Potensi Bisnis E-Hate

ilustrasi
ilustrasi

Seorang teman di status Facebook-nya pernah bilang kalau pilpres 2014 seperti kapak yang berhasil membelah dua warga Indonesia. Pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo.

Teman itu mungkin benar, sejak pilpres kemarin orang Indonesia seakan-akan hanya ada dua sisi. Mereka yang sebenarnya masih punya sikap kritis dan mendahulukan logika dengan cepat akan disangka berada di salah satu sisi. Mendukung kerja Jokowi maka Anda akan dianggap lovers, mengkritik kerja Jokowi maka Anda akan dianggap haters. Semudah itu.

Pilpres 2014 juga menyisakan satu cerita unik, cerita tentang sebuah potensi bisnis yang mencuat karena adanya kapak yang membelah dua warga Indonesia itu. Saya tidak tahu siapa yang pertama memberi julukan kepada bisnis ini, tapi adalah Priyadi yang pertama saya lihat memberi label e-hate pada fenomena ini.

Singkatnya begini, bisnis e-hate adalah bisnis yang memanfaatkan rasa benci orang selepas pilpres kemarin. Kebencian itu disalurkan lewat beragam media, ada fan page di Facebook dan ada website. Tujuannya satu, mengundang banyak orang untuk mengunjunginya, membagikannya, berinteraksi dan tentu saja berakhir dengan popularitas yang bisa diuangkan.

Popularitas memang bisa berupa banyak hal, ada yang positif karena kerja-kerja dan prestasi yang membanggakan tapi ada juga yang hadir dari hal-hal negatif. Tidak peduli asalnya dari mana, asal sudah ramai digunjingkan orang maka dengan strategi tertentu semua itu bisa diubah menjadi uang. Soal nama baik, itu bisa didebatkan.

Saya tidak perlu menyebut contohnya, para pegiat media sosial pasti sudah paham siapa-siapa saja yang mengambil kesempatan dari potensi besar bisnis e-hate ini. Ada yang menikmatinya karena fan pagenya diserbu banyak orang sehingga dia bisa memasang harga tertentu untuk pemasang iklan, ada juga yang menikmatinya karena website yang dikelolanya bisa meraup ribuan kunjungan per hari yang tentu saja potensial untuk menggoda para pemasang iklan.

*****

Beberapa hari yang lalu secara tidak sengaja blog saya sempat menerima puluhan ribu kunjungan dalam sehari. Gara-garanya adalah postingan yang judulnya mengandung kata benci meski isinya sama sekali tidak berhubungan dengan itu. Fenomena ini benar-benar mengagetkan sekaligus menyadarkan saya betapa mudahnya sebuah konten bernada kebencian mengundang perhatian orang.

Bayangkan, sebuah postingan saja sudah bisa menarik perhatian sebanyak itu. Bagaimana dengan orang yang tiap hari konsisten menyebarkan postingan bernada kebencian? Berapa banyak orang yang bisa ditarik perhatiannya? Berapa banyak potensi meraup rupiah?

Orang Indonesia memang sedang terlena efek pilpres yang ternyata memang kuat. Masa kampanye yang diwarnai banyak hasutan, fitnah dan kebencian ternyata masih membekas sampai sekarang. Hal-hal bernada kebencian jadi salah satu makanan empuk yang rajin dikunyah banyak warga Indonesia. Sebagian karena ingin tahu sebagian lagi karena benar-benar menikmatinya.

Memang banyak orang yang memanfaatkan kelemahan orang Indonesia dalam mengelola informasi. Mereka tahu kalau orang Indonesia masih sangat mudah ditipu dengan judul bombastis dan isi berisi fitnah yang menjatuhkan orang lain, apalagi kalau orang yang disasar itu memang bukan orang yang mereka senangi. Atau, orang yang disasar itu kebetulan adalah orang yang mereka puja, lengkap sudah alasan untuk mengundang banyak orang membaca dan menyimak cerita mereka.

Lalu, ketika mereka yang sengaja memanfaatkan kebencian itu mendapatkan untung lantas apa yang tersisa buat kita para warga? Tidak ada selain semakin awetnya rasa benci pada sesama orang Indonesia. Kita akan tetap dijadikan orang-orang Indonesia yang gampang dipecah belah, hidup dengan rasa benci pada saudara sendiri yang kebetulan punya pilihan berbeda. Sementara itu mereka hidup dari uang yang didulang dari kebencian yang mereka kelola.

Bisnis e-hate memang kejam, tapi toh mereka para pelakunya tetap berlindung di belakang kata kritis. Padahal mudah saja membedakan mana kritikan, mana fitnah. Plus kita bisa melihat latar belakang mereka, ada yang memang sudah terkenal sejak jaman pilpres rajin menyebarkan fitnah tak berdasar dan tidak pernah meminta maaf ketika fitnah mereka terbukti tidak benar.

Mendukung bisnis e-hate sama saja seperti mendukung usaha memecah belah bangsa ini, menghambat laju perkembangan Indonesia dan malah membiarkan warga Indonesia jadi semakin bodoh dan mudah diperdaya.

Berhati-hatilah, jangan jadi pendukung bisnis e-hate kalau Anda memang ingin melihat Indonesia makin maju dan warganya makin cerdas. Perbanyaklah konten yang mengedukasi warga, agar kita makin paham mana yang kritis, mana yang memang ingin menebar kebencian. [dG]