangun tenda.

Proses alih fungsi pulau Lae-Lae memang tidak berjalan mulus. Pemerintah kota lewat lurah dan camat berusaha membujuk bahkan menakut-nakuti warga untuk segera pindah ke tempat baru yang dipersiapkan bagi mereka. Beberapa warga termakan rayuan dan ancaman. Menurut ibu Puji, 90 orang warga Lae-Lae akhirnya pindah ke Desa Nelayan, menuruti ajakan pihak pemerintah.

Rencana relokasi itu akhirnya terhenti di tengah jalan ketika di tahun 1998 orde baru tumbang, arah politik Indonesia berubah total. Warga jadi makin punya kekuatan besar untuk menolak rencana pemerintah kota, sampai akhirnya rencana itu lenyap tak berbekas menyusul turunnya Malik B Masry di tahun 1999.

Lalu bagaimana nasib kesembilan puluh orang yang sudah terlanjur pindah ke Desa Nelayan itu? Tak satupun dari mereka yang kembali lagi. Rumah bekas peninggalan mereka sudah diisi oleh warga yang lain. Selain karena sudah nyaman di tempat barunya, mereka juga rupanya ditolak oleh warga yang bertahan.

“Enak saja, waktu kita dulu berjuang mereka malah lari. Setelah aman, mereka mau kembali lagi?” kata daeng Tayang dengan ketus. Perbedaan pendapat menyikapi konflik di masa silam ternyata jadi alasan untuk memaksa mereka tercerabut dari akarnya.

Baik daeng Tayang maupun ibu Puji masih mengingat dengan jelas suasana mencekam nyaris 20 tahun lalu itu. Setiap malam mereka dihantui adegan penggusuran dengan alat berat. Desas-desus tentang rencana penggusuran tengah malam membuat warga bergantian berjaga-jaga nyaris 24 jam. Saya bisa membayangkan betapa mencekamnya suasana saat itu, antara ancaman dan ketidakpastian. Antara kuasa dan perlawanan.

*****

“Ndak tahu mi nanti bagaimana. Kalau memang harus pindah, ya apa boleh buat.” Kata ibu Puji ketika kami tanya tentang masa depan pulau Lae-Lae menyusul rencana pembangunan Center Point of Indonesia (CPI) yang hanya berjarak sekira 800 meter dari Lae-Lae.

Ibu Puji yakin, reklamasi pesisir Pantai Losari itu kelak pasti akan berdampak buruk secara lingkungan buat penghuni pulau Lae-Lae. Dalam ingatannya masih jelas kondisi pulau yang dulu lebih luas dengan hamparan pasir yang menjorok ke arah kota Makassar. Dari ujung pasir katanya dia dan orang di daratan hanya perlu berteriak untuk saling berkomunikasi. Saya membayangkan betapa dekatnya dulu pulau Lae-Lae dengan kota Makassar.

Akankah reklamasi itu menggusur Lae-Lae?
Akankah reklamasi itu menggusur Lae-Lae?

Tapi itu dulu, pulau Lae-Lae perlahan mulai tergerus. Pesisirnya menyempit dan makin menyempit, berevolusi menjadi pulau yang terasa sangat padat. Rumah-rumah berdempetan satu sama lain, tidak lagi menyisakan ruang antar rumah, nyaris tidak ada lagi rumah yang punya halaman. Ancaman reklamasi Pantai Losari dengan rencana pembangunan CPI yang berisi area komersil, apartemen dan ruang terbuka hijau itu seperti ancaman di depan hidung warga pulau Lae-Lae. Mereka sadar, suatu hari nanti mereka mungkin saja harus pindah ketika rencana reklamasi itu makin mendekati pulau mereka.

“Kalau pak Danny (Danny Pomanto-walikota Makassar sekarang) sudah janji, selama dia masih jadi walikota pulau Lae-Lae tidak akan digusur.” Kata ibu Puji.  Ibu Puji juga mengaku jadi koordinator kelurahan tim kampanye Danny Pomanto di masa pemilihan walikota yang lalu. Janji itu setidaknya membuat dia tenang, kalau Danny Pomanto bisa menjabat selama dua periode berarti selama setidaknya 10 tahun pulau Lae-Lae akan aman dari penggusuran.

“Sebenarnya kami sudah capek, sudah pernah melalui masa-masa itu.” Kata ibu Puji yang diiyakan seorang ibu warga lainnya. “Lagipula kami dijanjikan lapangan kerja. Kalau CPI sudah jadi, orang Lae-Lae bisa berjualan di sana. Tapi tentu saja harus diatur, biar tidak kumuh.” Sambungnya lagi.

“Tapi kalau memang harus pindah, biar tidak disuruh kita pasti pindah.” Kata ibu Puji dengan nada sendu.

Janji manis penguasa. Sesuatu yang sepertinya sudah sangat akrab di kuping warga biasa, tidak terkecuali warga pulau Lae-Lae. Jaraknya yang tak begitu jauh dari kota Makassar sudah membuat mereka kadang seperti terlupakan. Tidak banyak program pemerintah kota yang menjangkau Lae-Lae, bahkan petugas kelurahan pun hanya datang ketika ada acara. Petugas kesehatan juga tidak setiap hari mengisi puskesmas pembantu. Dari cerita warga ada seorang ibu yang terpaksa melahirkan di perahu karena tidak adanya petugas pelayanan kesehatan di pulau itu. Tida adanya petugas kesehatan di pulau membuat si ibu terpaksa dibawa ke daratan, tapi belum sempat mendarat, si ibu sudah keburu melahirkan. Lae-Lae dekat, tapi seperti terlupakan.

Mungkin tak banyak juga yang tahu kalau pulau itu berevolusi. Dari pulau yang lebar menjadi semakin sempit dan padat. Dari pulau yang pernah jadi tujuan wisata di tahun 1980-an sampai 1990an menjadi pulau yang tak lagi terlalu menarik. Lae-Lae berevolusi, seperti puluhan ekor kambing yang hidup di pulau itu, kambing yang tak lagi hanya hidup dari rumput, tapi dari apa saja yang bisa mereka makan.

“Kambing di pulau ini mau dimusnahkan. Sudah mulai menyusahkan.” Kata ibu Puji.

Akankah kehidupan yang ada sekarang di pulau Lae-Lae juga akhirnya akan “dimusnahkan”? Entahlah. [dG]