Dikepung Covid

Ketika tulisan ini saya buat, saya seperti sedang dikepung Covid-19. Banyak sekali orang di sekitar saya yang divonis positif Covid-19. Namun, suasananya memang sudah tidak seseram dulu.

Setahun yang lalu, Covid-19 akhirnya mampir ke rumah kami. Mamie terkonfirmasi positif dan terpaksa menjalani isolasi selama 10 hari sebelum akhirnya dinyatakan lulus sebagai alumni Covid-19. Setelahnya, Covid-19 memang pelan-pelan seperti mulai mengabur. Pelan-pelan tidak diacuhkan lagi oleh orang-orang. Setelah sekian lama terkungkung oleh rasa ketakutan dan beragam pembatasan, orang mulai bosan dan mulai lengah. Keluar rumah tanpa masker, berkumpul, berinteraksi secara dekat, pokoknya seolah Covid-19 memang sudah tidak ada.

Mungkin karena merasa dicuekin itulah, Covid-19 jadi tersinggung dan kemudian menyerang kembali dengan skala yang sama besarnya. Periode Juli-September 2021 muncul yang namanya varian Delta, mutasi dari varian sebelumnya. Sialnya, varian ini sangat menakutkan. Dalam rentang dua bulan itu, ketakutan akan Covid-19 kembali merebak. Jumlah orang yang terinfeksi melesat drastis, berbanding lurus dengan jumlah orang yang meninggal.

Rumah sakit kehabisan oksigen, orang-orang megap-megap susah bernapas, tukang gali kubur kecapean. Benar-benar situasi yang menakutkan. Beberapa orang yang saya kenal pun harus rela kehilangan orang tercintanya karena Covid-19 varian Delta ini.

Setelah badai Delta itu berlalu, situasi seperti kembali normal. Di beberapa tempat yang saya temui, orang-orang mulai lengah kembali. Masker? Apa itu masker? Cuma membuat kita sesak napas, kata mereka. Kumpul-kumpul? Ayo kita kumpul-kumpul, kata sebagian lainnya. Ekonomi kembali berputar, keramaian kembali muncul. Enyah kau Covid! Kata mereka.

Eh, Dia Kembali Lagi!

Ketika tahun berganti, varian Covid-19 pun berganti. Delta sudah tidak populer lagi, berganti dengan varian Omicron yang konon awalnya datang dari benua Afrika. Tadinya hanya jauh di negara seberang lautan sana, namun pelan tapi pasti mulai masuk ke Indonesia. Sama seperti sebelumnya.

Satu per satu orang Indonesia kena. Ada yang baru kena, ada juga yang terkena lagi. Sarjana S2 Covid, kata sebagian orang.

Jumlah penderita varian Omicron ini juga melesat dengan pesat, meski untungnya tingkat kematiannya tidak ikut menanjak. Sebagian besar orang hanya merasakan gejala ringan seperti demam, flu, dan tenggorokan gatal. Nyaris seperti flu biasa. Mereka pun hanya butuh istirahat total selama 10 hari dan mengonsumsi beberapa obat ringan sebelum kembali normal 100%.

Tingkat vaksinasi yang semakin tinggi dan jenis virus yang mulai melemah jadi faktor yang membuat Omicron ini tidak lagi seseram Delta atau varian awal. Manusia juga sudah mulai beradaptasi dengan virus Covid-19 ini, tidak lagi dibayangi ketakutan yang sama seperti nyaris dua tahun lalu, atau setahun lalu.

Covid di Sekitar Kita

Kata orang, varian Omicron ini lebih mudah menyebar, mudah menular. Meski kekuatan merusaknya memang tidak sedahsyat Delta. Dan ini terbukti, setidaknya di sekitar saya.

Dalam dua minggu ini beberapa teman satu per satu mulai dijangkiti virus Covid-19 varian Omicron. Ada yang tanpa gejala, ada yang bergejala ringan. Syukurnya tidak ada satupun yang bergejala berat. Mungkin karena semua sudah hidup dengan vaksin lengkap dan kondisi tubuh yang sehat tanpa komorbid. Akibatnya hanya maksimal merasa demam, flu, dan tenggorokan gatal, tanpa sesak napas. Mereka hanya diminta istirahat dan mengisolasi diri selama 10 hari sesuai anjuran Kemenkes. Tidak perlu obat macam-macam kecuali obat yang sudah disiapkan oleh Puskesmas. Setelah 10 hari itu mereka pun bisa beraktivitas kembali asalkan tidak ada lagi gejala. Tidak perlu tes lagi, walaupun kantor kami mensyaratkan harus tes PCR sebagai bukti.

Ada kecenderungan bahwa Covid-19 memang mulai melemah, sama seperti flu biasa. Dari pandemi sudah akan berubah menjadi endemi. Semoga saja benar.

Menjaga Diri

Sudah hampir seminggu ini juga saya benar-benar menjaga diri, mengisolasi diri sebisa mungkin. Satu per satu teman-teman sudah merasakan Omicron, dan saya berusaha untuk tetap tenang, tidak panik, dan tidak depresi.

Masker tetap dipasang, utamanya ketika berada di tempat ramai. Pembersih tangan terus ada di kantong, sedikit-sedikit disemprot atau dituangkan ke tangan. Baru kali ini tangan saya seperti mau mabuk kebanyakan alkohol. Olahraga ringan pun sesering mungkin saya lakukan, sekadar membuat badan tetap bergerak.

Beberapa hari lalu saya pernah merasa badan kurang fit, tenggorokan agak gatal, dan seperti ada gejala flu meski tidak demam. Saya rasa itu karena cuaca yang memang tidak menentu, kadang badai, besoknya panas terik, dan kegiatan terus berjalan. Saya menduga saya kecapean, meski saya tetap langsung menerapkan protokol kesehatan. Seorang teman lama yang datang ke hotel terpaksa saya tolak untuk bertemu, hanya sekadar menyapa sebentar sebelum saya kembali ke kamar. Saya tidak mau jadi carrier kalau ternyata saya memang terjangkit Omicron. Untungnya keesokan harinya setelah beristirahat dan minum vitamin, saya sudah segar kembali.

*****

Sampai hari ini saya percaya kalau Covid-19 masih ada di sekitar kita, dan buktinya saya juga dikepung Covid-19. Bedanya, kali ini saya menghadapinya dengan lebih santai. Protokol kesehatan tetap ketat seperti biasa, tapi tidak ada lagi ketakutan berlebihan. Kecuali bila sedang travel seperti sekarang. Bukan apa-apa, saya tidak mau diharuskan isolasi 10 hari di kampung orang, jauh dari keluarga dan teman. Siapa yang mau merawat?

Mari berharap, semoga Covid-19 ini terus melemah dan akhirnya akan jadi seperti flu biasa. Sebelum itu terjadi, kita hanya bisa menjaga diri sebisa mungkin. Semoga dijauhkan dari Covid-19 yang berbahaya. Sehat-sehat ya kalian semua! [dG]