Strategi Ketika Harga Rokok Naik Jadi Rp.50ribu per bungkus
Para perokok, bersiaplah! Jika informasi hoax itu betulan jadi kenyataan setidaknya Anda harus mencari strategi khusus.
Ada berita yang cukup menganggu pikiran saya beberapa hari ini. Bukan cuma saya, tapi juga beberapa teman-teman perokok. Apalagi kalau bukan berita tentang bakal naiknya harga rokok menjadi Rp.50.000/bungkus.
Bagi para ahli isap, harga sebesar itu tentu memengaruhi stabilitas perekonomian. Naik lebih dari 100% (kalau rokoknya bukan Marlboro) tentu jadi bahan pikiran juga. Biasanya sehari hanya habis belasan ribu atau paling joss tiga puluhan ribu kalau sehari habis dua bungkus, sekarang harus keluar uang lima puluh ribu paling kurang, atau bisa seratus ribu dalam sehari. Duh, betapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
Uang lima puluh ribu itu sudah cukup untuk mengganjal perut dengan dua porsi coto Pettarani plus empat biji ketupat dan segelas air mineral. Masih ada kembaliannya buat bayar parkir. Nah kalau 100 ribu? Sudah bisa membeli dua tiket bioskop di tengah pekan. Bisa nonton sama gebetan, bisa sambil pegangan tangan atau terserah mau bikin apa saja asal keduanya senang.
Jadi jelas ya? Kalau memang harga sebungkus rokok benar-benar mencapai harga Rp.50.000/bungkus maka pengorbanan para perokok akan tambah berat. Di saat harganya masih belasan ribu sampai maksimal 20an ribu saja para perokok sudah sering mendapat cibiran macam: Apaan sih? Uang cuma buat dibakar-bakar, kan mending ditabung buat jalan-jalan, maka kelak ketika harga rokok benar-benar mencapai Rp.50.000/bungkus, cibiran macam itu pasti akan lebih kencang lagi.
“Daripada habis 50ribu per hari, mending uangnya ditabung buat modal buka start up baru,”
Mungkin cibirannya akan jadi seperti itu. Ada peningkatan level, bukan nabung buat jalan-jalan lagi tapi buat buka start up.
Tapi ya, namanya perokok apalagi yang sudah level dewa. Mau dicekoki dengan cibiran macam apa saja ya tetap jalan terus. Mau diceramahi soal kesehatan ya tetap saja mengebul itu asap dari mulutnya. Mau disenggol pakai ayat? Selalu saja ada tangkisannya. Lah, ustad saja banyak yang merokok, kata mereka.
Jadi percuma saja menceramahi mereka, atau memberi pencerahan soal kesehatan karena rokok. Intinya mereka akan terus jalan, membakar rokok, mengebulkan asap dan habis itu beli lagi rokok baru.
Namun, sebebal-bebalnya para perokok mereka tetap ketar-ketir juga ketika isu kenaikan harga rokok muncul dan bahkan semakin hangat. Isu itu sebenarnya sudah lama, entah sejak kapan dan siapa yang memulai. Tapi dulu isunya menguap begitu saja, mungkin timingnya tidak pas dan strateginya kurang tepat. Nah sekarang di tangan yang tepat dan di waktu yang pas, isu itu menjadi makin hangat dan menyebar. Dari sekadar isu, kemudian menjadi wacana yang seolah-olah akan jadi kenyataan dalam waktu dekat.
“Kata teman saya, di mart yang itu tadi harga rokoknya sudah Rp.50ribu,”
Ucapan seperti itu ada loh di Facebook. Kata temannya, bukan dia yang melihat langsung. Nah mungkin kalau temannya ditanya, dia juga akan bilang; iya, kata teman saya. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Pokoknya isu ini makin menghangat dan mau tidak mau membuat para perokok semakin kepikiran. Ada yang benar-benar kuatir sehingga setiap kali bertemu dengan sesama perokok langsung bertanya; eh, betul ndak itu harga rokok bakal naik Rp.50ribu sebungkus? Ada juga yang pura-pura santai, padahal dalam hati berpikir juga; duh, kalau beneran naik Rp.50ribu/bungkus nanti strateginya bagaimana ya?
