Antang dan Kenangan yang Menggenang

Antang
Antang dari Google Maps

Cerita tentang sebuah tempat di Makassar yang sangat saya akrabi selama puluhan tahun.

MUSIM HUJAN SEDANG BERTANDANG KE MAKASSAR, di saat yang sama saya sedang membaca sebuah buku yang berisi kenangan tentang Makassar. Tiba-tiba, satu kenangan mengalir dan menggenang di kepala. Kenangan tentang sebuah tempat yang sudah puluhan tahun saya akrabi, tempat yang dulu begitu mashur ketika musim hujan tiba. Mashur karena genangannya.

Tempat itu bernama Antang.

Secara administratif, Antang adalah salah satu kelurahan yang masuk dalam wilayah kecamatan Manggala, kota Makassar. Dulunya masuk ke dalam wilayah kecamatan Panakkukang sebelum dimekarkan menjadi satu kecamatan sendiri. Letaknya di timur laut pusat kota Makassar. Antang berbatasan langsung dengan beberapa kelurahan lain seperti Tello Baru, Borong, Bangkala dan Tamangapa. Jarak dari pusat kota Makassar (dengan asumsi Karebosi adalah pusat) sekira 9 km.

Topografi wilayah Antang lebih banyak datar dengan beberapa bagian yang berada di ketinggian, mungkin tidak lebih dari 10 mdpl. Namun, ada juga beberapa wilayah Antang yang lebih tinggi dari itu, berbukit-bukit dengan batu cadas yang mendominasi.

Saya dan keluarga pertama kali pindah ke wilayah ini tahun 1982. Ketika itu ada sebuah perusahaan pemotongan hewan yang berlokasi di Antang. Bukaka Meat namanya. Perusahaan ini milik pengusaha lokal yang namanya sekarang pasti sudah akrab di telinga Anda: Jusuf Kalla. Bukaka Meat adalah satu dari sekian anak perusahaan yang termasuk dalam Kalla Group. Waktu itu namanya masih N.V. Hadji Kalla, berkantor pusat di dekat Pasar Sentral Makassar.

Kami sekeluarga tinggal di sebuah komplek perumahan yang memang dibuat untuk para karyawan perusahaan tersebut. Hanya ada 12 rumah di perumahan itu, berderet menghadap ke selatan dan terbagi atas dua tipe. Enam rumah bertipe agak besar, mungkin setara rumah tipe 85. Berdiri terpisah antara satu rumah dengan rumah lainnya dengan tanah kosong yang terhampar di antaranya. Satu rumah terdiri dari tiga kamar yang cukup besar. Rumah-rumah ini diperuntukkan bagi karyawan setingkat kepala bagian ke atas.

Enam rumah lainnya berderet tanpa dipisah halaman samping. Rumah-rumah ini lebih kecil, mungkin setara tipe 36 untuk perumahan jaman sekarang. Satu rumah terdiri dari dua kamar dan satu kamar kecil yang sebenarnya diperuntukkan sebagai dapur.

Awal pindah, keluarga kami bermukim di rumah nomor dua di deretan rumah besar. Tapi dua tahun kemudian kami pindah ke deretan rumah yang lebih kecil. Posisi bapak memang belum jadi kepala bagian apalagi manager, maka ketika ada kepala bagian yang baru kami terpaksa pindah ke rumah yang lebih pas untuk posisi bapak.

Karena jumlah rumah yang cuma sedikit, keakraban antar penghuni jadi sangat terasa. Lengkap dengan segala drama-dramanya.

