Kereta Api, Dulu dan Sekarang


Teringat pengalaman zaman dulu menumpang kereta api ekonomi. Sungguh jauh berbeda dengan zaman sekarang.


Yogyakarta 2012. Saya berdiri di depan stasiun kereta Yogyakarta yang kerap disebut Stasiun Tugu. Saya seharusnya sudah bergerak ke Jakarta sesuai skedul, karena besoknya saya harus meninggalkan Jakarta menuju Makassar, kota saya. Tiket pesawat sudah di tangan, tapi tiket kereta belum. Mbak-mbak di loket sudah jelas menggelengkan kepala ketika saya menanyakan apakah tiket kereta ke Jakarta masih ada atau belum. Habis, katanya.

Bingunglah saya. Tiket pesawat balik ke Makassar sudah ada, tapi tiket ke Jakarta yang belum. Waktu itu, pemesanan tiket memang belum semudah sekarang. Hanya ada layanan penjualan tiket di loket dan website PT. KAI. Belum ada website seperti Traveloka, misalnya. Semua masih serba sulit, lama dan kadang tidak nyaman. Tidak seperti zaman sekarang, zaman ketika memesan tiket kereta api Surabaya ke Jakarta nyaman dan cepat dengan Traveloka.

Sebelum aplikasi perjalanan seperti Traveloka hadir, membeli tiket untuk perjalanan memang lebih sulit. Seperti yang saya ceritakan di atas. Datang ke stasiun belum berarti ada jaminan kita akan dapat tiket dan bisa naik kereta. Beli lewat website resmi PT. KAI pun kala itu belum semudah sekarang.

Tapi zaman memang terus berubah ya? Hal yang dulu begitu sulit, sekarang sudah jauh lebih mudah. Termasuk urusan beli membeli tiket kereta api.

Dulu, Kereta Ekonomi Adalah Neraka

Tahu sendirilah, kereta api di Indonesia termasuk moda yang paling diminati. Kemampuannya mengangkut penumpang dalam jumlah banyak dalam satu perjalanan yang dibarengi dengan kecepatan yang tinggi membuatnya jadi pilihan banyak orang. Yah memang sih kereta api antar provinsi yang lancar baru ada di Jawa. Pulau lain seperti Sumatera juga punya, tapi belum semassif Jawa.

Saya ingat pertama kali menumpang kereta api, tepatnya sekitaran tahun 1993. Itulah pertama kalinya saya mencoba moda transportasi yang diciptakan oleh George Stephenson ini. Sampai sekarang saya masih ingat pengalaman pertama itu. Namanya pengalaman pertama kan ya, pasti akan selalu terkenang.

Tapi di antara pengalaman naik kereta, ada satu pengalaman yang paling berkesan buat saya. Kejadiannya sekitar tahun 2002. Kala itu saya berangkat dari Jakarta menuju Surabaya dan terpaksa menggunakan kereta api ekonomi. Saya lupa namanya, tapi saya ingat kalau saya terpaksa menumpang kereta api ekonomi karena kesesuaian jadwal. Dari Surabaya saya masih harus menuju Makassar, dan hanya kereta api ekonomi yang jadwalnya sesuai dengan jadwal perjalanan saya dari Surabaya ke Makassar.

Baca juga pengalaman lain saya naik kereta api tanpa tempat duduk di sini

Kalau kamu baru beberapa tahun belakangan ini naik kereta ekonomi, maka saya perlu beri tahu kalau zaman itu kereta ekonomi belum seperti sekarang. Lupakan nomor kursi di tiket yang kamu pegang, karena bisa saja kursimu sudah diduduki orang lain. Kereta api kala itu belum menetapkan batas penumpang. Siapa saja boleh naik asal beli tiket. Tidak dapat kursi? Duduk saja di lorong atau di sambungan antar gerbong.

Di tiket saya sebenarnya ada nomor kursi, tapi begitu masuk ke gerbong yang dimaksud pemandangan di depan mata membuat saya berpikir dua kali. Ratusan orang berdesakan di gerbong tersebut, suasana pengap dan gerah langsung menyapa. Seorang pria dengan kaus kutang duduk di kursi yang seharusnya saya duduki, sesuai nomor di tiket saya. Dia mengipasi badannya dengan lembaran koran. Di sebelahnya seorang perempuan duduk memangku bayi. Si pria berkaus kutang itu tersenyum ramah pada saya, membuat saya jadi tidak tega untuk memintanya berpindah tempat.

Suasana kereta ekonomi kala itu

Saya menyerah. Berjalan terus ke arah belakang ke sambungan antar gerbong dan akhirnya memilih duduk di sambungan antar gerbong, tepat di depan toilet. Hanya itu daerah yang kosong dan lumayan sejuk karena pintu yang tidak berjendela. Tapi, ada tapinya. Toilet tepat di depan saya baunya naudzubillah. Mungkin sudah berbulan-bulan tidak pernah bertemu dengan air, sementara penghuni kereta masih saja rajin menggunakannya. Setidaknya untuk buang air kecil.

