Beda Kota Beda Pemakai Jalannya
Ketika supir angkot yang saya tumpangi memaki pengendara mobil yang mogok di tengah jalan, saya langsung sadar kalau saya sudah tidak di Semarang dan Jogjakarta lagi.
Sebuah mobil sedan tiba-tiba berhenti di tengah jalan, sepertinya ada masalah dengan mesinnya. Supir mobil ELF yang saya tumpangi menggerutu kesal, sedan tua itu menghalangi jalannya. Detik berikutnya suara klakson memekakkan telinga, jadi tanda kalau si supir angkot benar-benar kesal.
Ketika sedan tua itu berjalan kembali dan supir angkot sudah berada di sampingnya, umpatan keluar dari mulut sang supir angkot. Dalam bahasa Jawa Timuran, umpatan itu mungkin terdengar kasar. Saya tidak begitu paham, tapi nada kesalnya cukuplah menandakan kalau umpatan itu tidak sopan.
Tiba-tiba saya jadi sadar kalau saya sudah tidak berada di Semarang dan Jogjakarta lagi. Dua kota yang selama 2 minggu lebih saya akrabi. Dua kota yang selalu membuat saya sedikit kagum pada tata krama para pengguna jalannya.
Entah sudah berapa kali saya menyambangi kedua kota itu, dan jalanannya selalu sukses membuat saya berpikir kalau penggunanya sebagian besar adalah orang-orang yang sabar. Meski kadang padat, tapi mereka selalu berhasil menahan nafsu untuk tidak membunyikan klakson. Ada yang mencuri jalan, tapi tidak banyak. Bahkan saya jarang menemukan pengendara motor yang sampai naik ke trotoar.
Daeng Nuntung, kawan yang baru pertama kali ke Jogja melemparkan twit yang berisi kekagumannya pada jalanan kota Jogja yang sepi dari suara klakson. Saya tahu dia membandingkannya dengan jalanan di kota kami, Makassar.
Di Makassar, suara klakson adalah suara yang sangat akrab. Nadanya sampai sudah dibedakan antara klakson bernada marah dengan klakson yang bernada sapaan. Mungkin saking seringnya. Tidak percaya? Coba perhatikan di perempatan atau pertigaan, tepatnya di sekitar lampu lalu lintas. Ketika lampu hijau menyala, maka dengan cepat pula suara klakson memenuhi udara. Pengendara yang ada di barisan belakang seperti memberi aba-aba pada kendaraan yang ada di depannya untuk segera maju. Bayangkan kalau beberapa kendaraan melakukan hal bersamaan. Riuh, kadang malah memekakkan telinga.
Di Jogja dan Semarang, kondisi seperti itu jarang kita temui. Ketika lampu lalu lintas berwarna hijau, semua pemakai jalan sabar menunggu sampai kendaraan di depannya mulai jalan. Ketika ada satu dua kendaraan yang membunyikan klakson (biasanya mobil) bisa dipastikan kalau itu kendaraan dari luar Jogja, biasanya malah mobil berplat B alias dari Jakarta.
Di Jogja dan Semarang juga kita bisa menemukan bagian jalan sebelah kiri yang kosong melompong ketika lampu merah menyala. Ruas jalan yang memang diperuntukkan untuk belok kiri langsung atau untuk yang jalan terus tidak akan diisi oleh pemakai jalan. Semua pemakai jalan dengan sopan dan sabarnya berdempetan di sebelah kanan dan membiarkan bagian kiri jalan benar-benar untuk pengendara yang akan belok kiri atau jalan terus.
Di Makassar, seorang kawan pernah terpancing emosinya karena sebuah angkot dengan tenangnya berhenti di lajur belok kiri langsung ketika lampu merah menyala. Itu bukan hal yang aneh, kami di Makassar sudah sangat terbiasa dengan kelakuan seperti itu.
Sebenarnya apa yang membuat perilaku pengguna jalan di dua kota yang saya cerita di atas terlihat begitu berbeda dengan kota yang saya diami? Entahlah, mungkin banyak faktor yang mempengaruhi. Sifat dasar, kebiasaan, pola hidup atau apa lagi?
Orang Jawa terkenal dengan filosofi alon-alon asal kelakon atau biar lambat asal selamat sementara orang Makassar terkenal ekspresif dan tidak bisa diajak pelan-pelan. Orang Makassar dan orang Jawa juga punya batasan yang berbeda kalau bicara soal halus-kasar. Apa yang menurut orang Jawa sudah kasar bisa jadi menurut kami orang Makassar masih tergolong halus. Mungkin ini juga yang terbawa hingga ke jalan raya.
Ketika tiba di Surabaya saya sudah mulai merasa berada di kota sendiri. Perilaku pengendaranya hampir sama dengan pengendara di Makassar. Mungkin ini karena sifat khas orang Surabaya yang hampir mirip dengan sifat khas orang Makassar. Atau mungkin ada sebab lain?
Beda kota memang beda sifat pengendaranya. Kata Oprah Winfrey, kalau mau tahu sifat penghuni sebuah kota maka lihatlah perilaku mereka di jalanan. Benar atau tidaknya mungkin masih bisa diperdebatkan. Bagaimana menurut anda?
[dG]
jadi ingat tahun 2011 waktu rame2 jalan2 di Jogja sama teman2 @paccarita. Kita sewa motor. waktu berhenti di lampu merah, salah seorang teman membawa kebiasaannya di Makassar dengan berhenti di lajur kiri yang seharusnya kosong 😀
yang ikut ke jogja waktu itu pasti ingat 😀
di Makassar, rambu petunjuk, peringatan dan larangan sepertinya dibuat asal2an warnanya. Rambu larangan itu harusnya merah, malah dibuat warna biru, seakan2 itu rambu petunjuk. Di jogja, larangan belok kiri langsung berwarna merah, belok kiri boleh terus itu warna biru (klo gk salah), jadi dari jauh bisa kelihatan klo itu larangan atau petunjuk. Nah di Makassar, belok kiri langsung/dilarang warnanya sama2 biru =))
Dan masih ingat juga, waktu jalanan cukup padat, salah satu motor rombongan ada yang tiba2 naik ke trotoar. #nyengir
bah, kalian ini!
hahahaha dasar!!!
Jadi lampu menyala hijau itu aba-aba untuk membunyikan klakson. :p
kira-kira begitulah..hahahaha
Sampai kapan di Surabaya?
mas bro,
saya orang Jogja yang tinggal di Makassar. Sering saya jengkel sama lalu lintas di kota ini, sepertinya tiada hari tanpa emosi di jalan.
Kadang saya berandai-andai kalau separuh saja warga Makassar pernah merasakan tinggal di Jogja seperti mas bro, merasakan lalu lintasnya yang indah, saya yakin tidak ada macet lagi di Makassar.