Baca Juga: Romantika Bertetangga

Di depan deretan rumah itu ada tanah lapang yang dipisahkan oleh jalan kecil berbatu. Satu tanah lapang yang di bagian barat lebih sering dibiarkan menganggur dan ditumbuhi ilalang, satu lagi yang berada di sebelah timur dimanfaatkan sebagai lapangan sepakbola. Ukurannya tidak sebesar lapangan sepakbola standar dan sebenarnya tanahnya juga tidak rata, agak miring ke timur. Tapi buat kami itu tidak masalah, yang penting ada tanah lapang tempat kami bisa bermain bola sesuka hati. Kadang bersama orang yang lebih tua, kadang bersama anak-anak seumuran kami. Sebagian besar adalah anak-anak dari kampung kecil di dekat perumahan itu karena di dalam perumahan sendiri tidak terlalu banyak anak kecil seumuran kami.

Di siang hari tanah lapang itu kadang dipenuhi ternak sapi atau kerbau. Kadang sapi milik perusahaan pemotongan hewan, kadang juga sapi dan kerbau milik warga kampung di dekat perumahan.

*****

EROKNA TONG ANTU NYAWANU AMMANTANG ANRINNI,” kata seorang keluarga ketika berkunjung ke rumah kami di malam hari. Dalam bahasa Makassar, kalimat itu kira-kira berarti: kenapa kalian sampai hati tinggal di tempat seperti ini?

Wajar kalau pertanyaan itu terlontar. Antang di tahun 80an adalah daerah yang menakutkan. Penerangan masih minim, perumahan kami saja listriknya disuplai dari listrik kantor yang dihidupkan dengan mesin genset besar. Listrik PLN belum menjangkau daerah kami. Jadi jangan heran kalau malam tiba maka seluruh daerah lebih banyak gelap gulita.

Perumahan kami terpisah sekitar 200 meter dari kampung terdekat yang berada di tepi jalan utama. Kampung itu bernama Pannara, dihuni oleh sebagian besar warga yang bisa dibilang adalah penduduk asli. Masuk sekira 200 meter ke arah timur barulah perumahan kami tampak. Setelah itu hanya ada rindang pepohonan sebelum bertemu lagi dengan kampung bernama Nipa-Nipa. Kampung ini berjarak sekira 200 meter lagi dari perumahan kami. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sepinya area perumahan kami.

Di jalan besar yang menghubungkan Antang dengan daerah luar ada komplek pemakaman Tionghoa yang luas, mungkin dua hektar lebih. Komplek pemakaman jadi satu-satunya yang tersisa di kota Makassar setelah komplek pemakaman di dekat pecinan dijadikan Pasar Sentral dan komplek pemakaman di Panaikang dijadikan kawasan kantor gubernur. Di waktu tertentu, komplek pemakaman Tionghoa di Antang menjadi tempat mereguk rejeki bagi warga sekitar. Mereka berlomba-lomba menjajakan jasa membersihkan kuburan, khususnya ketika masa Cum Beng atau musim ziarah kubur bagi warga Tionghoa.

Kompleks pemakaman Tionghoa ini menghadap ke barat, sekira 100 meter ke arah selatan ada pekuburan Kristen yang menghadap ke timur. Hampir berhadapan ada satu lagi komplek pekuburan yang bernama komplek pemakaman Lomo ri Antang. Konon di pekuburan inilah para tetua yang pertama membuka wilayah Antang dimakamkan.

Akhir tahun 80an tepat di seberang kantor Bukaka Meat dibangunlah sebuah perumahan bernama Bukit Antang Indah. Menyusul setelahnya perumahan Asrama Polisi yang berada tepat di belakang Bukit Antang Indah. Asrama Polisi ini diisi oleh penguni Asrama Polisi sebelumnya yang berada di Jalan Ratulangi Makassar. Sekarang wilayah itu sudah jadi Mall Ratu Indah. Katanya itu adalah tukar guling, Kalla Group membangun asrama polisi di wilayah Antang sementara tanah lamanya diambil untuk dijadikan mall.

Di belakang perumahan kami ada hamparan sawah luas milik warga dari kampung Pannara. Sawah itu bertemu dengan deretan pepohonan dan perkebunan rumput gajah milik perusahaan. Di tempat itulah semasa kecil bersama teman-teman saya sering mencari buah-buahan liar dan mangga yang banyak tumbuh. Di lain waktu kami juga sering bersantai di dangau yang pemiliknya kami kenal dengan baik.

