Merindukan Persimpangan Bernama Panyingkul
Dalam kehidupan kadang kita bertemu dengan banyak orang-orang yang luar biasa, beberapa di antaranya menjadi guru yang meninggalkan jejak ilmu yang mendalam. Saya pernah menemukan orang-orang seperti itu di sebuah persimpangan bernama Panyingkul.
Suatu hari di bulan Juni tahun 2007. Saya masih anggota baru di milis Anging Mammiri, saya malah belum pernah kopdar dengan salah satu dari mereka. Suatu perbincangan di milis mengangkat tema tentang bioskop Makassar jaman dulu. Saya tertarik untuk ikut menimpali. Sewaktu remaja saya terobsesi memasuki semua bioskop yang ada di kota Makassar yang waktu itu jumlahnya banyak dan beragam. Ternyata ingatan saya masih kuat, dan timpalan saya soal bioskop itu menarik perhatian seorang teman di milis yang kemudian akrab dengan saya.
Adalah Rusle yang kemudian memberi saya semangat untuk menuliskan cerita tentang bioskop-bioskop di Makassar yang sudah almarhum itu dan mengirimnya ke Panyingkul. Ragu, itulah reaksi pertama saya. Sebelumnya saya sudah wara-wiri ke situs itu, menyimak tulisannya satu persatu dan merasa kalau tulisan yang ada di sana sangat berkualitas. Reportase warga yang dikemas dengan sangat rapih mengikuti kaidah jurnalistik yang baku. Rapih tapi tidak kaku.
Rusle terus menyemangati saya, dan akhirnya saya coba menuliskan cerita tentang bioskop Makassar itu. Menunggu beberapa lama sebelum dapat email dari editor. Tulisan saya masih harus diperbaiki di beberapa tempat. Wajar pikir saya, toh ini pengalaman pertama saya membuat sebuah tulisan yang agak serius dan berkualitas. Proses asistensi berlangsung beberapa kali dan ditutup dengan beberapa kritikan dan masukan yang sangat berharga.
26 Juli 2007 akhirnya tulisan Bioskop-bioskop Makassar dalam kenangan tayang di Panyingkul. Bangga merasuk ke dalam dada. Saya tahu bukan hal yang mudah bagi penulis pemula untuk membuat tulisannya bisa dipajang di sana. Prosesnya ketat dan tidak asal muat. Hari itu saya resmi bergabung dengan situs jurnalisme warga yang dilahirkan sepasang penulis dan jurnalis, Lily Yulianti Farid dan Farid M Ibrahim itu.
Berikutnya saya semakin terpacu untuk menulis. Saya seperti seorang anak SD yang begitu bersemangat di hari-hari pertamanya masuk sekolah. Saya tidak hanya bersemangat, saya juga makin rajin mengumpulkan semua ilmu yang berserakan di setiap pembicaraan di maling list atau email revisi selepas saya mengirim tulisan. Situs Panyingkul jadi bacaan wajib setiap hari.
Panyingkul menjadi bayangan yang melekat di kepala saya, ke manapun saya pergi saya selalu berusaha mencari bahan tulisan apa saja yang bisa di-panyingkul-kan ( istilah kami untuk sebuah cerita yang layak ditulis dan ditayangkan di Panyingkul ) Saya makin peka pada susana sekitar, saya makin peduli pada apa yang terjadi. Buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo” karangan Goenawan Mohammad menjadi “kitab suci” dalam membuat ragam tulisan feature.
Sebelum bergabung dengan Panyingkul ( dan sebelum menjadi blogger) saya adalah orang yang cuek. Apa yang terjadi sepanjang tidak menyangkut saya, saya biarkan berlalu. Tak perlu mencari tahu.
Panyingkul adalah bahasa Makassar yang diplesetkan. Artinya persimpangan. Sebuah pilihan nama yang sangat tepat, karena di sana kami semua berkumpul persis seperti rombongan remaja yang berkumpul di persimpangan, di sudut pertemuan beragam jalan dan kemudian berbagi apa saja.
Panyingkul memang persimpangan, tempat orang-orang dari beragam latar belakang pekerjaan, latar belakang gender dan latar belakang geografis berkumpul, berbagi cerita dan berbagi ilmu. Saya ikut di sana dan selalu merasa kagum pada diskusi-diskusi yang mengalir lancar tanpa ada yang merasa lebih tahu atau lebih pandai dari yang lainnya. Bertahun-tahun di sana saya tetap setia memunguti remah-remah ilmu yang bertebaran. Menghimpunnya sedikit demi sedikit dan kemudian berusaha membingkainya dalam praktek agar tak hilang.
Saya sangat bersemangat. Sepanjang masa aktif saya, total saya menyumbang 32 tulisan. Termasuk yang paling produktif bersama Daeng Nuntung dan Dandy.
Hari ini saya masih bersemangat untuk menulis, bersemangat untuk mengisi blog sederhana ini dengan apa saja yang ada di kepala saya. Ada waktu ketika saya menengok ke belakang dan melihat kalau saya hari ini terbentuk oleh pengalaman bertahun-tahun selama berkumpul dengan teman-teman di Anging Mammiri dan tentu saja di Panyingkul.
Saya selalu merasa Panyingkul dan Anging Mammiri sesungguhnya dua universitas yang membentuk saya sekarang ini. Di Panyingkul saya belajar memperbaiki tulisan, belajar mencari gaya tulisan saya sendiri dan tentu saja belajar dari orang-orang hebat namun rendah hati. Di Anging Mammiri saya belajar berorganisasi, belajar menghargai persahabatan dan belajar menertawakan kehidupan. Saya yang sekarang setengahnya dibentuk oleh Anging Mammiri dan setengahnya dibentuk oleh Panyingkul.
Hari ini entah kenapa saya tiba-tiba merindukan persimpangan itu, tempat di mana kami dulu pernah bercanda, saling mencela dan saling belajar satu sama lain. Saya merindukan sebuah persimpangan bernama Panyingkul.
[dG]
iklan tel****el nya kok udah ilang daeng???
hihihi…masa beriklannya sudah habis
apa kabar panyingkul sekarang?
lagi vakum…katanya akan muncul dengan format baru
hebat daeng. aku ga pernah seseriius itu belajar menulis 🙁
hihihi..iyya, dulu saya memang sangat serius belajar menulis.
mbak Latree gak serius belajar aja udah sedemikian jagonya, gimana kalau serius ya ?
*ngarru cadddi*
Btw, panyingkul adalah bidan beranak. Darinya banyak lahir antusiasme, beberapa orang mulai tersulut utk menuliskan narasi sejarahnya masing2. Dan here we are,…
*kembali ngarru caddi*
**pelukpeluRusle
saya merindukan masa2 aktif dulu..
dan sebenarnya saya punya mimpi melanjutkan cita2 P!
meski dengan skala yang tentu saja lebih kecil
hmmm baru tau ada forum ginian, tetapi memang tulisan panjang yg tidak bosan dibaca tu butuh skill khusus 😐
merindukan panyingkul juga!!