Seberapa Bahaya Hidup di Papua?

Papua sering dibicarakan orang ketika ada kejadian kekerasan. Tidak urung pemberitaan seperti ini membawa stigma ke sebagian orang bahwa Papua memang berbahaya. Tapi, benarkah demikian?


Lanny Jaya
Bersantai di tepi bukit di Tiomneri

BEBERAPA HARI SELEPAS KEJADIAN BERDARAH DI NDUGA di awal Desember kemarin, beberapa orang kawan menghubungi saya. Mereka menanyakan kabar saya di Papua. Seorang sepupu bahkan langsung menelepon saya, menanyakan apakah saya baik-baik saja? Sungguh bentuk perhatian yang sangat menyentuh. Saya tentu berterimakasih untuk semua perhatian itu.

Mereka mungkin tidak tahu kalau saya berada jauh dari lokasi kejadian itu. Nduga ada di daerah pegunungan tengah Papua bagian timur, sementara saya lebih banyak beraktivitas di Jayapura, bagian pesisir bagian utara Papua. Sesekali juga saya memang mengunjungi wilayah pegunungan tengah Papua bagian timur, tapi itu lebih banyak di daerah Jayawijaya dan Lanny Jaya. Dua daerah yang masih berada cukup jauh dari Nduga, lokasi kejadian berdarah di awal Desember tersebut.

Tapi, tak urung kejadian tersebut menimbulkan pertanyaan untuk beberapa orang. Seberapa bahaya sih hidup di Papua?

Akuilah, Papua sedikit banyaknya memang menimbulkan kengerian buat sebagian orang. Provinsi paling luas di Indonesia ini seringkali masuk pemberitaan karena kasus-kasus kekerasan yang terjadi di sana. Paniai berdarah 2014, pembakaran pasar dan masjid di Tolikara 2015, penembakan menjelang pilkada di Nduga Juni 2018 dan terakhir kasus penembakan pekerja jembatan masih di kabupaten yang sama, Nduga. Jarang sekali pemberitaan dari Papua menghiasi media nasional untuk urusan yang menyenangkan bukan? Sekalinya ada pemberitaan heboh selain kasus kekerasan, eh beritanya tentang gizi buruk di Asmat.

Jadi, wajar kalau banyak orang yang kemudian merasa Papua itu menyeramkan. Tingkat bahayanya sangat tinggi dan nyawa bisa terancam kapan saja. Bahkan ketika pertama kali ke Papua di 2014, seorang kenalan sempat bertanya; daeng ke Papua sama siapa? Ketika saya jawab sendirian, dia bertanya lagi; koq berani daeng? Bukannya di sana itu orang-orangnya kejam? Sungguh pertanyaan yang entahlah harus saya sebut apa.

Jadi apakah benar hidup di Papua itu berbahaya?

Jawabannya tentu saja relatif, tergantung bagaimana Anda memaknai sebuah kata “bahaya”. Hidup di Papua sebenarnya hampir sama dengan hidup di daerah lain di Indonesia. Risiko tentu saja, gangguan bisa datang dari mana saja. Hanya saja mungkin karena ada sesuatu yang berbeda di Papua maka jenis dan tingkat risikonya agak sedikit berbeda. Sesuatu yang berbeda itu kita sebut saja gerakan separatis yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Kalau kalian tinggal di kota besar yang rata-rata ada di pesisir Papua, maka gangguan keamanan dari organisasi yang kadang disebut “tiga huruf” itu bukan sesuatu yang lazim. Mereka lebih banyak bermukim di daerah pegunungan, bukan di kota besar. Di kota besar seperti Jayapura, Timika atau Merauke gangguan keamanan lebih banyak dari pelaku kriminal seperti di kota besar lainnya. Misalnya orang mabuk, yang kadang bisa ditemui di wilayah tertentu. Kadang di tempat yang agak sepi.

Tapi gangguan seperti itu bukankah juga ada di kota-kota lain di Indonesia?

*****

GANGGUAN KEAMANAN DARI “TIGA HURUF” memang lebih banyak terjadi di daerah pegunungan tengah, baik itu bagian timur maupun bagian barat. Namun, saya bisa meyakinkan kalau gangguan mereka tidak semenyeramkan yang kadang kita bayangkan. Salah satu buktinya, di daerah terpencil di pegunungan sekalipun kita bisa menemukan pendatang dari luar Papua. Biasanya dari Sulawesi dan Jawa. Mereka bisa hidup tenang di sana tanpa takut diganggu. Oke, ketakutan pasti ada karena kadang gangguan keamanan dari warga asli juga kerap mereka rasakan. Tapi, membayangkan mereka bertahan hidup di sana padahal punya kampung halaman pastilah bisa dijadikan bukti kalau gangguan itu tidak sampai membuat mereka menyerah.

