Waktu di Media Sosial

Statiski Waktu di Meda Sosial
Statiski Waktu di Meda Sosial

Berapa jam Anda habiskan dalam sehari untuk terhubung dengan internet? Bagaimana jika suatu hari nanti internet terputus dan Anda tidak bisa lagi menikmatinya?

Setiap bangun tidur benda pertama yang saya cari adalah smartphone. Iya, saya tidak bohong. Saya sama saja seperti ribuan atau mungkin malah jutaan orang yang menjadikan smartphone atau handphone sebagai benda pertama yang selalu dicari sedetik setelah mata terbuka. Setelah smartphone berhasil diraih (biasanya posisinya tidak jauh dari kepala) maka Twitter adalah tujuan pertama, sekadar ingin tahun apa yang sedang diperbincangkan orang di lini kala. Aktifitas itu biasanya hanya saya lakukan beberapa menit, hanya sekadar melihat-lihat dan tidak menimpali atau melempar twit pertama. Saya sudah bukan ?good morning? person lagi, tentu karena saya selalu bangun jauh setelah kata pagi terlewat.

Setelah bersih-bersih tubuh dan rumah biasanya saya akan menyempatkan waktu menyesap kopi dan sarapan (yang jatuhnya sekisar waktu makan siang) sambil melekatkan mata pada layar smartphone. Pertama kali tentu saja menyapa seseorang nun jauh di sana, selepas itu kembali Twitter menjadi pilihan teman sarapan sambil sesekali mengecek Path, kemudian membuka Facebook dan kalau tidak lupa mengecek email.

Kalau tidak ada topik yang menarik atau tidak ada sesuatu di kepala yang harus dikeluarkan maka saya akan lanjut dengan kegiatan lainnya, menyalakan komputer. Terhubung dengan internet tentu jadi tujuan utama, kadang pula jadi semacam pendamping ketika mengerjakan sesuatu. Iya, saya mungkin memang sudah termasuk orang yang kecanduan internet sehingga apapun yang saya kerjakan internet selalu jadi teman. Kadang saya menggunakannya sebagai stimulator untuk sel-sel biru di dalam otak, kadang juga hanya sebagai selingan ketika bekerja.

Kalau misalnya tidak ada pekerjaan yang terlalu serius maka di depan PC tentu saja saya akan fokus dengan menulis artikel buat blog sambil sesekali mengecek laman Facebook dan laman lainnya yang berguna menambah referensi dalam menulis. Aktifitas twitting atau berkicau di Twitter hanya saya lakukan setelah semua pekerjaan selesai. Sekisar setahun belakangan ini Twitter memang tidak terlalu menarik lagi, sayapun tak lagi secerewet dulu karena lebih banyak mengamati saja apa yang terjadi di lini kala.

Seandainya Internet Mati

Saya tidak pernah mengukur berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk daring dalam sehari tapi saya yakin memang lebih dari 50% total waktu dalam sehari. Daring yang saya maksud ini adalah daring melalui perangkat komputer (PC maupun laptop) serta melalui perangkat smartphone. Benar kalau internet memang sudah jadi sedemikian besar buat saya. Sekali waktu saya pernah mencoba menghindarkan diri dari internet selama dua hari penuh, memang saya berhasil tapi tetap saja ada yang kurang.

Waktu yang Dihabiskan di Media Sosial
Waktu yang Dihabiskan di Media Sosial

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh VisualEconomis.com dan dirilis 29 Maret 2012 lalu mengatakan kalau rata-rata orang di dunia menghabiskan waktu 60 jam seminggu untuk terhubung dengan internet. Penelitian ini hanya didasarkan pada sambungan melalui perangkat komputer dan laptop karena bila smartphone juga dimasukkan maka tentu saja nilai rata-ratanya akan meningkat. Coba lihat perilaku warga dunia jaman sekarang, di saat senggang bahkan di saat berkumpul dengan teman-teman atau keluargapun smartphone atau handphone masih tetap di genggaman dan dilirik nyaris setiap saat.

Fenomena ini ada untung ruginya tentu saja. Untungnya karena bisa membantu kita menadah dan menerima informasi lebih cepat, pun bisa menambah wawasan bila kita tahu dan cerdas memilah dan memilih informasi itu. Ruginya karena kebiasaan baru ini malah membuat kita menjauh dari kehidupan sosial yang sebenarnya. Berkumpul di dunia nyata tapi malah asyik di dunia maya. Kerugian lain buat saya adalah berkurangnya waktu menekuni hobi lama membaca buku dan mencorat-coret di kertas.

Saya pernah membayangkan bagaimana kiranya jika nanti ada satu waktu ketika semua jaringan internet di dunia ini padam selama katakanlah seminggu penuh. Kira-kira apa yang akan terjadi? Banyakkah orang yang akan meradang dan uring-uringan sepanjang hari atau justru banyak orang yang merasa nyaman dan menemukan kembali esensi kebahagiaan tradisional seperti yang dulu pernah mereka rasakan? Sepertinya menarik juga kalau benar ada kejadian seperti ini.

Kalau waktu itu benar-benar datang maka mungkin saya akan kembali membaca buku-buku yang masih terbungkus rapi di rumah. Saat mulai bosan saya akan keluar rumah, menemui teman dan menghabiskan waktu berjam-jam di warung kopi, mengobrolkan apa saja hingga bosan dan lelah. Keesokan harinya saya mungkin akan berjalan ke pasar tradisional dekat rumah, merekam aktifitas warga di sana dan menulis kisah mereka.

Jika kemudian internet kembali tersambung maka semua kisah itu akan saya tuliskan di blog dan bagikan di media sosial. Tapi saya yakin topik itu akan tenggelam di antara riuhnya perbincangan orang di media sosial tentang apa yang mereka lakukan selama internet padam, sayapun yakin akan ada hastag baru yang lahir dari perbincangan itu dan kemudian orang lupa kalau mereka pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan ketika internet padam. Ah, saya sudah terlalu jauh berkhayal.

Sambil menunggu kejadian itu benar terjadi atau tidak, selagi bisa saya masih menikmati internet sebatas yang saya butuhkan. Konsumsinya mulai saya kurangi karena saya yakin interaksi nyata juga tidak kalah pentingnya. [dG]