Baca Juga: Menggali Kenangan Masa Kecil

Antang di awal tahun 80an ibarat daerah yang belum terjamah. Lebih banyak dipenuhi hutan dan semak belukar, bahkan konon jadi perlintasan komplotan pencuri dan perampok. Menyebut nama Antang saja sudah bisa membuat bulu kuduk beberapa orang merinding. Kalau malam tiba, jarang ada orang yang berani melintas apalagi hingga ke daerah Biring Romang atau Tamangapa yang berbatasan langsung dengan Antang. Begal dan perampok adalah dua sosok yang ditakuti.

Hutan di belakang perumahan kami konon adalah tempat tentara Belanda mengeksekusi para pejuang kemerdekaan Indonesia. Kabarnya jasad para korban eksekusi itu dikubur atau dibiarkan membusuk begitu saja di tanah. Mereka itulah yang kemudian berubah jadi hantu yang kadang suka iseng mengganggu manusia.

Bukan sekali dua kali saya mendengar cerita seram penghuni perumahan kami. Ada yang mengaku melihat sosok perempuan seperti Noni Belanda, ada yang mengaku melihat rombongan sapi tanpa kepala melintas di depan rumah, ada yang mengaku dibekap bayangan hitam ketika tidur, macam-macamlah ceritanya. Bahkan Ibu sendiri pernah mengaku melihat sesosok perempuan berbaju putih duduk santai di dahan pohon besar di belakang rumah kami.

Jadi, sepertinya tidak ada alasan untuk tidak takut mendatangi Antang di malam hari. Gangguan bisa datang dari sosok manusia maupun mahluk halus.

Wajar kalau kerabat kami sampai mempertanyakan pilihan kami untuk tinggal di Antang di awal tahun 80an.

*****

MENJELANG AKHIR TAHUN 80AN, sebuah perumahan besar milik Perumahan Nasional (Perumnas) dibangun di salah satu wilayah Antang. Perumnas Antang namanya. Jaraknya sekitar dua kilometer dari perumahan kami.

Pembangunan masif ini pelan-pelan mengubah wajah Antang. Manusia mulai berbondong-bondong meramaikan wilayah yang dulunya seperti menyeramkan itu. Di sisi lain, pembangunan itu juga memberi dampak untuk lingkungan. Antang mulai akrab dengan banjir di musim hujan. Jalanan utama yang menghubungkan Antang dengan dunia luar yang sekarang berada di depan Pasar Antang adalah langganan banjir. Di belakang pasar atau di sisi samping Perumnas Antang ada danau besar, namanya Balang Tonjong. Di musim hujan danau ini kerap meluapkan airnya hingga ke jalan.

Antang
Balang Tonjong di komplesk Perumnas Antang

Meski bertambah ramai, namun sentimen buruk terhadap Antang justru bertambah dengan kata banjir. Kalau dulu Antang kerap diasosiasikan sebagai daerah tak terjamah yang menyeramkan, maka di awal 90an Antang diakrabkan dengan kata banjir.

Di saat yang sama Antang semakin ramai. Satu per satu perumahan dibangun, Antang nampaknya mulai jadi pilihan pemukiman setelah daerah pusat kota Makassar semakin padat. Bahkan UNHAS pun mulai membangun kompleks perumahan dosennya di perbatasan antara Antang dan Biring Romang tepat di sisi Perumnas Antang.

Pembangunan massif perumahan itu mencapai puncaknya ketika di pertengahan tahun 90an Kalla Group lewat perusahaan propertinya membangun perumahan skala besar di Antang. Bukit Baruga namanya. Sebagai modal awal mereka membangun unit-unit rumah di lahan milik keluarga Jusuf Kalla, termasuk lahan yang keluarga kami tempati.

