Gara-Gara Asian Games!

Gara-gara Asian Games, animo orang Indonesia terhadap ajang olahraga jadi membesar. Gara-gara Asian Games juga kita bisa rehat sejenak dari pertarungan absurd cebong vs kampret.


Antusiasme seorang penonton Asian Games
(foto: Antara)

KERIUHAN PESTA OLAHRAGA TERBESAR SE ASIA itu sebentar lagi akan berakhir. Bermula tanggal 18 Agustus kemarin, dan akan berakhir besok tanggal 2 September. Hanya dua pekan lebih, tidak seperti Piala Dunia yang sampai sebulan. Tapi, meski cuma dua pekan lebih, tapi keriuhannya ternyata cukup membahana di seantero negeri yang menjadi tuan rumah, Indonesia.

Ini kedua kalinya Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games setelah pertama kalinya dihelat tahun 1962, jadi pantas saja keriuhannya sangat terasa.



Terus terang, awalnya saya agak ragu sebelum ajang ini digelar. Ragu kalau keriuhannya akan cukup kuat untuk melepaskan saraf yang tegang akibat pertikaian politik dalam negeri. Bukan apa-apa, beberapa hari menjelang pembukaan Asian Games, Indonesia sudah dihebohkan oleh pengumuman calon presiden dan wakil presiden tahun 2019. Pesertanya hanya dua pasang, mengulang kejadian 2014 yang berarti meneruskan pertempuran pendukung dua kubu yang kadang tingkat perseteruannya sudah masuk ke tingkat paling absurd.

Bayangan saya, perseteruan absurd ini akan berlanjut selama penyelenggaraan Asian Games dan pada akhirnya akan menurunkan minat menikmati Asian Games. Tanda-tandanya sudah terlihat sejak pembukaan Asian Games yang meriah itu.

Pihak pendukung petahana begitu larut dalam keceriaan sekaligus membanggakan adegan pembuka saat presiden Jokowi menunggang motor sport ke Gelora Bung Karno. Sebaliknya, pendukung pihak oposisi memuaskan diri dengan hujatan, cemoohan sampai hanya sindiran. Alih-alih menikmati pesta pembukaan secara terang-terangan, mereka malah sibuk mencemooh penggunaan pemeran pengganti dan menuduhnya sebagai lambang penipuan. Namanya cemoohan pasti dibalas dong, dan jadilah media sosial dibentuk menjadi ring yang menggelar pertarungan antara cebong dan kampret, tanpa wasit dan hanya ada penonton yang terus bertepuk meriah.

Lah? Terus Asian Games-nya bagaimana?

Untungnya perseteruan absurd yang melelahkan itu hanya berlangsung sebentar. Begitu beragam ajang olahraga digelar, perseteruan itu mulai memudar, berganti dengan sorak sorai kegembiraan atau teriakan kekecewaan. Apalagi ketika tim Indonesia turun ke lapangan dan memenangkan pertandingan. Dukungan mulai mengalir, media sosial mulai ramai dengan update soal perolehan medali Indonesia. Orang Indonesia mulai tersedot animonya ke ajang pertarungan sebenarnya di lapangan Asian Games.

Bersatu Karena Emas

LALU PERLAHAN-LAHAN PERJUANGAN ATLET INDONESIA mulai menunjukkan hasilnya. Perolehan medali Indonesia mulai bertambah. Dari perunggu, perak sampai emas. Perolehan ini pelan-pelan membuat animo warga Indonesia untuk menikmati Asian Games semakin besar. Setiap hari, keriuhan Asian Games jadi perbincangan. Baik di media sosial, grup chat sampai di dunia nyata.

Ketika televisi menayangkan siaran langsung pertarungan atlet di lapangan, seketika itu juga media sosial Indonesia dipenuhi dengan konten tentang Asian Games. Apalagi di cabang olahraga yang sudah lama jadi cabang olahraga favorit Indonesia seperti bulutangkis dan sepakbola. Di belakang hari cabang olahraga lain seperti pencak silat juga berhasil menjadi cabang olahraga favorit setelah menyabet begitu banyak medali emas untuk Indonesia.

