Berita Buruk
Rentetan empat berita buruk dalam satu hari. Sungguh hari yang berat dan membuat saya susah tidur.
Rabu 24 Mei 2017. Hari itu jadi hari yang aneh buat saya. Dalam rentang kurang dari 24 jam beberapa berita buruk datang menghampiri. Sebagiannya nyaris seperti berentetan, sambung menyambung.
Dimulai dari berita buruk di siang harinya. Penangguhan penahanan Ibu Nuril ditolak majelis hakim. Wanita yang dibawa ke depan meja hijau dengan tuduhan pencemaran nama baik itu tetap harus meringkuk di tahanan, mencicipi sempitnya dinding dan dinginnya lantai penjara.
Sudah sejak beberapa pekan yang lalu, berbagai kalangan memberikan dukungan untuk korban pelecehan seksual yang justru dijadikan pesakitan itu. Permohonan penangguhan penahanannya pun ditanda tangani oleh orang banyak. Tidak kurang dari wakil walikota Mataram hingga anggota DPR RI Rieke Dyah Pitaloka ikut menjadi penjamin. Tapi entah kenapa, majelis hakim tetap bergeming menolak penangguhan penahanan Ibu Nuril.
Berita ini menyedihkan buat saya. Terbayang bagaimana perasaan seorang ibu yang harus jauh dari keluarganya, justru di hari ulang tahunnya dan beberapa hari menjelang bulan Ramadan.
Buat muslim, Ramadan adalah waktu yang selalu dirindukan untuk dinikmati bersama keluarga. Sahur bersama, sholat berjamaah, buka puasa bersama, tarawih bersama. Sungguh sebuah kenikmatan bila bisa menjalaninya bersama-sama.
Tapi tahun ini Ibu Nuril harus melupakannya sejenak. Dia tidak bisa bangun dini hari dan memasak buat anak dan suaminya. Dia pun tak punya kesempatan mengingatkan anak-anaknya untuk tetap kuat berpuasa, sholat ketika waktunya tiba dan tadarus sebanyak mungkin.
Tentang Ibu Nuril, bisa disimak di tautan ini.
Alih-alih seperti itu, Ibu Nuril harus memulai puasa dari sebuah ruang yang sempit dan dingin. Jauh dari kenyamanan dan kebebasan. Padahal dia tidak salah apa-apa. Dia korban pelecehan seksual, pun rekaman itu tersebar bukan karena maunya. Tapi kuasa yang mengorbankannya. Membuatnya mungkin saja harus melewati satu Ramadan jauh dari keluarganya.
It really breaks my heart.
Malam harinya sebuah berita buruk lainnya menghampiri. Vindya atau lebih dikenal sebagai Ibu Penyu berpulang. Traveler blogger yang satu ini dengan tragisnya meninggalkan kita semua karena diduga kesetrum pemanas air di sebuah hotel di Ende, NTT. Bersama dia seorang karibnya juga ikut menjadi korban. Konon sang karib itu berniat menyelamatkannya, namun ikut kesetrum dan meregang nyawa.
Sungguh, berita ini mengagetkan sekali buat saya. Meski tidak akrab dengan Vindya, tapi saya bisa merasa dia orang yang baik. Kami bertemu sekali di acara Travel N Blog Makassar akhir tahun 2015. Kesan saya dia orangnya asyik. Selalu ceria meski tidak pecicilan. Beberapa kali bertukar sapa di Twitter dan jelas sekali kesan menyenangkan dari perempuan hitam manis itu.
Ah, so long Vindya. Semoga kamu tenang di sana, bisa bertemu kembali dengan Cumi Lebay yang sudah duluan berangkat. Mungkin malah kalian sudah berfoto bareng dan siap untuk ngetrip bareng di sana.
Al Fatihah untukmu, juga untuk Cumi Lebay.
Belum lepas kesedihan menerima kabar perginya Vindya, kabar buruk dari Jakarta menghampiri. Ledakan bom terjadi di Jakarta, di terminal Kampung Melayu. Korban jatuh, ada yang meninggal dan ada yang luka parah.
Tidak peduli di sisi mana pun bom itu meledak, selalu ada rasa perih yang ditinggalkannya. Ada nyawa yang terenggut, ada luka yang ditinggalkan dan pasti ada kehidupan yang diubahnya.
Sampai detik ini saya masih belum bisa mengerti apa yang ada di kepala para pelaku bom itu. Merenggut nyawa orang lain karena menganggap itu sepadan dengan kesalahan pihak lawan? Merenggut nyawa orang lain karena merasa mereka punya hak sebagai perpanjangan tangan Tuhan di bumi? Atau apa?
Lalu belum lepas kegalauan itu sebuah tautan video menghampiri. Isinya pawai sebuah organisasi berlabel agama di Jakarta, di sisi lain yang tidak terkena bom. Tidak ada yang salah dengan pawai itu. Ini negara merdeka. Semua orang berhak berekspresi sebebas-bebasnya, selama tidak merugikan orang lain.
Namun hal yang sungguh menohok saya adalah serombongan anak kecil yang jadi bagian pawai itu. Dengan riang mereka bernyanyi, meniru satu lagu yang liriknya sudah diganti dengan kalimat: bunuh, bunuh Ahok, bunuh Ahok sekarang juga!
Sial! Anak sekecil itu sudah didekatkan dengan aroma kebencian yang bermuara pada kata “bunuh”?
Video itu benar-benar membuat saya terguncang. Anak-anak harusnya ada dalam dunia yang ceria, mereka masih murni, belum tahu kerasnya dunia dan harusnya tetap dibiarkan begitu hingga mereka bisa belajar sendiri. Mendorong mereka mengenal kebencian berarti menanamkan bibit perpecahan sedini mungkin. Sedari kecil sudah akrab dengan kata “bunuh”, bagaimana besarnya nanti?
Oke, katakanlah video itu tidak benar, hanya buatan seseorang dengan maksud menyudutkan organisasi tertentu. Tetap saja itu salah buat saya. Mengenalkan kebencian bahkan kata “bunuh” pada anak kecil tetap salah. Ganti nama “Ahok” dengan nama lainnya, maka tidak serta merta kalimat itu menjadi lebih indah bukan? Bunuh tetap saja bunuh, tetap mengandung kebencian. Lalu kalimat itu diperkenalkan pada anak kecil? Otak dan hatinya ditaruh di mana?
It really breaks my heart.
Rentetan kejadian kemarin itu benar-benar membuat saya sulit memejamkan mata. Beragam pikiran berkecamuk, berkelebatan dan tumpang tindih di kepala. Sungguh kehidupan ini begitu rapuh, bisa hancur kapan saja dan bisa direncanakan kehancurannya kapan saja.
Hari yang suram, penuh dengan berita yang buruk.
Semoga saja hari itu tidak berlanjut. Semoga saja hari ini semua akan membaik.
“It’s a fragile thing, this life we lead,” [dG]
Sedih..aku sempat ketemu juga di TnB Semarang..Al Fatihah buat semua korban..
Al Fatihah…udah gak tahu mau ngomong apalagi. sedih 🙁