Mereka yang terlihat santai tapi sesungguhnya kuatir itu mulai menimbang-nimbang, apa yang sebaiknya dilakukan seandainya saja isu itu benar-benar jadi kenyataan. Lalu dari hasil kajian tidak ilmiah dan penelitian asal-asalan, mereka datang dengan beberapa strategi, yaitu:
1. Beralih ke tembakau rajangan.
Ini strategi paling masuk akal. Harga tembakau rajangan jauh lebih murah dibanding rokok yang sudah dikemas dalam dus khusus. Rasanya memang lebih berat karena takaran dan racikannya beda dengan rokok pabrikan. Tapi, ini tak jadi soal tentu saja. Asal bisa mengebul dan merasakan aroma tembakau, persoalan selesai. Soal rasa yang berbeda itu hanya soal waktu. Bukankah rasa bisa ditumbuhkan kalau kenyamanan sudah didapat? Yang penting komunikasi dan saling terbuka satu sama lain. Betul kan?
2. Membeli ketengan.
Ketengan atau beli per batang juga jadi opsi. Kalau sebungkus dihargai Rp.50.000 maka sebatang berarti berada di kisaran antara Rp.2.500 sampai Rp.4.000. Murah kan? Tidak terlalu terasalah dibanding beli langsung sebungkus. Belinya sebatang demi sebatang, eh tahu-tahu genap 12 batang atau 16, atau bahkan 20 batang yang berarti pas satu bungkus.
3. Memperat persahabatan.
Ini strategi lainnya. Sahabat adalah orang yang senang berbagi, termasuk berbagi rokok tentu saja. Pokoknya berbagi apa saja, asal bukan berbagi istri/suami. Jadi buat para perokok yang merasa berat dengan kenaikan harga sampai Rp.50.000/bungkus itu, mempererat persahabatan bisa jadi solusi yang bagus. Ketika keinginan merokok itu benar-benar tak tertahankan lagi, datangilah sahabat yang perokok. Ajak mengobrol basa-basi dulu lalu ditutup dengan kalimat; bro, sebatang ya? Sahabat yang baik pasti akan langsung mengiyakan, entah di dalam hatinya.
Strategi ini tentu butuh ketabahan dan ketebalan muka. Sering-sering menggunakan strategi ini akan membuat teman-teman Anda mulai menghindar dan bahkan mencap Anda sebagai Sumitro alias suka minta rokok. Mungkin ada juga teman Anda lainnya yang menyematkan gelar; perokok modal bibir. Jadi sebaiknya berrhati-hatilah menggunakan strategi ini. Resikonya besar bung!
4. Subsidi Silang.
Kita pinjam hukum ekonomi. Agar cash flow tidak terganggu, kita lakukan praktik subsidi silang. Kurangi pengeluaran di sektor lain lalu dananya dialihkan ke sektor rokok. Misalnya, kurangi paket internet yang biasanya sebulan 400 ribu misalnya, bisa dikurangi jadi setengahnya. Cara lain, kurangi membeli tas, sepatu atau kosmetik lalu sisa anggarannya dialihkan untuk membeli rokok. Eh tapi itu dengan catatan khusus, Anda harus siap beradu otot dengan istri atau pasangan.
5. Pindah ke vapor.
Hmmm, sebenarnya ini bukan strategi yang pas. Bukan apa-apa, mengisap vapor itu bukan merokok tapi mengisap uap dari cairan yang sudah melalui proses tertentu menggunakan metode elektrifikasi. Tidak bisa dimasukkan sebagai bentuk lain dari merokok. Nge-vapor ya nge-vapor, merokok ya merokok. Tapi kalau mau pindah juga ke vapor ya silakan. Itu hak Anda, tapi jangan sekali-kali merasa lebih bermartabat dari mereka yang masih merokok ya? Ndak baik, Tuhan tidak suka orang sombong.
Nah kira-kira begitulah abang, kakak, adik dan bro sekalian. Kalau kalian memang termasuk kategori perokok berat yang tidak atau belum mau mengenal kata berhenti merokok, maka strategi di atas bisa diterapkan. Atau kalian mungkin juga punya saran lain? Sharing yuk.
Tapi saran saya sebaiknya berhentilah merokok, apalagi kalau sudah mau tidur. Merokoknya nanti saja kalau sudah bangun. Merokok sambil tidur itu tidak aman, api dari rokok bisa membakar kasur dan menyebabkan kebakaran. Serius! [dG]