Sawala Pete-Pete Kota Daeng
Pete-pete semakin terjepit. Siapa yang harus bertanggung jawab?
Senin (6 Februari 2017) yang lalu, ratusan supir angkot –atau dalam istilah di kota Makassar pete-pete – melaukan demonstrasi besar-besaran. Aksi ini digelar sebagai bagian dari aksi tuntuntan mereka. Ada beberapa hal yang mereka tolak, di antaranya: menolak pete-pete smart, menolak pembangunan halte bus, menolak penggunaan bus BRT, menolak kenaikan biaya pengurusan STNK dan ijin operasi serta menolak kehadiran taksi online atau kendaraan online lainnya.
Dari beberapa laman berita daring, pemerintah kota Makassar lewat Walikota Dany Pomanto hanya berkomentar kalau demonstrasi itu bermuatan politis. Dia tentu gerah karena program pete-pete smartnya juga kena sasaran demonstrasi supir pete-pete.
Tentang pete-pete smart andalan pak walikota itu, bisa dibaca di sini
Sementara itu pihak DPRD SulSel katanya siap memfasilitasi tuntuntan supir pete-pete itu untuk menolak taksi online. Bahkan salah satu anggota DPRD SulSel bernama Syamsuddin Karlos mengaku siap mengundurkan diri kalau saja izin taksi online di Makassar jadi dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Permasalahan ini memang jadi pelik karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Setidaknya ada tiga pihak yang bersiteru di sini, dengan kepentingan masing-masing tentu saja.
Ada pihak konsumen atau warga pengguna angkutan umum, ada pihak supir pete-pete yang sehari-hari menggantungkan hidup dari jalanan serta ada pihak pemerintah yang punya kuasa mengatur regulasi. Ketiganya punya kepentingan sendiri.
Konsumen tentu mencari pilihan paling efektif, murah dan nyaman. Dalam urusan apapun, termasuk transportasi. Bukan rahasia umum kalau selama ini pete-pete di kota Makassar mulai dianggap sebagai pilihan paling terakhir. Supir yang ugal-ugalan, tidak taat aturan dan banyak lagi alasan lain membuat banyak orang mulai berpaling dari pete-pete. Alasan lainnya mungkin karena orang jadi lebih mudah punya kendaraan pribadi, minimal motor. Jadilah pete-pete hanya berharap pada warga yang tidak mampu membeli atau mengendarai kendaraan pribadi, atau ibu-ibu yang pergi-pulang ke pasar dan berbelanja dalam jumlah banyak.
Hadirnya pilihan baru berupa kendaraan online (baik mobil maupun motor) makin membuat konsumen sumringah. Bayangkan, untuk mencapai satu tempat konsumen bisa mendapatkan penawaran harga yang lebih murah dibanding memilih pete-pete. Belum lagi soal efektivitasnya. Tak perlu naik-turun pete-pete atau menunggu lama.
Sementara itu, pete-pete dijalankan oleh manusia yang sepenuhnya menggantungkan hidup dari kendaraan roda empat itu. Konsumen yang semakin banyak pilihan membuat mereka makin terdesak. Pendapatan turun drastis, tak lagi seperti dulu. Ini makin diperparah ketika walikota Makassar juga muncul dengan ide baru: pete-pete smart. Ibaratnya, sudah terjepit, didorong pula.
Kuncinya ada di pemerintah kota Makassar. Bagaimana mereka bisa mengambil jalan tengah yang minimal memuaskan kedua pihak itu.
Sampai sekarang saya masih belum paham sebenarnya, apa yang ada di kepala pemangku kuasa pemerintah kota Makassar hingga bertekad baja merealisasikan proyek pete-pete smart? Kenapa mereka tidak bersinergi saja dengan pemerintah provinsi untuk fokus ke Bus Rapid Trans Mamminasata?
Saya tidak mau berburuk sangka soal itu, biarlah itu jadi urusan mereka sampai ada jawaban yang benderang.
Kita kembali ke soal pete-pete.
Buat saya, pete-pete bagaimanapun harus tetap dilestarikan. Terlalu banyak hal yang dipertaruhkan di sana, baik itu sisi sosial, historis atau ekonomi. Para supir pete-pete sebagian besar datang dari masyarakat golongan bawah yang tentu saja punya kompleksitas masalah yang kadang sulit dipahami masyarakat golongan menengah apalagi golongan atas. Mematikan mata pencaharian mereka bisa berimbas pada masalah sosial baru.
Di sisi historis, pete-pete sudah ada sejak jaman kota ini mulai menjadi moderen. Hanya bentuknya saja yang berevolusi jadi seperti sekarang. Melepaskan sisi historis begitu saja tentu tidak bijak. Kalau kata Bung Karno: JAS MERAH. Jangan sampai melupakan sejarah.
Lalu sebaiknya bagaimana?
Ya mana saya tahu, saya tidak digaji oleh pemerintah kota untuk memikirkan masalah ini hahaha. Satu hal yang paling duluan muncul di kepala saya adalah: peningkatan kapasitas supir pete-pete, lewat apapun caranya. Intinya agar mereka bisa profesional dalam menjalankan tugas sehingga bisa memupus imej negatif tentang supir yang ugal-ugalan dan urakan. Mungkin harus ada semacam sertifikasi? Entahlah. Harus ada kajian mendalam tentang ini, itupun kalau pihak pemerintah kota Makassar memang peduli pada nasib mereka.
Jangan sampai pete-pete benar-benar hilang, apalagi dengan cara perlahan dan menyakitkan. Bagaimanapun para supir pete-pete adalah manusia, sama seperti kita. Begitulah kira-kira pemikiran dari seorang warga yang sudah lama tidak naik pete-pete.[dG]