Perolehan medali emas dan perjuangan para atlet pelan-pelan menyatukan Indonesia. Secara tidak sadar para cebong dan kampret yang tadinya sibuk berkelahi sekarang menatap ke layar yang sama; Asian Games. Mereka memang sempat mendapat satu kesempatan untuk berkelahi lagi ketika cabang olahraga pencak silat panen emas, tentu saja karena ketua Ikatan Persatuan Pencak Silat Indonesia adalah bapak Prabowo Subianto yang adalah pemimpin gerbong oposisi. Tapi perseteruan jilid sekian para cebong dan kampret seketika berakhir ketika pak Prabowo dan pak Jokowi berhasil dibuat berpelukan oleh Hanifan Yudani Kusumah, pesilat peraih medali emas.


Momen mengharukan ketika Jokowi dan Prabowo berpelukan
(foto: Antara)

Tiba-tiba perseteruan cebong vs kampret jadi terasa basi, untuk sementara. Iya, untuk sementara karena selanjutnya perseteruan itu pasti akan berlanjut lagi.

Kembali ke Asian Games.

Animo tinggi masyarakat ini sangat terasa bukan hanya di media sosial, tapi juga di dunia nyata. Venue tempat berlangsungnya pertandingan (utamanya cabang olahraga favorit) selalu dipadati penonton. Beberapa orang bahkan kesulitan mendapatkan tiket. Di sebuah tayangan langsung ajang atletik di televisi, seorang komentator yang juga mantan atlet sampai bilang, “Ini luar biasa. Dulu kami kalau bertanding, penontonnya cuma sedikit. Bahkan kadang ya panitia saja yang jadi penonton,”


Tim estafet 100 m putra Indonesia yang membanggakan
(foto: Antara)

Ketika ke Asmat beberapa hari lalu, saya juga bisa merasakan animo tinggi tersebut. Di atas kapal menuju Agats, puluhan orang ramai-ramai berkumpul di kafetaria menyaksikan tayangan final ganda putra bulutangkis. Di kota Agats, sebuah warung makan juga menayangkan pertandingan bola voli putri Indonesia melawan Thailand. Karyawan rumah makan tersebut terus terlihat serius dan tegang menatap layar televisi, sementara para pengunjung juga sibuk mengomentari pertandingan.

Bahkan di tempat yang jauh dari Jakarta tempat pertandingan Asian Games berlangsung, animo masyarakat masih tetap terasa.

Animo warga -utamanya warganet – bukan hanya sekitar pertandingan, tapi juga di beragam kejadian-kejadian di luar pertandingan. Saat Jojo melakukan selebrasi selepas pertandingan, banyak kaum Hawa yang heboh. Ketika tim voli putri Filipina dan Kazakhstan main, banyak kaum Adam yang kasak-kusuk. Ketika Wewey Wita menuliskan ceritanya, banyak warganet yang bersimpati. Sangat terasa bagaimana Asian Games menjadi magnet yang besar, yang mampu menarik perhatian banyak orang Indonesia.


Tm voli putri Indonesia yang meski tidak juara tapi berhasil mencuri simpati penonton
(foto: Antara)

Bahkan, ada yang bercanda dan meminta agar Asian Games diperpanjang waktunya, atau agar setiap bulan ada Asian Games. Mereka adalah orang yang merasa menemukan oase menyejukkan di tengah gersangnya perseteruan cebong dan kampret di media sosial, atau di tengah hausnya kita akan prestasi olahraga.

Sekali lagi, olahraga menyatukan kita. Sesuatu yang kerap terjadi namun sering terlupakan.

*****

TAHUN 1992 SELEPAS PASANGAN SUSI SUSANTI DAN ALAN BUDIKUSUMA untuk pertamakalinya mempersembahkan medali emas bagi Indonesia di Olimpiade, saya ingat betul bagaimana Indonesia tiba-tiba demam bulutangkis.

Dengan mudah kita akan menemukan anak-anak yang menepok bulu, baik menggunakan raket betulan maupun yang hanya bermodal triplek yang dipotong menyerupai raket. Baik di lapangan betulan, maupun di lapangan tanah dengan net seadanya.

Kegembiraan menyeruak di hampir sekujur Indonesia waktu itu. Bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi selepas Asian Games ini. Banyak anak-anak yang akan memimpikan untuk bisa menjadi atlit, bertarung membawa nama Indonesia. Efek Asian Games bisa sampai sebesar itu, tinggal bagaimana menjaganya.

Gara-gara Asian Games, kita larut dalam keriaan komunal, dalam kegembiraan yang setara. Gara-gara Asian Games juga kita sejenak melupakan pertikaian absurd yang kadang membuat sakit kepala itu. Gara-gara Asian Games! [dG]