Kapan Punya Tato?
Salah satu hal yang sampai sekarang membuat saya penasaran adalah punya tato.
Kata orang, bikin tato itu addict. Bikin satu, maka berikutnya akan bikin lagi. Karena satu tidak akan cukup. Kalau tato pertama jelek, maka akan muncul pikiran untuk membuat tato kedua yang lebih bagus. Sebaliknya, kalau tato pertama sudah bagus maka akan muncul pikiran kalau tato berikutnya juga harus lebih bagus. Itu kata orang yang sudah pernah menato badannya. Salah satunya adalah seorang teman yang saya kenal baik.
Katanya, setelah berpikir panjang dan lama akhirnya tahun 2021 dia memutuskan untuk merajah tubuhnya dengan sebuah tulisan. Karena hasilnya bagus dan dia puas, maka muncul pikiran lain untuk menambah tato lain. Dan kemudian berikutnya, lalu berikutnya. Hingga akhirnya kalau tidak salah sampai hari ini dia sudah punya empat tato.
Tradisi Zaman Dulu
Tato atau rajah tubuh memang sudah jadi bagian panjang dalam kehidupan manusia. Charles Darwin pernah bilang bahwa sepertinya tidak ada bangsa di dunia yang tidak mengenal dan mempraktikkan tato. Tujuannya pun beragam.
Beberapa suku menorehkan tato di tubuh mereka sebagai penanda selepas peperangan atau pertumpahan darah. Mereka “menghias” luka akibat perkelahian tersebut sebagai penanda. Ada juga suku yang sengaja menggunakan tato sebagai persembahan untuk dewa mereka, atau mempraktikkan tato sebagai sebuah ritual penyembuhan penyakit. Namun, yang paling umum adalah penggunaan tato sebagai penanda status sosial seseorang di dalam komunitasnya.
Di abad kedelapan sampai abad keenam sebelum masehi, orang-orang Yunani dan Roma menorehkan tato di tubuh budak serta pelaku kriminal sebagai penanda bila mereka ada di tempat umum atau lepas dari penjara. Praktik tato ini dicontoh orang Yunani dari orang-orang Persia. Perilaku ini juga yang saat itu membuat munculnya stigma kalau pemilik tato adalah orang barbar atau jahat.
Di Jepang, organisasi Yakuza yang akrab dengan tindak kriminal juga menandai diri mereka dengan tato yang bahkan tergambar di sekujur tubuh, utamanya di punggung. Bedanya, tato para Yakuza terlihat begitu indah karena dikerjakan dengan cita rasa seni yang tinggi dan dengan teknik tato yang sangat baik.
Di Indonesia, salah satu suku yang paling terkenal dengan seni tatonya adalah suku Dayak. Orang dari suku itu – baik laki-laki maupun perempuan – menorehkan tato di tubuh sebagai bagian dari kehidupan religi mereka. Motifnya dianggap sangat menarik dan penuh makna.
Saking menariknya motif tato Dayak, seorang Anthony Kiedis yang adalah vokalis band terkenal Red Hot Chili Peppers sampai rela masuk hutan Kalimantan, bertemu langsung dengan orang suku Dayak dan tentu saja menato badannya dengan tato khas orang Dayak. Anthony Kiedis memang terkenal dengan beragam tato tribal di tubuhnya.
Tato dan Orde Baru
Meski beberapa suku di Indonesia akrab dengan tato, namun kehadirannya tidak serta merta diterima secara luas. Apalagi di zaman Orde Baru. Rezim militer waktu itu sangat mengagungkan keteraturan dan kerapihan, khas militer. Salah satunya adalah menumbuhkan kebencian pada rambut gondrong dan tato. Dua hal itu dianggap sebagai pertanda perlawanan terhadap kemapanan, buruk, bahkan dekat dengan pelaku kriminal.