Di masa itu perusahaan pemotongan hewan Bukaka Meat tempat bapak bekerja memang sudah tidak beroperasi lagi. Semua aset lahannya dari kantor, perumahan hingga kebun dan hutan tempat menggembala sapi diambil alih perusahaan properti Baruga Asrinusa Development. Selnjutnya semua aset itu diubah menjadi kantor dan perumahan elit. Tidak ada pilihan lain, kami sekeluarga pindah setahun sebelum proses pembangunan itu dimulai.

Setahun setelah pindah dari Antang, saya ternyata kembali lagi ke sana. Kali ini bukan sebagai penghuni, tapi sebagai salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan properti itu. Saya akhirnya jadi saksi mata yang melihat sendiri perubahan wilayah tempat saya besar itu.

Rumah-rumah karyawan tempat keluarga kami dan keluarga karyawan lain tinggal mulai dirubuhkan. Tanahnya ditimbun, begitu juga dengan tanah lapang tempat kami biasa bermain bola, semua ditimbun tanah. Sawah-sawah yang membentang pun nasibnya sama, ditimbun hingga tak berbekas sama sekali. Sebagian besar pohon yang tumbuh rimbun juga tinggal menunggu waktu sebelum akhirnya hilang tak berbekas, tersisa beberapa pohon besar yang sampai sekarang masih berdiri tegak.

Wilayah Antang bertransformasi dari wilayah yang dulunya menyeramkan dan penuh dengan pepohonan menjadi wilayah yang ramai oleh perumahan. Bukit Baruga hadir menjelang akhir tahun 90an, menawarkan konsep yang asing waktu itu. Rumah tanpa pagar yang asri karena menjaga lingkungan dan dibangun di kawasan yang berkontur serupa bukit.

Di awal-awal pembangunannya, imaji buruk tentang Antang masih sering terlintas. Orang-orang masih terngiang bagaimana menyeramkannya wilayah Antang dulu, lengkap dengan kemungkinan banjirnya di musim hujan. Mau tidak mau imaji ini lumayan menantang bagi para sales perumahan Bukit Baruga di awal pemasarannya.

Tapi seriring berjalannya waktu, imaji itu akhirnya lenyap juga.

Sekarang, Antang sudah tidak semenyeramkan dulu lagi. Antang sudah berubah jadi kawasan yang ramai, bukan hanya oleh perumahan tapi juga beragam geliat ekonomi. Ruko-ruko dan pusat perbelanjaan bermunculan, bersisian di tepi jalan besar yang membelah wilayah Antang. Banjir di depan Perumnas Antang juga sudah tidak pernah terdengar lagi setelah pemerintah kota memperbaiki drainase dan meninggikan jalan.

Susah payah saya berusaha mengenali tempat-tempat yang semasa kecil biasa saya sambangi. Tidak ada lagi hutan tempat saya dan teman-teman mencari lobe-lobe dan mangga, berubah jadi hutan semen dan bata berbentuk rumah. Tidak ada lagi tanah lapang tempat saya dan kawan-kawan menendang bola, berganti dengan deretan ruko yang selalu ramai. Udara dingin di pagi hari yang biasa memaksa kami menggigil, sekarang sudah berganti dengan suara kendaraan dan klakson.

Antang jaman sekarang adalah daerah yang justru akrab dengan macet, utamanya di jam pergi dan pulang kantor. Kuburan China yang dulu tanah lapangnya juga disulap menjadi lapangan sepakbola sekarang sudah tertutupi oleh deretan ruko. Nyaris tidak bisa dikenali lagi kecuali bahwa di depan jalan masuknya ada plang besi dengan deretan huruf kanji berbahasa Mandarin.

Antang sekarang sudah sangat berubah, tapi genangan kenangannya terus ada di kepala saya. Di sinilah saya menghabiskan puluhan tahun hidup saya. Bergaul dengan teman-teman, bergaul dengan alam. Hingga semua hilang digerus modernisasi yang tak tertahankan. [dG]