Supir yang melayani jalur Nabire-Paniai misalnya. Mereka kerap bercerita bagaimana perjalanan mereka seringkali mendapat gangguan baik dari “tiga huruf” maupun dari warga lokal. Tapi, toh mereka tetap bertahan di sana. Beberapa kali menempuh jalur itu pun, Alhamdulillah saya dan rekan-rekan kerja tetap aman. Hanya sesekali kami bertemu warga lokal yang menghadang kami, meminta uang. Tapi itu tanpa kekerasan dan jumlah yang mereka minta pun tidak banyak.

Supir yang melayani jalur dari Wamena ke Lanny Jaya, Puncak atau wilayah lain di pegunungan tengah Papua bagian timur pun kerap bertemu dengan “tiga huruf”. Tapi dari pengakuan mereka, tidak ada hal yang berbahaya sampai mengancam nyawa. Mereka selalu menyiapkan semacam pelicin, baik itu rokok, kopi, atau uang tunai yang jumlahnya masih terjangkau.

“Kalau ke Puncak, kita pasti ketemu ji mereka pak,” kata Om Iwan, supir Wamena asal Tana Toraja yang kerap menjelajah sampai ke pelosok Papua.

Musuh utama dari “tiga huruf” itu sebenarnya adalah para aparat, baik itu polisi maupun tentara. Selama tidak menyertakan aparat, yakinlah kalau kita baik-baik saja. Di Lanny Jaya bulan November lalu ada kejadian tukang ojek yang ditembak oleh “tiga huruf”. Menurut keterangan resmi mereka, si tukang ojek itu ditembak karena diduga sebagai mata-mata aparat. Di Paniai pun pernah ada kejadian yang hampir sama. Petugas PLN yang melakukan survey di sebuah daerah terpaksa balik kanan karena ditembaki “tiga huruf”. Penyebab utamanya karena mereka melakukan survey dengan membawa aparat.

Kondisi ini memang sedikit membawa dilema. Jalan tanpa aparat, rasanya bikin bergidik juga. Tapi, jalan bersama aparat risikonya justru lebih besar.

Persentuhan paling dekat dengan “tiga huruf” yang saya rasakan adalah ketika berkunjung ke Lanny Jaya tepat ketika suasana sedang memanas. Kami bahkan harus turun ke Wamena dengan dikawal oleh Brimob bersenjata lengkap. Sesuatu yang bagi supir kami justru meningkatkan risiko disergap “tiga huruf”.

Baca juga: Ada “Tiga Huruf” di Lanny Jaya

Di luar kejadian itu, rasanya semua biasa saja. Kekhawatiran memang kadang muncul, tapi saya rasa itu hal yang wajar. Bagaimanapun juga saya belum bisa bebas 100% dari stigma yang sudah bertahan bertahun-tahun di kepala. Namun selebihnya tidak ada hal-hal yang menyeramkan seperti yang saya bayangkan. Bahkan saya yakin saya pernah berinteraksi langsung dengan mereka yang jadi simpatisan “tiga huruf”. Ini karena dua daerah yang sering saya datangi memang masih termasuk wilayah merah atau sarang dari “tiga huruf”. Tapi Alhamdulillah, sampai sekarang saya masih baik-baik saja. Mudah-mudahan seterusnya begitu.

Jadi, seberapa bahayakah hidup di Papua bagi kaum pendatang?

Jawabannya, tidak sebahaya yang mungkin Anda pikirkan. Risiko tetap ada, namanya saja daerah yang masih terus bergolak. Tapi bila Anda bisa membawa diri dan bergaul dengan baik, maka yakinlah risiko itu bisa diminalkan. Kalau tidak percaya, tanyalah para pendatang yang sudah hidup di daerah pegunungan Papua selama bertahun-tahun, atau bahkan puluhan tahun.

Begitulah. Jangan takut untuk datang ke Papua. Asal kalian datang dengan niat baik, tanah Papua akan menyambut Anda. [dG]