Tapi saya tidak ada pilihan lain. Duduk di lorong di dalam gerbong saya yakin saya tidak tahan. Terlalu pengap dan gerah.

Walhasil, selama sepuluh jam lebih saya duduk di depan toilet. Mencoba menahan rasa mual karena bau dari toilet yang tidak pernah dibasuh. Untung angin dari pintu tak berjendela bisa mengusir sedikit dari bau itu. Di samping saya duduk seorang lelaki yang membawa seekor ayam dalam keranjang. Ketika di suatu titik saya begitu pegal dan mencoba berdiri meluruskan punggung, si bapak dengan tanpa rasa berdosa menaruh ayamnya di tempat saya duduk.

“Wah, saya masih mau duduk pak,” kata saya.

“Oalah, maaf. Tak kira sampeyan sudah mau turun,” katanya sambil nyengir.

Satu jam menjelang Surabaya, saya akhirnya bisa duduk dengan nyaman di dalam gerbong. Ada banyak kursi yang kosong, dan suasana tidak lagi sesumpek dan segerah semalam ketika kereta meninggalkan Stasiun Pasar Senen.

Luar biasa, badan rasanya pegal-pegal karena sepanjang jalan hanya bisa tidur duduk di lantai kereta yang keras. Kaki saya yang panjang hanya bisa terlipat sepanjang jalan, tidak bisa lurus. Sungguh pengalaman berkesan yang rasanya tidak ingin saya ulang lagi.

Berubah Banyak.

Selepas kejadian itu saya makin sering menumpang kereta. Baik dari Surabaya ke Jakarta, Jakarta ke Semarang atau sebaliknya, ataupun dari Jakarta dan Surabaya ke kota-kota lain di Jawa. Tapi tidak pernah lagi saya berani menumpang kereta kelas ekonomi. Pengalaman traumatis di tahun 2001 itu membuat saya selalu menghindari kereta ekonomi.

Saya baru merasakan kembali kereta ekonomi sekitar empat tahun lalu dari Kebumen ke Jakarta. Terpaksa, sekali lagi karena soal jadwal dan ketersediaan kursi. Tapi, pengalaman kali ini jauh berbeda dengan pengalaman tahun 2001 itu.

Suasana duduk di sambungan gerbong tahun 2011

Kereta ekonomi sudah berubah banyak, tidak lagi seperti dulu. Pertama, tiket yang dijual hanya sesuai jumlah kursi di dalam kereta. Tidak ada lagi pemandangan orang yang bertumpuk duduk di lorong atau di sambungan kereta. Semua dapat tempat duduk. Itu tentu saja menyenangkan karena kita tidak perlu kuatir duduk di lantai keras sepanjang jalan, atau bahkan di depan toilet di sambungan antar kereta.

Kedua, kereta ekonomi pun sudah ada pendingin ruangannya. Tidak ada lagi suasana pengap dan gerah karena semua sudah nyaman dengan pendingin ruangan. Meski kursinya tidak senyaman kursi kereta kelas bisnis apalagi eksekutif, tapi jelas jauh lebih nyaman dari kursi kereta ekonomi zaman dulu. Lebih empuk dan lumayan bisa dipakai untuk tidur.

Perubahan ini cukup mengagumkan. Setidaknya kenyamanan naik kereta sudah jauh membaik, meski tentu saja harganya jadi lebih mahal. Tapi tidak masalah kan? Ada harga ada mutu.

Di sisi lain, kemudahan membeli tiket pun jauh membaik. Kalau dulu kita hanya bisa membeli tiket langsung di loket, sekarang sudah tidak perlu lagi capek-capek ke loket. Beberapa hari sebelum keberangkatan, tiket sudah bisa dipesan secara daring. Baik itu langsung ke website PT. KAI, maupun ke aplikasi seperti Traveloka. Sudah jauh lebih cepat dan nyaman.

*****

Kereta api memang jadi salah satu primadona transportasi di pulau Jawa. Cepat, nyaman dan mampu membawa banyak orang jadi alasan banyak orang memilihnya. Sayangnya, pulau lain di luar Jawa belum mampu menikmati kenyamanan transportasi yang sama. Saya masih membayangkan kereta api akan hadir di Makassar, melintasi kabupaten dan bahkan provinsi hingga ke utara pulau Sulawesi. Embrionya sudah ada, tinggal menunggunya jadi janin.

Semoga saja kenyamanan dan kemudahan kereta api, bahkan dari Surabaya di ujung timur hingga Jakarta di barat pulau Jawa bisa dinikmati warga lain di luar pulau. Dan semoga umur saya masih panjang saat mimpi itu hadir. [dG]