Pemerintah Orde Baru waktu itu bahkan sempat membiarkan aksi penembakan misterius atau disebut Petrus. Alasannya adalah menekan tingkat kriminalitas jalanan yang meresahkan di beberapa kota. Aksi ini ditandai dengan korban yang tergeletak tidak bernyawa akibat peluru yang bersarang di tubuhnya. Rata-rata mereka adalah orang yang dicurigai sebagai penjahat jalanan dengan ciri yang hampir sama; berambut gondrong dan bertato.
Di zaman itu tato memang jadi salah satu penanda orang yang telah dipenjara. Konon, untuk membunuh rasa bosan di dalam sel, mereka mulai saling menato badan. Tato ini juga sekaligus untuk menandai masa-masa yang mereka habiskan di dalam sel. Gambarnya hampir selalu sama dan bisa dikenali dengan mudah. Kalau bukan gambar perempuan setengah telanjang, biasanya gambar elang, ular atau naga. Gambarnya sangat biasa, berbeda dengan tato yang dibuat di studio tato. Tentu karena alat tatonya yang sangat sederhana dan jauh dari kata higienis.
Saya masih ingat betul, ketika masih kecil saya suka terkesiap kalau melihat laki-laki bertato – biasanya di lengan bagian atas – dengan gambar ular atau perempuan. Kepala saya langsung menggambarkan sosok penjahat yang menakutkan. Pokoknya di zaman itu, laki-laki bertato sama dengan penjahat. Apalagi perempuan, sudah pasti dia dicap sebagai “perempuan tidak benar”.
Tato Sebagai Seni
Setelah kejatuhan Orde Baru di akhir milenium pertama, suasana Indonesia berubah drastis. Kehidupan menjadi lebih bebas tanpa kekangan atau represi rezim. Orang menjadi lebih bebas berekspresi, termasuk merajah tubuhnya.
Secara global, kehadiran tato pun menjadi sangat biasa. Bukan lagi dianggap sebagai simbol pelaku kejahatan, simbol religi, maskulinitas, atau simbol perlawanan. Tato semata-mata hanya bagian dari ekspresi seni yang kebetulan menggunakan tubuh sebagai kanvasnya.
Di awal tahun 2000-an semakin mudah orang menemukan pria atau wanita bertato yang muncul di media. Para musisi, penyanyi, hingga olahragawan muncul dengan beragam tato di tubuh mereka. Sangat berbeda dengan pemandangan tahun 1980-an ketika tato hanya akrab dengan musisi metal atau rock yang memang akrab dengan pemberontakan atau perlawanan. Di tahun 2000-an ke atas, tato adalah milik semua orang. Tidak ada lagi pembedaan kelas karena tato. Mungkin hanya pembeda kelas berdasarkan hasil tatonya saja.
Kalau dulu saya memandang laki-laki atau perempuan yang punya tato sebagai gambaran orang jahat dan kriminal, saat ini sudah berubah sama sekali. Saya memandang mereka yang memakai tato dengan pandangan kagum. Apalagi kalau tato mereka dibuat dengan gambar yang menarik. Saya menganggap itu sebagai bagian dari seni dan ekspresi.
*****
Jujur, saya juga kepengen punya tato. Rasanya iri melihat orang yang bisa punya tato bagus di tubuh mereka, dan ada rasa untuk memilikinya juga. Hanya saja saya belum berani. Saya masih takut membayangkan bagaimana marahnya Ibu di alam sana kalau melihat saya menato badan. Beliau yang taat beragama tentu masih percaya kalau tato itu melanggar kepercayaan yang beliau anut. Dan saya masih belum berani membuat beliau marah. Tapi mungkin suatu saat nanti saat saya pada akhirnya menemukan cara untuk membuat beliau tidak marah, saya akan menato badan saya.
Mungkin di saat itu pada akhirnya saya akan bilang, “Akhirnya saya punya tato.” Mungkin ya. Entahlah. [dG]