Memaintain Mantan

Ilustrasi, jangan terlalu diambil hati

Mungkin sebaiknya memang ada badan khusus yang menangani para mantan.

Orang Indonesia memang kreatif dalam beragam urusan, termasuk urusan mantan. Seolah-olah urusan mantan itu sangat penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, sampai-sampai perlu diolah sedemikian rupa. Bahkan dijadikan acara.

Di Jogja ada kegiatan yang sebentar lagi akan digelar. Namanya Festival Melupakan Mantan. Ini tahun kedua acara tersebut akan diadakan, tahun sebelumnya ternyata acara ini menarik banyak perhatian. Menurut laman BBC, Festival Melupakan Mantan tahun 2016 menarik kurang lebih 3000an pengunjung. Ini jadi alasan tahun ini acara Festival Melupakan Mantan dibuat lebih lama, menjadi tiga hari.

Namun, pelaksanaan Festival Melupakan Mantan di Jogjakarta itu menuai kritikan dari Forum Demokrasi Digital. Pasalnya, panitia membuat tantangan (challenge) kepada calon peserta untuk membawa foto mantan mereka dan ditempelkan di galeri mantan. Kritikan Forum Demokrasi Digital adalah soal privasi. Bagaimana mengontrol pose foto mantan yang dibawa pengunjung? Bagaimana kalau pose di foto tersebut kurang nyaman buat si mantan? Bagaimana kalau ternyata ada pengunjung lain yang datang lalu memotret galeri tersebut dan kemudian menyebarkannya ke media sosial? Terus satu lagi, bagaimana kalau si mantan masih berusia di bawah 18 tahun? Pelanggarannya akan bertambah dengan pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak.

Forum Demokrasi Digital (FDD) sudah melayangkan surat imbauan yang bernada mengingatkan. Oleh panitia, surat itu dibalas dengan penjelasan bahwa galeri mantan itu tidak dibuka untuk umum. Galeri mantan diletakkan di tempat  tertutup dan hanya mereka yang membawa foto yang bisa masuk ke sana. Galeri tersebut memang akan dipamerkan, tapi dengan tirai yang menutupnya sebagai simbol untuk melupakan masa lalu. Panitia juga berterima kasih sudah diingatkan dan berjanji untuk lebih berhati-hati perihal risiko pelanggaran privasi ini.

Informasi terakhir, karena menimbang beberapa hal panitia lalu benar-benar menghapus sesi membawa foto mantan tersebut dan menggantinya dengan sesi lain yang lebih “aman”.

Anyway, buat saya ini contoh baik bagaimana sebuah kritikan dilakukan dengan santun dan dibalas dengan santun juga. Bukan ujug-ujug langsung membawa massa ke tempat acara dan melakukan demonstrasi meminta acara dibubarkan.

Mantan Yang Lain

Oke kita tinggalkan soal mantan-mantanan di Jogja itu. Kita pindah soal mantan yang lain di Jakarta. Beberapa hari lalu salah seorang mantan pak Jokowi alias mantan presiden kembali menyemarakkan media sosial. Siapa lagi kalau bukan pak SBY yang melalui akun twitter berpengikut 9,5 juta pengikut punyanya mengunggah beberapa status yang sontak membuat ramai.

Soal statusnya apa, silakan cari di media lain. Ada banyak koq bertebaran.

Saya lebih tertarik melihat bagaimana netizen Indonesia bereaksi. Seperti biasa, netizen Indonesia memang sangat reaktif terhadap beberapa isu di media sosial. Dengan cepat cuitan pak mantan presiden itu ditanggapi para netizen. Dari yang awalnya lucu-lucuan sampai mulai ada yang lebay dan sangat berlebihan. Parahnya lagi, karena merasa punya kekuatan, sebagian netizen mulai merisak pak mantan presiden. Beramai-ramai pula.

Saya berpikir para perisak ini adalah orang-orang yang tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi mantan. Mereka bisa menertawakan bahkan mencibir perilaku pak SBY karena mereka tidak pernah merasakan bagaimana beratnya menjadi mantan.

Menjadi mantan itu berat saudara-saudara! Ketika kita menjadi mantan, kita kehilangan banyak previlege, banyak keistimewaan yang pernah kita miliki. Kondisi ini membuat kita menjadi insecure, which is sangat mengganggu kejiwaan. Kalau dulu kita adalah pusat perhatian, pusat orbit, sekarang tiba-tiba kita bukan siapa-siapa lagi. Kehilangan perhatian, kehilangan dukungan dan bahkan kehilangan cinta kasih.

Ini makin parah kalau “lawan” kita justru hepi-hepi saja, ketawa-ketiwi bareng orang lain dan orang-orang banyak kemudian memujinya. Sakit! Perih! Dan entah kata apalagi yang pas untuk menggambarkan perasaan mantan yang ada dalam kondisi seperti itu.

Jadi harap dimaklumi kalau kemudian ada mantan yang mencoba caper, mencari-cari perhatian dengan mengusik-usik kehidupan “lawan”-nya, atau memohon-mohon belas kasihan kepada orang lain. Apapun agar dia diperhatikan.

Para mantan yang seperti itu harusnya tidak boleh dianiaya, dirisak atau bahkan sekadar dihujat. Kita yang harus dewasa memahami perasaannya. Kita yang harus welas asih memahami rasa perih yang disandangnya. Tidak usah sampai berlebihan menanggapinya apalagi menjadikannya bahan risak. Hargailah mantan!

Mungkin pemerintah sebaiknya memang membuat sebuah badan khusus untuk memaintain mantan. Mantan apapun. Sebaiknya badan ini dibuat untuk memberdayakan para mantan agar hidupnya jadi lebih cerah, lebih fokus dan lebih bisa berbuat banyak untuk Indonesia. Bagaimana kalau pemerintah membuat Badan Pemberdayaan Mantan? Bisa disingkat BAPERAN. Usul yang bagus, hah? [dG]