Mencari Kos: Bagian Dua

Cerita mencari kosan di Manokwari, kota yang sekarang jadi tempat saya berdomisili untuk sementara.

Manokwari, akhir April 2021. Hari kedua saya di ibu kota Papua Barat ini. Saya masih tinggal di hotel yang disediakan oleh kantor, tapi masa tinggalnya sudah hampir berakhir. Saya harus menemukan kamar kos sebagai tempat saya tinggal selama tugas di Manokwari. Langsung terbayang kejadian yang hampir sama tiga tahun lalu di Jayapura. Ketika tiba di Jayapura, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari kamar kos di Jayapura.

Dan sekarang, saya kembali melakoni hal yang sama.

Sebelum ke Manokwari saya sudah melakukan riset sederhana, baik dengan menanyakan langsung kepada teman-teman yang sudah lebih dulu tinggal di Manokwari, maupun lewat media sosial. Dari hasil riset sederhana itu saya mendapatkan fakta kalau harga kamar kos di Manokwari hampir sama dengan harga kamar kos di Jayapura.

Satu kamar kosong tanpa perabotan sama sekali dengan kamar mandi di luar dibanderol dengan harga sekitar Rp600.000,- hingga Rp1.000.000,- per bulan. Lalu, kamar kos dengan fasilitas standar seperti tempat tidur, lemari, meja kecil dan kamar mandi dalam berada di kisaran antara Rp1.000.000,- sampai Rp1.500.000,-. Dengan kisaran seperti itu biasanya ada juga yang sudah termasuk wifi. Semakin mahal tentu fasilitasnya juga semakin banyak, termasuk dapur.

Jadi dengan harga segitu saya mulai mempersiapkan bajet. Bayangan saya dana yang saya siapkan per bulannya maksimal Rp2.000.000,- untuk sebuah kamar kos.

Mencari Lewat Media Sosial

Saya bergantung hampir sepenuhnya pada media sosial, lebih tepatnya pada Marketplace Facebook. Itu lebih menghemat tenaga daripada harus jalan sendiri ke beberapa wilayah mencari kamar kos. Sebagai alternatif kedua ya lewat informasi dari teman-teman yang sudah lebih dahulu ada di Manokwari. Mencari sendiri masuk sebagai opsi ketiga kalau opsi pertama dan kedua belum berhasil.

Hari kedua di Manokwari, saya mengunjungi salah satu rumah kos yang direkomendasikan seorang teman. Menurut dia, harganya lumayan mahal karena berkisar antara Rp2.5 juta sampai Rp3 juta sebulan. Sedikit di atas bajet saya, tapi biarlah saya lihat dulu. Konon, harganya memang mahal karena fasilitasnya memang lumayan. Kamar kira-kira 4 x 5 m, ada kamar mandi di dalam, ada tempat tidur, lemari, dapur kecil, AC, dan wifi. Fasilitas yang masuk akal untuk harga Rp2,5 juta per bulan.

Wisma Edinburg, kos esksklusif di Manokwari

Saya gagal melihat langsung isi kamarnya, karena ternyata semua kamar yang berharga Rp2,5 juta per bulan sudah terisi penuh. Tinggal kamar-kamar yang bertarif Rp3 juta per bulan. Saya memutuskan untuk tidak mengecek kondisi dan fasilitas kamarnya karena percuma saja. Harga Rp3 juta sudah jauh di atas bajet saya.

Jadi saya memutuskan untuk berlalu.

Target berikutnya adalah sebuah kamar kos yang saya temukan di beranda Marketplace Facebook. Harganya lebih murah, Rp1.850.000,- per bulan dengan fasilitas yang sama. Kamarnya bahkan lebih luas, setidaknya itu yang terlihat dari foto di Facebook. Kekurangannya hanya satu, tidak ada fasilitas wifi.

“Belum dipasang pak, baru kita rencana mau pasang,” kata perempuan pemilik kosan itu ketika saya hubungi.

Saya sudah berniat untuk melihat langsung lokasinya ketika saya tertumbuk pada satu bangunan kos yang lain. Lebih murah, sebulan hanya Rp1.500.000,- sudah termasuk kasur, lemari, kamar mandi dalam, dan wifi. Kekurangannya ada dua, kamarnya lebih kecil hanya berukuran 3×3 m dan tidak ada AC, hanya ada kipas angin.

Kamar kos kedua ini sepertinya menarik perhatian saya, salah satunya karena fasilitas wifi. Saya tidak bisa membayangkan sulitnya hidup di kamar kos tanpa wifi karena salah satu pusat hiburan saya adalah internet. Lagipula, harga kamar kos kedua ini lebih murah dari yang pertama.

Akhirnya Memutuskan

Dengan bantuan supir kantor, saya akhirnya mencari tahu lokasi kamar kos kedua sebelum rencananya melihat lokasi kamar kos pertama. Setelah sempat tersesat dan salah jalan dua kali, saya akhirnya sampai ke lokasi kamar kos pertama. Ternyata, lokasinya dekat dengan kantor, hanya sekitar 400-an meter. Sangat strategis karena bisa memangkas ongkos transportasi.

Selain itu di sekitar kosan ada banyak pedagang makanan dan warung, dua kombinasi penyelamat buat anak kos. Plus, ada beberapa tempat laundri juga.

Sekarang tinggal melihat kamarnya seperti apa.

Setelah melihat kondisi kamarnya, saya tanpa ragu langsung mengiyakan akan mengambil satu kamar yang tersisa. Kamarnya memang agak sempit, tapi bersih karena bangunannya masih tergolong baru. Hanya ada tiga kamar kos di lantai dua, dan dua kamar lainnya sudah terisi oleh bapak-bapak. Golongan yang menurut saya tidak akan merepotkan dengan segala tetek bengek basa-basi yang tidak perlu. Plus, mereka juga pekerja jadi pastilah akan lebih banyak memilih beristirahat di kosan daripada nongkrong tidak jelas di depan kosan.

Pokoknya saya sudah merasa sreg dengan lokasi dan kondisi kamar kos. Lebih sreg lagi setelah si bapak kos melontarkan kalimat, “Bapak ambil Rp1.2 juta saja per bulan.” Lumayan, hemat lagi Rp300.000,-.

Kamar kos yang akhirnya saya ambil

Belakangan ketika resmi pindah ke kosan, saya makin sreg ketika tahu kalau kecepatan wifinya ternyata begitu menyejukkan. Kecepatannya sekitar 20an Mbps, dan lumayan stabil. Persis seperti yang saya butuhkan. Kecepatan internet itu bahkan bisa menekan kenyataan kalau kamarnya terasa sangat sempit. Sebenarnya kamar ini tidak terlalu sempit kalau saja kasur yang dipasang adalah kasur ukuran satu badan. Tapi, sang pemilik kos malah menempatkan kasur ukuran queen yang cukup mengambil tempat.

Tapi tak apalah, toh rasanya tetap nyaman.

*****

Seminggu sudah saya di Manokwari, dan tiga malam sudah saya menghabiskan malam di kosan yang baru. Sejauh ini semua seperti berada di trek yang lurus. Kamar cukup nyaman meski sempit, tetangga kos tidak ada yang ribut dan pusing sama urusan orang lain, dan yang paling penting kecepatan internet sangat mendukung. Mudah-mudahan saya benar-benar bisa betah di kosan ini sampai waktu kontrak kerja selesai. [dG]