Nasib Pirau Revisi UU ITE

Ibu Rukmini (jilbab ungu) berpelukan dengan Fadhli (berkopiah putih) setelah pembacaan vonis
Ibu Rukmini (jilbab ungu) berpelukan dengan Fadhli (berkopiah putih) setelah pembacaan vonis

Nampaknya korban UU ITE masih akan terus berjatuhan

“Allahu Akbar!” Teriakan itu keluar dari mulut ibu Rukmini, wanita 58 tahun bertubuh gempal dengan kepala tertutup jilbab. Suaranya parau berselubung tangis yang tak bisa dibendungnya. Fadhli Rahim, sang anak lelakinya memeluk berusaha menenangkan wanita yang sebentar lagi akan histeris itu.

Adegan itu masih terus membayang di kepala saya meski sudah berselang hampir 10 bulan. 18 Februari 2015, di sebuah ruang sidang pengadilan negeri Kabupaten Gowa. Hari itu adalah hari pembacaan vonis terhadap Fadhli Rahim, PNS dinas pariwisata Kabupaten Gowa yang didakwa mencemarkan nama baik atasannya, bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo.

Hakim mengetuk palu sesaat setelah membacakan vonis delapan bulan tahanan buat Fadhli. Suasana sidang gemuruh, teriakan menyebut asma Allah bersahut-sahutan dengan teriakan histeris dan tangisan. Saya tercekat di satu sudut ruangan pengadilan, membayangkan rasa pilu di dada seorang ibu yang anaknya harus mendekam di balik jeruji besi.

*****

Fadhli adalah satu dari 118 korban UU ITE sampai bulan November 2015. Angka ini diyakini lebih sedikit dari yang sebenarnya, SAFENET sebagai penyusun angka ini yakin kalau masih banyak kasus lain yang tak sempat terdokumentasikan atau tak sempat menyeruak ke permukaan.

Sejak disahkan tahun 2008, UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3 memang secara perlahan makin membesar serupa raksasa yang menakutkan. Raksasa yang siap mengintai mereka yang kritis tapi tak berpunya, mereka yang selalu takluk pada raja-raja kecil bernama penguasa daerah.

Korban UU ITE
Korban UU ITE
Grafis korban UU ITE
Grafis korban UU ITE

Para praktiknya, UU ITE pasal 27 ayat 3 memang banyak digunakan oleh orang-orang yang punya kuasa lebih seperti penguasa daerah. Sebagian besar yang terjerat dan sampai harus merasakan dinginnya dinding penjara adalah mereka yang berani bersuara lantang melawan penguasa daerah. Sementara yang berseteru dengan orang dengan kuasa yang hampir sama, lebih bisa bernapas lega karena kasusnya tak sampai mengharuskannya menghadap keluar dari belakang jeruji besi.

Lalu, salahkah kalau ada orang yang menyebut UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3 sebagai alat meredam suara kritis para aktivis? Toh pada kenyatannya makin banyak aktivis yang tersandung pasal ini hanya karena hendak mengkritisi pejabat atau penguasa. Mungkin cara mereka tak sepenuhnya benar, tapi mengirim mereka ke balik jeruji besi juga tak sepenuhnya bijak. Kenapa kritikan itu tak dibalas dengan penjelasan saja? Kalau toh memang tak salah maka tak seharusnya mereka kebakaran jenggot dan bahkan memaksakan lawannya masuk penjara.

Lalu belum hilang pengaruh jahat dari UU ITE muncul lagi surat edaran Kapolri tentang ujaran kebencian atau hate speech di internet. Sama dengan UU ITE pasal 27 ayat 3, surat edaran inipun sangat rawan multitafsir, mudah disalahartikan dan disesuaikan dengan rasa takut akan kritikan.

Di Makassar, direktur terminal regional Daya Hakim Syahrani melaporkan wartawan sebuah media online yang memuat berita ketidakberesan terminal yang dipimpinnya. Dalam laporannya ke kepolisian, sang direktur terminal berniat menjerat si wartawan dengan berlandaskan pada surat edaran Kapolri itu. Si wartawan dituduh sudah membuat berita yang mendandung muatan kebencian atau hate speech.

Beritanya bisa dibaca di sini.

Apa yang dilakukan sang direktur terminal bisa dianggap sebagai sebuah salah kaprah terhadap surat edaran yang memang membuka ruang besar untuk dimaknai sesuai kebutuhan. Tak salah pula kalau banyak yang menganggap surat edaran itu sebagai ancaman baru untuk kebebasan berekspresi di Indonesia.

*****

Kembali ke UU ITE. Atas desakan banyak pihak, UU ITE dengan pasal 27 ayat 3 yang dianggap pasal karet itu sudah diminta untuk direvisi. Toh pasal pencemaran nama baik sudah diatur sebelumnya di KUHP, tak perlu membuat pasal baru yang kemudian jadi tumpang tindih satu sama lain.

Desakan itu ditanggapi oleh Kemeninfo sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Dikutip dari Detik.com, Menkominfo Rudiantara mengonfirmasi kalau pihaknya sudah melakukan langkah yang dianggap perlu untuk merevisi UU ITE. Naskah revisi sudah ditandatangani dan diparaf oleh Menkominfo, tapi sesuai prosedur naskah itu harus diketahui dan diparaf juga oleh dua institusi lainnya; Kejaksaan Agung dan Polri sebelum diteken oleh presiden dan diteruskan ke DPR RI.

Berita lainnya bisa dilihat di sini.

Sampai di sini nasib revisi UU ITE menjadi kabur, pirau tak jelas. Hal yang jelas adalah revisi UU ITE tak akan masuk dalam pembahasan prolegnas 2015 dan sepertinya akan terancam tak masuk dalam pembahasan prolegnas 2016.

Nasib revisi UU ITE memang semakin tak jelas. Entah siapa yang merasa punya kepentingan untuk tetap menjaganya agar tak sampai dibahas dalam prolegnas di DPR. Atau mungkin naskah revisinya tercecer tak sengaja? Atau mungkin karena birokrasinya yang terlalu berbelit-belit sampai naskah itu sekarang entah berada di mana?

Sambil menunggu pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, netizen Indonesia harus membiasakan diri untuk melihat korban-korban berjatuhan. Suara-suara lantang berisi kritik akan diredam sedikit demi sedikit, pelakunya akan ditakut-takuti sampai tak berani bersuara. Sementara itu suara-suara radikal yang mengobarkan kebencian dan perpecahan masih ditanggapi santai oleh pemerintah.

Entah sampai kapan. [dG]