Tentang Citizen Journalism
Media membuat kata “jurnalisme” menjadi buruk, Graham Greene (penulis).
Sejarah dibentuk menurut kepentingan penguasa. Apa yang kita dengar tentang masa lalu sesungguhnya adalah buah pikiran penguasa yang membuat setting sesuai kebutuhan mereka. Berapa banyak kejadian sebenarnya yang dikaburkan demi satu kepentingan? Berapa banyak kesalahan yang dilegitimasi demi mendukung kekuasaan sebuah trah atau komplotan tertentu?
Penguasa melanggengkan kekuasaannya lewat sejarah yang ditulis dan disebarluaskan, membentuk opini orang untuk ikut membenci lawan mereka. Media menjadi senjata pilihan untuk itu, kadang lebih kuat daripada senjata mematikan yang kita tahu ujungnya runcing dan panas. Media melenakan, pelan-pelan mematikan, nyaris tanpa rasa sakit kecuali pada mereka yang jadi korban secara langsung.
Betul kata Graham Greene, media secara tidak langsung sudah membuat kata jurnalisme menjadi buruk. Mendengar kata itu pikiran kita mengarah pada satu kejadian sistematis yang dijalankan untuk membentuk satu opini tertentu, bukan sekadar membuka wawasan, menyampaikan kabar dan menyebarkan berita. Media (jaman sekarang) selalu mengundang kecurigaan bagi para penikmatnya.
Padahal Bob Schieffner yang seorang jurnalis TV mengatakan bahwa jurnalisme itu adalah seni. Jurnalisme yang baik adalah yang berpihak pada yang tak biasa, bukan pada yang populer, ini kata Geraldo River. Subjektifitas dalam sebuah jurnalisme hasil karya media memang tidak terelakkan. Tidak ada yang bisa betul-betul objektif dan tak berpihak.
Warga selama ini lebih sering jadi objek, sedikit sekali ruang bagi mereka untuk menjadi subjek. Padahal sebenarnya wargalah pihak yang paling berkepentingan dalam setiap jejak perjalanan jurnalisme. Kita memang harus bersyukur bahwa perkembangan teknologi membuat kita akhirnya punya tempat untuk bersuara dan ikut menikmati kata “jurnalisme” yang selama ini mungkin hanya terasa ada di awang-awang.
Citizen journalism atau jurnalisme warga sudah jadi kata yang jamak dalam satu dasawarsa terakhir. Pemicunya tentu saja teknologi yang berkembang pesat. Satu orang bisa terhubung dengan orang lainnya dalam waktu singkat. Pola penyebaran berita bukan lagi satu arah, dari atas ke bawah tapi beratus-ratus arah dan dalam level yang sama. Kata jurnalisme bukan lagi milik satu orang atau satu golongan. Semua orang bisa membuat dirinya jadi jurnalis, tepatnya jurnalis warga.
Topik tentang jurnalisme warga ini yang menjadi pembicaraan seru di Sabtu malam tanggal 30 Maret kemarin. Bertempat di Cafe Baca Jl. Adhyaksa, dua orang jurnalis warga menyampaikan isi pikiran mereka tentang jurnalisme warga kepada belasan orang yang hadir malam itu. Ada Anwar J. Rahman dan Daeng Nuntung yang jadi pengarah acara, memberikan testimoni dan cerita sebagai jurnalis warga.
Jurnalisme warga bukan kata baru sebenarnya, beratus-ratus tahun yang lalu keluarga-keluarga di Sulawesi Selatan sudah mempraktekkannya. Mereka merekam kejadian di sekitar mereka dengan menggunakan wadah daun lontara sebelum kertas datang. Mereka tidak menunggu orang lain mencatat tentang sejarah mereka, tapi melakukannya agar orang membaca sejarah tentang mereka.
Pembeda antara jurnalis warga dan jurnalis media hanya ada pada akses dan tanda pengenal. Jurnalis media punya akses besar dengan membawa nama media mereka sehingga mampu menerobos semua pintu birokrasi untuk mendapatkan data dan fakta yang mereka butuhkan. Jurnalis media juga punya kepentingan dengan data dan fakta yang mereka pegang. Objektifitas bisa dipertanyakan ketika kepentingan itu mulai tercium.
Jurnalis warga tidak punya akses sebesar jurnalis media, tapi mereka punya independensi yang lebih. Mereka punya kemewahan menggunakan kata SAYA atau AKU dalam setiap reportasenya, melambangkan diri sendiri yang tak terikat oleh media apapun.
Menjadi jurnalis warga memang mudah, bekalnya hanya kemauan. Jurnalis warga tidak punya editor atau atasan yang menilai tulisan mereka bisa dimuat dan disebarkan atau tidak. Editor mereka adalah diri sendiri, atasan mereka ya diri sendiri. Jurnalis warga berhadapan dengan diri sendiri, apakah ingin tetap bertahan dengan kemampuan seadanya atau terus berusaha untuk meningkatkan kemampuan.
Menjadi jurnalis warga tetap butuh dasar pengetahuan jurnalistik yang memadai, tentang 5W1H, tentang teknik wawancara, teknik pengumpulan data dan fakta dan sebagainya. Hal terpenting adalah melepas asumsi sebelum menuliskan sesuatu. Asumsi berlebihan dari kepala sendiri secara tidak langsung menciptakan garis batas yang menghalangi kita menemukan kebenaran. Ketika itu terjadi maka percayalah, jurnalis warga tidak ada bedanya dengan jurnalis media yang punya kepentingan.
Sejarah ditulis oleh mereka yang punya kepentingan, memang sudah saatnya bagi kita untuk mulai menulis sejarah kita sendiri dengan cara kita sendiri. Bukan untuk melawan jurnalis media, tapi sekadar mencari tempat agar bisa dicatat jaman. Kalau orang dulu sudah melakukannya dengan teknologi sederhana, kenapa kita yang diberi gelimang teknologi maju ini tidak melakukannya? [dG]
?
setujuhlah sama postingan ini *grinz*… saya jurnalisme warga untuk reportase kuliner saja =))))
Graham Greene the Heart of the Matter – judul skripsiku
emang kadang ragu sama kabar yang beredar sekarang, karena jurnalis juga perlu uang, dan kalau tidak punya iman tentunya menghalalkan segala cara untuk memperolehnya.