Puasa Yang Tak Biasa
Puasa tahun ini berbeda dengan puasa biasanya. Puasa tahun ini harus berbagi dengan pandemi Corona.
Tanggal 26 April 2020, atau tanggal 3 Ramadan 1441 Hijriah. Sudah hari ketiga bulan puasa, artinya sudah tiga hari juga umat muslim Indonesia berpuasa. Puasa tahun ini berbeda dengan puasa tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini ada pandemi yang menemani. Artinya, kegiatan rutin selama bulan puasa yang biasanya jadi salah satu bagian unik bulan puasa, harus dipinggirkan dulu.
Tidak ada lagi adegan berkumpul selepas salat subuh, lalu berjalan bergerombol ke satu titik sebelum berpencar ke rumah masing-masing. Tidak ada lagi ramai-ramai menjelang salat tarawih di malam hari, yang biasanya dilanjutkan dengan kegiatan berkumpul, utamanya untuk anak muda.
Pemerintah sudah membatasi semua kegiatan berkumpul di masa pandemi ini. Bahkan untuk urusan ibadah sekalipun. Utamanya di daerah yang masuk sebagai zona merah dan sudah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Makassar salah satunya.
Meski begitu, tetap saja ada orang yang keras kepala. Memaksakan diri berkumpul meski bukan untuk beribadah. Sebuah video di Twitter menunjukkan ramainya warga Makassar yang menghabiskan waktu selepas salat subuh di sekitar kawasan Pantai Losari. Padahal itu bukan kegiatan ibadah.
Beberapa warga lainnya masih tetap memaksakan diri menggelar ibadah berjamaah, meski itu berarti harus sembunyi-sembunyi. Begitu ketahuan aparat dan tim satgas Covid-19 kegiatan mereka pasti akan diminta untuk dibubarkan. Ada juga warga yang menuntut pengurus masjid untuk membuka masjid dan menggelar ibadah tarawih seperti biasa. Padahal pengurus masjid hanya mengikuti imbauan pemerintah dan MUI setempat.
Puasa yang Sepi di Jayapura.
Tepat di seberang kos saya ada masjid besar. Masjid yang baru saja selesai direnovasi. Dari masjid kecil menjadi masjid besar yang megah. Sayangnya, kemegahan masjid yang sudah 95% selesai itu bertepatan dengan serangan pandemi Covid-19. Artinya, masjid itu tidak bisa menggelar ibadah bulan Ramadan seperti seharusnya.
Masjid itu masih menebarkan azan lima kali sehari. Tapi tidak ada keriuhan berlebihan, utamanya ketika masuk waktu salat isya dan tarawih.
Setahu saya masih ada kegiatan salat berjamaah, tapi tidak terlalu ramai. Padahal ini bulan Ramadan, bulan ketika masjid biasanya sangat ramai di malah hari.
Sejak bulan Maret lalu, pemerintah kota Jayapura sudah menebarkan imbauan untuk mengurangi kegiatan di luar, termasuk kegiatan ibadah. Semua toko dan aktivitas ekonomi diminta tutup jam 6 sore. Malam tidak boleh ada lagi yang beroperasi. Kegiatan ibadah juga diminta untuk tidak dilakukan beramai-ramai lagi. Baik itu ibadah di masjid, maupun di gereja. Ini cara Papua melawan Corona.
Jadilah Ramadan kali ini menjadi Ramadan yang sepi di Jayapura.
Para penjual menu buka puasa dan makanan berat lainnya memang masih ramai. Saya biasanya berkeliling pukul 4 sore untuk mencari menu buka puasa dan makan malam sekaligus sahur, dan sepanjang Jln. Baru di belakang kos, suasananya masih ramai. Para pedagang beroperasi seperti biasa, tidak ada tanda-tanda adanya pandemi yang harus ditakutkan.
Bahkan menjaga jarak pun tidak dipatuhi. Kemarin ketika hendak membeli ayam goreng, saya berdiri cukup jauh dengan seorang pembeli lain di depan saya. Saya menjaga jarak seperti imbauan yang saya tahu. Sedang asyik mengantri, dua orang lain masuk. Mereka tanpa rasa berdosa langsung berdiri di depan saya, merapat ke pembeli pertama yang sedang melakukan transaksi. Mungkin mereka tidak mengira saya juga sedang antri karena jarak yang agak jauh antara saya dan orang di depan saya. Mereka jelas tidak mematuhi anjuran menjaga jarak.
Ya sudah, saya pasrah saja.
Setidaknya keramaian di jalanan menjelang buka puasa jadi satu-satunya pertanda hadirnya bulan Ramadan di Jayapura. Satu-satunya pembeda bulan ini dengan bulan-bulan sebelumnya yang sama-sama dilewati dengan intaian pandemi Corona.
Sisanya tidak ada yang berbeda. Malam sepi, masjid sepi. Ramadan yang sepi.
*****
Tahun ini Ramadan jadi sangat berbeda dibanding malam-malam sebelumnya. Corona membuatnya jadi berbeda. Tidak ada keramaian, tidak akan ada juga ledakan arus mudik. Pemerintah sudah menetapkan untuk membatasi arus mudik, bahkan melarang orang untuk mudik. Penerbangan domestik pun sudah dilarang beroperasi sampai 1 Juni 2020. Artinya, saya akan melewatkan puasa dan lebaran di Jayapura, jauh dari kampung halaman.
Tidak mengapa. Saya pasrah saja.
Semoga saja pandemi ini cepat berlalu, dan kita bisa kembali kepada normal yang lama. Bukan normal yang baru yang sudah mulai kita akrabi.
Selamat berpuasa buat kawan-kawan yang sedang menjalankan ibadah puasa. Salam dari timur! [dG]
Saya yang di tengah kota Jogja pun puasa ini sepi, daeng. Tidak ada salat jamaah sejak pandemi, bahkan lupa kapan terakhir salat jumat. Semoga lekas berlalu, sehingga semarak ramadan kembali menggeliat.
Beberapa hari yang lalu saya nonton pertunjukan seni Jagongan Wagen via streaming, Daeng. Pedas-pedas juga kritiknya, termasuk soal beragama dan menjalani Ramadan pas masa Covid-19 ini. Salah satu pesan yang saya tangkap dari pertunjukan itu, inilah waktunya mengembalikan spiritualisme ke hati. Sudah cukup semuanya kacau karena simbol.