Alasan Saya Tidak Betah Di Jakarta

Satu sisi Jakarta
Satu sisi Jakarta

Jakarta begitu menarik bagi jutaan orang Indonesia. Mereka rela meninggalkan kampung halaman, bergulat dengan jalanan Jakarta, mencari tantangan baru dan tentu saja kehidupan yang lebih baik. Tapi saya tidak bisa, saya tidak betah.

MALAM BARU SAJA TURUN, matahari baru saja pulang beberapa menit yang lalu. Sinarnya tergantikan lampu-lampu yang menerangi sekujur kota. Saya berdiri berhimpitan di atas Kopaja P20 jurusan Lebak Bulus-Senen. Udara terasa gerah, beragam aroma memenuhi bagian dalam Kopaja dan mampir di hidung.

Saya melirik jam tangan, 5 menit berlalu dan Kopaja ini masih asyik berdiam di tepian jalan HR. Rasuna Said, tepat di depan sebuah halte. Seorang pria muda yang bertugas sebagai kernet sesekali berteriak kencang ke arah kerumunan orang yang mendekat ke halte.

“Senen! Senen! Senen!” Teriaknya.

Saya menyapukan pandangan ke seisi Kopaja. Semua kursi sudah penuh terisi, bahkan hampir semua bagian Kopaja sudah terisi. Mereka yang tidak kebagian kursi berdiri dengan tabah, berhimpitan seperti pakaian yang dijejalkan begitu saja dalam lemari. Saya salah satunya. Seorang pria dengan ransel di punggungnya melompat ke atas Kopaja, dengan susah payah menerobos ke bagian dalam, mencari ruang yang masih kosong meski itu benar-benar hanya muat untuk satu tubuh saja. Saya semakin terdesak, tubuh doyong ke kanan. Sekuat tenaga saya mencengkeram pegangan tangan yang menempel di langit-langit, sekadar menjaga keseimbangan.

Tak lama Kopaja mulai berjalan pelan dengan suara yang berat. Baru saja Kopaja berwarna hijau putih itu berjalan ketika tiba-tiba sang supir menginjak rem. Semua penumpang yang berdiri sontak doyong ke depan. Mungkin ada kendaraan yang berhenti tiba-tiba atau memotong jalan dan membuat supir harus mengerem mendadak.

Saya coba mengamati satu persatu wajah penumpang yang didesakkan ke atas Kopaja. Wajah mereka rata-rata kelelahan, sebagian membenamkan diri dalam alunan musik yang diantarkan headset ke kuping mereka. Sebagian asyik menatap layar gawai mereka, satu tangan menggantung ke pegangan tangan, satunya memegang gawai. Beberapa orang nampak memejamkan mata, mungkin mencoba untuk tidur.

Kopaja hanya berjalan beberapa meter sebelum berhenti karena macet. Saya mencoba mengintip lewat jendela yang posisinya lebih rendah dari kepala saya. Mencoba menebak-nebak ada di mana saya sekarang. Speaker yang berada sekira 3 jengkal dari kepala saya mengumandangkan lagu dangdut dengan suara bass yang berlebihan. Ketika tegak, rambut saya menyentuh langit-langit Kopaja.

Macet, gerah dan lalu lintas yang ribut. Dalam hati saya sibuk menenangkan diri sendiri yang mulai tersulut emosi. Saya melemparkan pandangan ke sekeliling, penumpang yang lain terlihat lelah tapi raut wajah mereka datar seakan suasana petang menjelang malam itu adalah hal yang biasa. Saya menghela nafas, batas kesabaran saya sudah dekat.

*****

JAKARTA. Kota ini adalah kota yang sangat berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia, daerah khusus dengan segala fasilitas yang tidak ditemukan di kota-kota lain di negeri ini. Jakarta adalah besi berani yang tak henti menarik jutaan orang untuk datang dan menambang berkah. Jakarta dengan perputaran uangnya yang begitu cepat membuat orang-orang dari sekujur Indonesia memimpikan bisa hidup di sana, seperti jutaan orang lain yang sudah lebih dulu mencicipi manisnya Jakarta.

Tak ada kota lain di Indonesia yang punya kekuatan sebesar Jakarta. Hisapannya luar biasa, tawarannya manis tak terperi. Tak ada kota yang bisa menantang intelektualitas dan ketahanan hidup orang Indonesia seperti Jakarta. Jakarta seperti sebuah lampu raksasa yang menarik jutaan laron untuk beterbangan di sekitarnya.

Sebagai ibukota negara, Jakarta memang punya semuanya. Dia bisa berteriak pongah dengan kallimat PALUGADA, Apa Lu Mau, Gua Ada! Tak heran kalau setiap tahun ribuan orang nekat meninggalkan kampung halaman dan mengadu nasib di daerah yang dipimpin Ahok itu. Tidak peduli mereka punya kemampuan atau tidak, yang penting niat. Karena Jakarta memang memberikan semuanya.

Saya pernah hidup di Jakarta selama hampir setahun. Sebenarnya bukan Jakarta, lebih tepatnya Jakarta coret karena sebenarnya saya tinggal di Kabupaten Bogor. Tapi tetap saja, aroma Jakarta bisa saya hirup setiap pagi. Pertama datang saya sudah geger budaya karena harus bangun jam 3 subuh, mandi dan mengejar angkot sebelum matahari sepenuhnya membuka mata.

Sial! Kata saya waktu itu. Di Makassar saya masih bisa menikmati kopi dan berbatang-batang rokok sebelum mengukur jalan 30 menit sebelum jam 8. Tanpa takut macet, tanpa takut terlambat tiba di kantor. Tapi Jakarta berbeda. Setiap menit sungguh berarti, kalau tak mau terjebak macet berangkatlah sepagi mungkin dan pulanglah semalam mungkin.

Ketika tugas belajar selesai, saya senang bisa kembali ke kehidupan saya yang berjalan pelan. Setelahnya tidak pernah terpikir untuk hidup di Jakarta, meski dalam beberapa tahun ini saya sering mendapat tawaran. Jakarta hanya menarik untuk dikunjungi ketika berlibur, tapi tidak ketika ingin hidup dan bekerja dengan jam kerja yang ketat.

Tidak, saya tidak betah hidup di Jakarta.

Saya terlahir dengan sifat santai yang membuat saya menikmati menit demi menit dengan perlahan. Jakarta tidak cocok untuk saya, atau saya yang tidak cocok untuk Jakarta. Saya tidak bisa membayangkan setiap pagi dan malam harus bergumul dengan kepadatan lalu lintas yang seperti itu. Membuang waktu di jalan sama banyaknya dengan waktu yang saya buang bersama kawan-kawan di warung kopi.

Saya menaruh hormat dan kekaguman luar biasa pada mereka para pekerja pendatang yang betah hidup di Jakarta dengan kepadatan dan kemacetan seperti itu. Mereka buat saya adalah orang-orang luar biasa, yang punya tekad sekuat adamantium. Saya tidak bisa seperti itu.

Dan karenanya, saya tidak pernah betah di Jakarta. Tidak pernah berpikir bisa hidup dan bekerja di Jakarta. Setidaknya sampai detik ini. [dG]