Buat Kawanku, Seorang Caleg

Kawanku seorang caleg
Kawanku seorang caleg

Selamat pagi kawan! Semoga tidurmu nyenyak malam tadi. Saya tahu kamu pasti lelah dan nyaris kehabisan energi setelah sibuk berjalan ke mana-mana menemui para konstituenmu. Sayapun tahu, kamu pasti sibuk menghabiskan jam-jam yang panjang di malam hari untuk berdiskusi dengan mereka para tim suksesmu. Sayapun tahu pundi-pundi rupiahmu mungkin makin menipis karena sedikit demi sedikit kau kuras untuk para pendukung dan konstituenmu. Tapi mungkin saya tidak tahu kalau ada orang yang setia menambah jumlah tabungan di rekeningmu, mereka yang kau anggap sebagai pendukung setia. Entahlah, kamu tidak pernah bercerita tentang itu.

Tanpa sengaja saya melihat fotomu di sebatang pohon kurus yang belum kokoh. Kau terlihat tampan dengan rambut klimis dan senyum tertahan. Di atas kepalamu ada deretan huruf yang membentuk kalimat penyemangat, entah siapa yang memilihnya untukmu. Tapi maaf, tulisan itu membuat saya menyeringai alih-alih menjadi bersemangat. Kawan, fotomu di pohon itu membuatku sedih. Bukan karena wajahmu yang tak terlalu terlihat bersemangat, tapi karena kelakuanmu kawan.

Tahukah kamu pohon itu juga punya kehidupan seperti kita? Dia bisa bernafas, bisa tumbuh, bisa bercinta. Sama seperti kita. Hanya saja pohon itu tidak bisa berjalan, tidak bisa bercerita dan tidak bisa berteriak seperti kita. Tapi dia tetap makhluk hidup, tetap ciptaan Tuhan. Pernah membayangkan tubuhmu ditembus paku kawan? Perih bukan? Saya yakin kamu pasti akan berteriak kesakitan, bila perlu kamu pasti akan memukul dengan penuh amarah pada mereka yang menancapkan paku di tubuhmu. Sayang, pohon itu meski kesakitan tidak bisa memukul kita yang menancapkan paku di tubuhnya. Merekapun tidak bisa berteriak kesakitan, tidak seperti kita saat tertusuk paku.

Ah maaf saya bertanya seperti itu, karena kamu pasti lebih tahu dari saya. Sayapun yakin kalau kamu pasti tahu ada peraturan pemerintah yang melarang siapapun memasang iklan, baliho atau apapun namanya di badan pohon di kota ini. Kamu calon wakil rakyat, kamu pasti paham itu.

Suatu hari saya pernah juga menemukan fotomu di persimpangan jalan. Ukurannya besar, serupa ukuran raksasa. Di kepalaku kau berubah jadi raksasa bertubuh besar yang menakutkan, bukan lagi kawanku yang bisa melewati jam bersama di kedai kopi. Maafkan saya kawan, tapi fotomu dan foto kawan-kawanmu yang lain sesama calon wakil rakyat rasanya malah membuat saya ketakutan. Takut pada nafsu megalomaniak kalian yang seperti memakan semua kesenangan kami warga kota. Kalian saling bertumpuk di persimpangan jalan, mencoba tersenyum tapi malah terlihat canggung. Ada waktu di mana saya tiba-tiba merasa mual ketika harus melewati persimpangan jalan.

Sayapun yakin, kamu pasti tahu aturan dari Panwaslu, aturan yang melarang para calon legistatif atau partai politik berkampanye sebelum waktunya. Tapi kamu juga pasti punya pembenaran, kamu bisa saja bilang: tuh, yang lain juga begitu. Masak saya tidak? Tapi, kalau benar kamu menjawab seperti itu maka benar-benar hancur hatiku kawan. Ternyata kamu tidak lebih baik dari mereka yang mencuri kebahagiana kami warga kota, merampok ruang bebas kami tanpa membayar pajak dan bahkan melanggar aturan. Terus, apa bedanya kalian dengan para koruptor yang sering kami caci?

Seorang kawan di laman facebook maklum pada cara kalian mengkampanyekan diri. Kata kawanku, itu adalah usaha kalian mencari nafkah buat anak istri. Terus terang, saya tidak setuju dengan kawanku di facebook itu. Kalau menjadi wakil rakyat dijadikan profesi seperti orang melamar pekerjaan di kantor-kantor, maka betapa sialnya kami yang menggantungkan nasib kami pada orang-orang yang di gedung perwakilan rakyat itu. Mereka ternyata tidak ada bedanya dengan kami, padahal kami kadang memanggil mereka sebagai Yang Mulia Wakil Rakyat.

Kawan, benarkah kamu mau menjadi wakil rakyat karena memang ingin memperkaya diri? Memberi sandang, pangan dan papan yang lebih layak buat anak istrimu? Ataukah kamu seperti kata-kata manis di balihomu: berjuang untuk rakyat? Jawab kawan! Jangan hanya tersenyum canggung seperti itu. Saya penasaran ingin tahu, apa tujuanmu ingin menjadi wakil rakyat? Demi uang dan nasib baik bagimu dan keluargamu atau memang ingin berjuang untuk kami yang disebut rakyat kecil ini?

Kawan, kamu pasti masih ingat bagaimana saya sudah lama kehilangan kepercayaan pada orang-orang di gedung perwakilan rakyat itu. Dan saya tidak sendirian kawan, banyak kawan-kawan saya yang lain yang juga sama-sama kehilangan kepercayaan. Salahkan para pendahulumu yang memakai label wakil rakyat tapi lebih sibuk mewakili diri, keluarga dan golongannya. Eh, tapi diri mereka, keluarga dan golongan mereka juga tergolong rakyat ya? Duh, berarti mereka tidak salah. Saya yang salah.

Sudahlah kawan, saya doakan yang terbaik untukmu meski kamu tahu saya pasti tidak akan memilihmu, pun tidak akan memilih kawan-kawanmu yang mencuri ruang bebas dan kenyamanan kami. Kamupun tahu saya tidak mungkin memilih kamu dan kawan-kawanmu yang tega memaku tubuh pohon dan menghiasinya dengan foto kalian dengan senyum yang canggung itu.

Semoga kamu memang bisa menjadi wakil buat kami rakyat kecil ini kawan, bukan wakil dari keluarga dan golongan partaimu saja. Tapi, kalau belum apa-apa kamu sudah berlaku kejam pada pohon bagaimana saya bisa percaya? Tolonglah, buat saya percaya kawan!

Salam manis, kawanmu yang masih jadi rakyat kecil [dG]