Menemukan Lembaran Yang Hilang

Pameran Lembaran Halaman Yang Hilang
Pameran Lembaran Halaman Yang Hilang

Fotografi buat sebagian orang menjadi sebuah kegiatan yang berhubungan dengan pendokumentasian keindahan alam atau keindahan paras wanita, tapi bagi sebagian lainnya fotografi adalah sebuah media untuk mendokumentasikan sebuah realita dan sebuah perubahan.

Namanya Sofyan Syamsul, tapi orang lebih akrab dengan nama panggilannya: Pepeng. Sulit membayangkan lelaki bertubuh kecil kerempeng ini memanggul kamera besar kesana-kemari, tapi itulah kenyataannya. Pepeng adalah seorang pegiat fotografi di Makassar dan nampaknya menyokong sebagian besar hidupnya dari aktifitas potret-memotret. Malam itu dengan lagak malu-malu dan sedikit grogi dia bercerita sedikit tentang latar belakang pameran foto hasil karyanya yang digelar di Kampung Buku mulai tanggal 27 hingga 30 Maret 2014.

Total ada 42 lembar foto yang ditayangkan selama 4 hari itu. Semua adalah hasil karya Pepeng yang mengambil tempat di sebuah kampung bernama Buloa, sebelah barat pesisir kota Makassar. Selama 3 bulan Pepeng datang dan bergaul dengan warga setempat, menyerap banyak hal dan menceritakannya kembali lewat deretan foto yang bercerita banyak tentang Buloa. Buloa sendiri adalah kampung yang tercipta dari timbunan tanah yang menjorok ke laut. Sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari laut, namun belakangan laut dirasa kurang bersahabat lagi. Sebagian prianya kemudian mencoba peruntungan sebagai buruh bangunan.

Awalnya dari daerah yang terabaikan hingga kemudian berhembus kabar tanah timbunan yang sudah berubah jadi perkampungan itu dilirik investor besar. Warga yang sudah hidup lama di atas tanah timbunan bernama kampung Buloa itu mulai resah, apalagi ketika satu persatu mesin-mesin besar mulai beraktifitas di sana. Mereka tak punya bekal hukum yang kuat yang mampu menenangkan mereka dari penggusuran yang bisa datang sewaktu-waktu.

Pepeng (berbaju merah) ketika bercerita tentang foto-fotonya
Pepeng (berbaju merah) ketika bercerita tentang foto-fotonya

Pepeng tinggal tak jauh dari kampung Buloa meski dia sendiri terakhir menyentuh kawasan itu ketika masih seorang bocah ingusan. Nama Buloa baru kembali menyeruak dalam kepalanya ketika sengketa tanah di wilayah itu pernah ramai dibincangkan segelintir warga Makassar. Pepeng yang memang punya mimpi membuat pameran foto bertema kota lalu melirik Buloa sebagai subjek utamanya. Pertemuannya dengan Zack seorang fotografer lainnya serta Anwar Jimpe Rahman membuat Pepeng mantap menyelesaikan proyeknya.

Anwar Rahman atau kerap kami sapa Jimpe sudah lama akrab dengan kerja-kerja kreatif beragam manusia di Makassar. Tidak melulu di dunia literasi yang jadi jalan hidupnya tapi juga kegiatan kreatif di dunia seni visual dan peran. Jimpe juga yang lantas mengambil peran sebagai kurator atas ratusan karya Pepeng yang kemudian dipamerkan dengan tajuk Lembaran Halaman Yang Hilang.

Halaman Hilang Yang Ditemukan Kembali

Pameran ini tidak dikemas seperti pameran foto di galeri seni besar atau di hotel berbintang. Sama seperti pameran foto sebelumnya yang juga digelar di Kampung Buku, pameran foto Lembaran Halaman Yang Hilang ini disusun sederhana dengan menggunakan bahan seadanya. Penyajiannya boleh sederhana, tapi pesannya sangat kuat dan tidak sesederhana itu. Pameran foto Lembaran Halaman Yang Hilang seperti sebuah penegasan tentang pentingnya peran fotografi sebagai media atau cara mendokumentasikan orang atau ruang yang dengan cepat tergerus oleh perubahan-perubahan lingkungan yang cepat.

Buloa yang berada di pesisir kota Makassar itu seakan menjadi satu wajah lain dari kota yang dicitrakan sebagai kota besar dengan jargon Menuju Kota Dunia ini. Deretan rumah padat yang seperti saling bersenggolan tentu kontras dengan gambaran megahnya mall, hotel dan bangunan ikonik lain di Makassar. Mungkin tak banyak yang sadar kalau Buloa yang terletak di pesisir barat kota Makassar sesungguhnya adalah halaman dari depan kota ini, tapi karena tampilannya yang kurang indah halaman itu seakan hilang dan tak pernah dipandang orang.

Selama 4 hari, Pepeng yang dibantu banyak orang mencoba menunjukkan kembali kepada kita tentang halaman yang selama ini dianggap hilang. Rekaman aktifitas warga Buloa dihadirkan sebagai realita yang benar-benar terjadi di sekitar kita. Dinamika kehidupan warga Buloa mungkin akan hilang dalam hitungan bulan dan benar-benar akan tinggal kenangan. Warga di Buloapun tidak pernah tahu kapan mereka benar-benar akan diusir dari sejengkal tanah yang sudah menghidupi mereka selama ini karena toh mereka masih bertahan hingga sekarang karena hasil negosiasi panjang dengan bos penguasa tanah dan para preman bayarannya.

Pameran foto karya Pepeng memang bertajuk Lembaran Halaman Yang Hilang, sebuah judul yang sangat pas buat saya. Selepas pameran ini saya seperti menemukan kembali lembaran halaman yang hilang dari wajah kota saya sendiri. Ada banyak realita pahit yang tak sempat terekspos di tengah hiruk pikuknya pembangunan kota yang terus bersolek mempercantik diri ini. Ada lembaran halaman yang bercerita tentang warga kota yang terseok-seok dan sebentar lagi akan jadi korban kata modernisasi dan kota dunia. Buat saya Pepeng berhasil membawa kembali fungsi fotografi sebagai salah satu media dan cara untuk mendokumentasikan sebuah perubahan, dan Pepeng melakukannya berbekal kepekaan seorang warga. [dG]

Katalog Lembaran Halaman Yang Hilang Katalog Lembaran Halaman Yang Hilang Katalog Lembaran Halaman Yang Hilang